Beberapa hari lalu beredar salinan elektronik surat edaran dari sebuah SD negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang isinya akan mengganti seragam sekolah menjadi busana muslim. Setelah mendapat kritik dari sana sini, surat edaran itu diubah isinya, tidak lagi wajib, tapi imbauan saja. Ini bukan pertama kali, dan tentu bukan yang terkahir kali kejadian seperti ini. Di daerah lain malah sudah banyak sekolah negeri yang menjadikan busana muslim sebagai seragam resmi yang wajib dipakai siswa/siswi, tak peduli apa agamanya.
Muslim Indonesia seperti keranjingan memakaikan jilbab kepada anak-anak. Selama bergaul dengan orang-orang Arab waktu saya kuliah di Jepang, saya perhatikan mereka tidak memakaikan jilbab kepada anak perempuan yang belum baligh. Teman saya orang Tunisia yang menurut saya cukup fundamental dalam beragama pun begitu. Waktu saya berkunjung ke rumahnya di Madinah, saya dan istri diterima di ruangan terpisah. Tapi anak perempuannya yang belum baligh, meski badannya sudah seperti anak gadis, tidak memakai jilbab, ikut berbincang di ruang tamu laki-laki. Waktu saya baru tiba ia datang mencium saya, sebagaimana lazimnya anak kecil.
Di Indonesia, sejak usia sangat dini anak-anak sudah dipakaikan jilbab. Bahkan anak-anak bayi sudah diberi pakaian itu. Alasan para orang tua, biar jadi kebiasaan sejak dini. Kata mereka, kalau sudah besar nanti susah mengaturnya.
Pertimbangan utama untuk memakaikan jilbab kepada anak-anak, khususnya kepada remaja, adalah karena jilbab itu wajib. Tapi sebenarnya tak hanya itu. Banyak orang tua dan guru menganggap atau berharap, kalau anak sudah berjilbab, perilakunya akan baik. Lebih khusus lagi, perilaku terkait interaksi antara anak laki-laki dan perempuan.
Para orang tua khawatir soal pergaulan remaja. Banyak remaja yang sudah berhubungan seks. Mereka khawatir anak-anak mereka berperilaku seperti itu. Bagaimana mencegahnya? Ajarkan agama, begitu nasihat pemuka agama. Agama melarang zina. Kalau anak-anak dituntun dengan agama, maka mereka akan berperilaku baik, dan tentu saja tak akan berzina. Jilbab adalah simbol pelaksanaan ajaran agama secara utuh. Logikanya, kalau anak berjilbab, dia tidak akan berbuat buruk. Ia tak akan pacaran, dan tak akan berzina.
Berhasilkah? Ada banyak yang berhasil. Ada banyak keluarga yang berhasil mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak baik, dekat dengan agama, taat beribadah, ramah dan sopan dalam pergaulan. Tapi tak sedikit pula yang anaknya sejak kecil berjilbab, tapi perilakunya buruk. Maaf, bukan sekali beredar video maupun foto porno dengan pelaku anak-anak yang berjilbab.
Kok bisa? Sebenarnya tak perlu heran. Jangankan anak-anak remaja, orang dewasa yang berjilbab tapi berzina pun tidak sedikit. Jilbab memang bukan apa-apa. Itu hanya selembar kain yang ditutupkan ke kepala. Ia tak mengubah apapun.
Yang menentukan perilaku orang adalah pilihan nilai yang ia buat. Memakai jilbab adalah satu indikasi pilihan nilai, tapi tidak selalu begitu. Tidak sedikit pula orang memakai jilbab tidak berdasarkan pilihan nilai. Ada yang memakai jilbab karena alasan mode, pengaruh orang sekitar (sekadar menyesuaikan), atau karena tekanan. Orang-orang ini tentu tidak bisa diharapkan secara ketat berpegang pada nilai-nilai Islam.
Begitu pulalah anak-anak remaja tadi. Anak-anak yang memakai jilbab karena kesadaran untuk menjalankan nilai Islam yang dia yakini, lazimnyatidak akan berzina. Tapi yang berjilbab karena ikut-ikutan, atau karena tekanan, bisa jadi berbeda perilakunya.
Jangan berpikir bahwa jilbab akan serta merta berpengaruh pada perilaku. Sama sekali tidak. Potretnya harus dilihat secara utuh. Anak-anak berjilbab yang berperilaku baik mendapat pendidikan yang patut dalam berbagai aspek akhlak. Anak-anak yang tidak mendapat pendidikan yang patut, tidak akan begitu.
Sebaliknya, jangan pula serta merta menganggap anak-anak yang tidak berjilbab otomatis buruk perilakunya. Itu pun tidak ada hubungannya.
Dalam hal perilaku seksual, harus dipahami bahwa anak-anak remaja punya dorongan seksual. Dorongan itu sedang menguat dalam tubuh mereka. Itu adalah dorongan yang rumit. Ada dorongan hormon. Ada pula dorongan yang tidak langsung terkait dengan faktor biologis, yaitu rasa ingin tahu, ingin unjuk diri, dan ingin mendapat pengakuan/penerimaan. Di tengah dorongan yang rumit itu, tekanan halal haram saja bisa jadi tidak cukup. Artinya, bisa saja seorang remaja masuk ke hubungan seksual dalam keadaan sepenuhnya sadar bahwa hal itu dilarang agama. Ia melakukannya dengan motif untuk mendapat pengakuan sebagai “cewek gaul”.
Ada begitu banyak kemungkinan pola perilaku remaja, khususnya dalam konteks seksualitas. Mereduksi hal yang kompleks itu sebagai hal yang semuanya bisa dikendalikan dengan agama adalah kesalahan besar. Apalagi hanya dengan selembar jilbab.
Orang tua dan guru sepatutnya tidak terjebak pada penyederhanaan seperti itu. Tapi apakah memang ada yang berpikir sesederhana itu? Ada banyak. Sebagian karena tidak tahu, sebagian lagi karena malas berpikir. Mereka tahu kerumitannya, tapi mencoba mencari solusi secara sederhana atau jalan pintas.
Orang tua dan guru harus bekerja keras mengelola perilaku anak-anak. Mereka harus selalu hadir memberikan kasih sayang dan perlindungan, juga menjalin komunikasi yang harmonis. Orang tua harus bisa menjadi sahabat, tempat anak bisa bicara secara jujur dan terbuka. Anak-anak harus diberi pemahaman yang cukup soal seks. Mereka harus paham apa akibat dari sebuah hubungan seksual, secara bilogis, psikis, maupun secara sosial. Mereka juga harus tahu cara menghindari kemungkinan pelecehan seksual.
Itu semua adalah kerja berat, yang ingin dihindari oleh sebagian orang dengan jalan pintas tadi.