Pekan lalu, Muhamad Heychael di Remotivi.or.id mengirimkan pukulan telak kepada Tribunnews.com. Tribunnews disebut sebagai “tuyulnya Kompas-Gramedia”. Kata tuyul di sini merujuk kepada hantu pesugihan yang pekerjaannya mengutil duit. Nah, Tribunnews dimetaforakan sebagai hantu tuyul tersebut, karena media itu pekerjaannya cuma mencuri-curi klik.
Saya tahu itu tudingan nyelekit. Tapi sebagai pembaca media online, terus terang saya bersepakat dengannya. Ini ada ceritanya.
Tiga tahun silam, pernah saya membongkar sebuah berita di Tribunnews yang tampak mencurigakan. Isinya tentang mole people, makhluk aneh yang muncul di terowongan-terowongan bawah tanah di Amerika Serikat. Berita tersebut nangkring di rubrik Internasional milik Tribunnews. Tak bisa tidak, ini berita yang diposisikan sangat serius.
Setelah saya usut secermat yang saya mampu, ketemulah bahwa artikel tersebut super-hoax. Makhluk-makhluk aneh itu ternyata cuma citra dari sebuah film fiksi ilmiah yang muncul pada 1950-an. Istilah mole people sendiri ternyata mengacu ke kaum gelandangan di New York (mereka manusia biasa!), bukan ke makhluk-makhluk menyeramkan.
Dari situ yang saya lihat sangat aneh bukan lagi si makhluk penghuni terowongan, melainkan si Tribunnews: bagaimana bisa media online serius yang dilindungi UU Pers dan berada di bawah korporasi Kompas-Gramedia meloloskan sebuah berita besar, menggemparkan, TKP-nya di negara penguasa dunia, tapi cuma dengan sekilas lihat saja sudah pasti akan menerbitkan 97% rasa curiga para pembacanya? Itu misterius sekali buat pembaca awam seperti saya.
Hasil penelusuran tersebut saya unggah di Facebook, saya bubuhi judul “Sekampret Inikah Media Kita?”, dan viral. Berita tentang mole people akhirnya dihapus oleh redaksi Tribunnews, dan konon penulisnya meminta maaf (mungkin minta maaf kepada bosnya saja, sebab saya belum pernah melihat permintaan maafnya kepada sidang pembaca).
Setelah hari itu, saya memang tidak pernah menjumpai Tribunnews melemparkan berita separah isu mole people. Namun secara umum tetap saja media yang satu itu sangat sulit menjadi rujukan saya untuk mengakses informasi. Berita-berita di sana seringkali terlalu norak dalam strategi klikbait, dan untuk membaca satu berita saja biasanya kita harus nge-klik berkali-kali. Hasilnya adalah panen pageviews untuk Tribunnews.
Klikbait dan pageviews memang ukuran-ukuran niscaya dalam industri media daring, saya paham itu. Namun apa iya harus sampai gitu-gitu amat, sampai pada taraf mengorbankan kesehatan pembaca? Pertanyaan saya yang lebih jauh lagi sebenarnya: ini tuh media milik grup Kompas-Gramedia lho, ya. Sekali lagi: Kompas-Gramedia! Masak ya sebegitunya?
Selain pembaca setia buku-buku grup penerbit Gramedia hingga detik ini, saya juga mantan pembaca Kompas yang fanatik. Segenap umat manusia tahu bahwa Harian Kompas adalah koran dengan kualitas jurnalistik paling berwibawa pada masanya. Kalau mau serius baca koran di era pra-kejayaan internet, ya wajib baca Kompas.
Bagi lingkungan para penulis, Kompas pun menjadi pelabuhan hati yang ultimate. Para penulis, yang hobinya berkirim naskah opini ke media cetak waktu itu, selalu memendam mimpi agar tulisan mereka terpajang gagah di Kompas halaman 6. Itulah seagung-agungnya pencapaian. Kalau disuruh memilih, sepertinya mereka mending kehilangan tiga kali kesempatan dimuat di Jawa Pos atau Media Indonesia, asal bisa tayang di Kompas.
Itu baru opininya. Belum cerpennya. Para cerpenis hebat berkibar-kibar nama mereka kalau sering nangkring di rubrik cerpen Kompas Minggu. Sampai-sampai pada satu titik Kumpulan Cerpen Terpilih Kompas menjadi kekuatan riil kesusastraan Indonesia yang menyaingi Majalah Horison.
***
Hari ini ekspansi digital kian bersimaharajalela. Air bah informasi dengan gampang kita seruput di mana-mana. Cukup dengan satu perkakas kecil dalam genggaman, apa pun bisa kita dapatkan.
Dalam situasi begini, koran-koran cetak pada tumbang. Orang tak lagi sudi mengeluarkan tiga ribu perak cuma untuk membeli barang cetakan kertas yang ribet dan enggak handy, padahal hanya dibaca seperlunya. Kenyataan hidup sepahit ini pun menyeret media-media cetak untuk hijrah seutuhnya ke media daring.
Lalu, ke mana Kompas? Ke mana koran yang dulu selalu rutin saya butuhkan, serutin saya membutuhkan teh hangat dan gorengan?
