Kita memikirkan kalimat-kalimat disampaikan Presiden Joko Widodo: “Saya minta supaya gas dan remnya diatur, jangan tanpa kendali. Jangan sampai melonggarkan tanpa kendali rem, ekonomi bagus tapi Covid-19 naik. Bukan itu yang kita inginkan. Kalau bisa ekonomi bagus, Covid-19 tidak ganggu kesejahteraan masyakarat.”
Kita membaca petikan dalam berita dimuat di Tribun Jateng, 1 Juli 2020, berjudul: “Kepala Daerah Diminta Atur ‘Rem dan Gas’”. Berita bersumber dari arahan Presiden Joko Widodo di Semarang, Jawa Tengah, 30 Juni 2020. Di Kompas, 1 Agustus 2020, kita membaca: “Konsep ‘gas dan rem’ dalam penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi dalam praktiknya belum diterapkan.”
Kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia lazim memiliki ungkapan-ungkapan bersumber dari olahraga, otomotif, teknologi, seni, biologi, dan lain-lain. Pada masa wabah belum tamat, ungkapan-ungkapan diproduksi pihak pemerintah sering membuat publik bingung dalam mendapatkan pengertian gamblang.
Ungkapan baru dalam bahasa Inggris terlalu cepat digunakan tanpa sempat diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Semula, publik menerima dan ikut saja menggunakan, sebelum sadar ada masalah-masalah kebahasaan semakin bertambah di Indonesia.
Pada saat kita sibuk mendata dan membuat pengertian untuk puluhan ungkapan baru, Presiden Joko Widodo justru mengingatkan lagi hal telah lama berlaku tapi terasa mengesankan. Kita simak penjelasan Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Surabaya, Jawa Timur, 25 Juni 2020: “Tidak bisa gas urusan ekonomi, tapi kesehatan terabaikan. Tidak bisa juga konsentrasi penuh urusan kesehatan, tapi ekonomi terganggu. Ini selalu saya sampaikan ke seluruh kepala daerah agar gas serta rem dikerjakan bersamaan, dan inilah sulitnya sekarang.”
Petikan diperoleh dari berita berjudul “Jokowi: Gas-Rem Harus Seimbang” dimuat di Suara Merdeka, 26 Juni 2020. Kita diingatkan dengan “gas” dan “rem”. Ingatan lekas ke masalah otomotif. Gas dan rem itu bahasa berkaitan sepeda motor, mobil, bus, truk, dan lain-lain. Dua kata itu digunakan untuk membahas masalah-masalah besar di Indonesia.
Kita sudah sering melihat Presiden Joko Widodo mengendarai sepeda motor. Presiden tentu tak memberi contoh dengan mengebut atau “gas pol”. Di perjalanan, Presiden melihat pemandangan tapi cermat bila harus pelan atau berhenti. Rem dianggap menentukan keselamatan pengendara. Kebiasaan itu mungkin berpengaruh dalam pilihan kata saat meninjau Surabaya dalam usaha penanggulangan wabah. “Gas” dan “rem” mudah dimengerti publik. Pesan dari pilihan kata Presiden Joko Widodo adalah perjalanan lancar dan terhindar dari kecelakaan.
Presiden masih menggunakan dua kata secara wajar, belum mendapat imbuhan menimbulkan kesan berbeda. Kita sudah terbiasa dengan ungkapan “gas pol” dan “rem blong”. Presiden menginginkan kerja besar dan bertanggung jawab dalam membenahi nasib Indonesia. “Gas” dan “rem” diucapkan bukan dalam pengisahan orang mengendarai sepeda motor atau mobil. Pilihan kata itu gampang dipahami bila kita memiliki pengalaman menggunakan kendaraan bermotor. Gas dan rem penting untuk kecepatan, kelancaran, dan keselamatan.
Kita menemukan entri gas dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) susunan Poerwadarminta tapi belum mengarah ke kendaraan bermotor. Gas berarti “sekalian zat ringan jang mempunjai sifat sebagai hawa”. “Menggas” diartikan “mendjadi gas”. Di halaman 587, kita membaca pengertian rem: “alat untuk memperhentikan kisaran roda.” Pengertian “merem” adalah “mengenakan rem supaja berhenti” atau “menahan, mengekang (hawa nafsu, kemauan)”.
Pada masa 1950-an, orang-orang mungkin sudah menggunakan kata “gas” dan “rem” tapi Poerwadarminta belum membuat pengertian dalam kamus untuk “gas” berkaitan dengan sepeda motor, mobil, atau bus.
Rudolf Mrazek dalam buku berjudul Engineers of Happy Land (2006) menjelaskan dampak pembuatan jalan-jalan beraspal. Mobil dan sepeda motor memberi dampak kebahasaan di Hindia Belanda, sejak awal abad XX. Orang-orang mulai dikenalkan dengan kata-kata berkaitan sepeda motor dan mobil untuk digunakan dalam percakapan atau pembuatan penjelasan dalam politik, bisnis, pendidikan, hiburan, dan lain-lain.
Kecelakaan biasa terjadi di jalan. Orang-orang mulai mengerti “gas” dan “rem” dalam pamrih kecepatan atau keselamatan selama di jalan. Kita agak bingung belum mendapatkan entri gas berurusan otomotif dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952). Kita menduga gas dan rem lazim digunakan dalam pemberitan kecelakaan di surat kabar.
Gas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) mengandung arti “injak-injak pengatur keluarnya uap bensin”. Pengertian itu mengacu mobil, bukan sepeda motor berurusan gas dengan tangan. Entri “gas” itu masih termasuk dalam ragam percakapan. Rem berarti “alat untuk memperhatikan kisaran roda.”
Kita pun membaca cara berkaitan rem, “mengerem”. Penulisan berbeda dengan Poerwadarminta: “merem”. Mengerem diartikan “menggunakan rem supaya berhenti.” Gas dan rem semakin diakrabi oleh pengguna bahasa Indonesia pada masa 1980-an. Orang-orang pun terbiasa mengucap “gas pol” dan “rem blong” dalam masalah jalan, kecelakaan, dan balapan. Pol dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti “batas yang paling tinggi atau paling banyak”. Blong termasuk ragam percakapan mendapat arti “tidak berfungsi”.
Pilihan diksi dalam pidato atau penjelasan Presiden Joko Widodo di hadapan wartawan kadang memunculkan kejutan-kejutan. Kita ingin mengerti pembuatan kebijakan memang wajib mendata kata-kata untuk dicarikan pengertian dan melihat situasi mutakhir. Gas dan rem disampaikan Presiden Joko Widodo saat kondisi Indonesia sedang berantakan. Para kepala daerah dan pejabat mungkin rajin merenung bila mendapat instruksi atau nasihat dari Presiden Joko Widodo. Kata-kata kadang diperoleh dari pelbagai sumber untuk merangsang pemikiran serius dan tindakan-tindakan tepat saat wabah belum selesai. Begitu.