Entahlah. Saya tidak menemukannya di layar ponsel saya. Saya mengerti di mana Kompas berada setelah tolah-toleh agak lama. Oh, ternyata dia masih setia di rumahnya yang uzur itu: koran cetak. Bagi mereka, atau bagi orang-orang sepuh yang tinggal di sana, agaknya kertas masih menjadi satu ukuran yang dipancangkan sebagai jaminan kesucian peradaban. Layar sentuh itu fana, kertas abadi.
Sungguh saya tak habis pikir, bagaimana bisa perubahan zaman yang sudah begini benderang masih saja mereka sangkal-sangkal. Semua tahu bagaimana Pak Bre Redana, salah satu tokoh mumpuni di Kompas, tiga tahun silam menuliskan “Inikah Senjakala Kami?”. Itu tulisan yang masya Allah sentimentilnya, mengharukan, dan sangat mungkin membuat kita tiba-tiba menjadi pengidap fetisisme yang setiap malam ingin bercinta dengan gulungan kertas. Jurnalisme diromantisasi ke lembar-lembar kertas, seolah huruf-huruf dalam deretan kalimat muspra belaka tanpa kertas-kertas sebagai alas.
Jadi situasinya, Pak Bre ini mirip Mbok Menik nenek saya. Mbok Menik masih selalu ngotot menanak nasi pakai kayu bakar. Ia mengimani bahwa cita rasa sejati nasi putih ditentukan oleh kayu bakarnya. Maka tatkala semua orang sudah pakai magic com, meraih efektivitas dalam memasak berikut segenap akumulasi manfaatnya, Mbok Menik tetap tepekur di depan tungku. Sesekali ia menyorongkan batang-batang kayu bakarnya, lain waktu meniup-niup api sembari mencegah asap masuk ke pelupuk matanya.
Begitu pula Pak Bre, Kompas, dan ideologi kertasnya. Koran Kompas pelan-pelan akan membuktikan dirinya bukan lagi sebagai instrumen canggih yang sukses menjalankan diseminasi informasi dan gagasan. Ia memang akan tetap ada, tetapi sebatas mirip-mirip kuliner kelangenan. Lezat, istimewa, romantis, tapi limited edition dan cuma bisa dicicipi oleh maksimal 40 pembeli saban harinya.
Benar, ada Kompas.id, versi digital Kompas cetak. Jadi, kita sama-sama membeli koran cetak Kompas, tapi yang ini cuma dikasih file, kira-kira begitu. Maka pas masuk ke lamannya pun saya tidak merasa masuk ke sebuah situs penyaji berita. Perasaan saya persis ketika berkunjung ke sebuah situs olshop! Hahaha. Pendeknya, dengan Kompas.id, di tahun 2018 ini, kita masih harus capek-capek keluar duit untuk mengakses kabar berita. Hellaaaw!
“Lho, Kompas.com kan ada, gimana sih? Ngerti enggak?”
Iya, kalau sekadar melihat namanya, pasti Anda semua akan menganggap saya teledor dan tidak menyadari bahwa Kompas sudah positif sadar digital. Masalahnya, betulkah Kompas.com adalah wujud bedol desa yang sesungguhnya dari Kompas cetak, alias kompromi Kompas yang sejati di zaman online?
Duh, saya kok tidak percaya. Sebab saya hakulyakin, kalau para patih dan tumenggung di Istana Kompas-Gramedia berkehendak, dan tidak melulu menyangkal hadirnya zaman digital, segala sumber daya dan keperkasaan yang terbukti mereka genggam selama sekian dekade itu sangat bisa dikerahkan untuk membangun Kompas.com, sehingga kualitas wajah online Kompas itu akan jauh lebih hebat ketimbang Kompas.com saat ini. Jika mereka mau, kita benar-benar akan menemukan Kompas yang berwibawa itu di layar ponsel kita. Tapi ini tidak! Di mata saya, bahkan Kompas.com jauh tertinggal di bawah Tirto.id, media yang baru lahir kemarin sore itu. Anda setuju? Enggak setuju ya terserah.
Poin saya, zaman jelas-jelas sudah berubah. Cuma para pengidap waham dan postpower syndromme saja yang menafikan kenyataan ini. Maka, ada timbunan keheranan di lubuk nurani saya: kenapa di masa banjir bandang informasi digital seperti hari ini Kerajaan Kompas-Gramedia malah terkesan serbatanggung dalam bersikap? Padahal publik luas begitu membutuhkan media sesehat dan setajir Kompas, demi upaya bersama untuk penyelamatan nalar komunal! Kenapa, Minke? Kenapa?
Di saat yang sama, anak kandung Kompas-Gramedia yang moncer dan merampas ruang-ruang baca dan ruang-ruang kesadaran kita adalah Tribunnews! Jadi bisa saya ucapkan dengan sangat sederhana: “Puncak kesadaran Kerajaan Kompas-Gramedia akan kemenangan era digital dimanifestasikan dengan media sekelas Tribunnews.Com.”
Sekian, dan mari berbagi air mata. Selamat menjalankan ibadah puasa.