Jumat, November 8, 2024

Relasi Tanah dengan Keberlangsungan Kehidupan Manusia

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
- Advertisement -

Pertanian merupakan salah satu elemen penting dalam keseimbangan negeri, sektor ini berperan membangun perekonomian level mikro yang relasional dengan kebutuhan makro, karena berkenaan dengan persediaan pangan nasional. Secara umum profesi petani pada era sekarang, dipandang sebagai kelompok majinal, lekat dengan ketidakmajuan dan dianggap udik.

Namun jika dipahami lebih jauh, petani memiliki peran yang signifikan sebagai sosok penting dalam ketahanan pangan. Kita lihat bahwa impor beras tempo hari, secara implisit menandakan mulai tidak stabilnya produksi pangan. Bisa jadi ini berkaitan dengan mulai menurunnya produksi beras, akibat konversi lahan produktif ke industri. Hingga faktor-faktor lain, seperti bencana, hama dan akibat dari permainan tengkulak.

Pada dasarnya tidak ada petani yang berharap merugi bahkan kehilangan tanahnya. Memang benar tanah sekarang menjadi polemik besar. Karena petani pun terdapat kelas-kelas sosial. Seperti tuan tanah, petani mandiri hingga petani kecil yang rata-rata juga buruh tani.

Namun persoalan mendasar yang lain ialah, banyaknya tanah produktif yang dialihfungsikan ke proyek nirfaedah. Seperti ekspansi bandara, kawasa industri atau pertambangan. Selain merusak tanah, mengalienasikan petani dari alat produksinya juga berpotensi merusak ekosistem.

Perampasan Tanah Melanggengkan Penindasan

Konteks persoalan tanah di Indonesia, sangat bererkaitan dengan hak-hak dasar masyarakat, khususnya para petani yang dialienasikan dari tanahnya dan dianggap harus patuh pada negara, melalui sebuah pemikiran ekonomi politik mengenai proyek vital negara harus diutamakan di atas kepentingan masyarakat secara umum

Memarjinalkan masyarakat secara sosial dan budaya, terutama bertalian secara adat. Yang dapat dimaknai hubungan masyarakat dengan tanah tidak sekedar ekonomi, namun ada faktor lain seperti budaya dan spiritualitas.

Memindahkan atau membeli tanah masyarakat petani, dengan mengalihkan ke lingkungan baru, misal perumahan, rusun atau wilayah yang lebih sempit dari tanah aslinya. Memunculkan persoalan baru yaitu masalah keberlangsungan hidup.

Ketika mereka berpindah tempat, berarti harus hidup dalam keterbatas, tidak ada kepemilikan atas lahan, serta menjadi “objek penghisapan” oleh penguasa. Kondisi serupa dapat kita lihat di Papua atau Jambi yang dirampas hutannya, mereka kehikangan mengenai hak atas tanah dan hutan, yang kini dikuasai oleh kartel-kartel tambang dan sawit, sengsara ditindas oligarki nasional yang berkuasa atas, ekonomi, politik dan militer.

Kemudian konteks Yogyakarta yang motifnya sama dengan di Papua atau Jambi, tetapi ada perbedaan motif serta pola dalam penguasaan tanah, di mana ada semacam penyedap terutama dalam konteks upaya hegemoni atas tanah yang semua menjadi hak milik keistimewaan Sultan.

Kekuasaan pemerintah yang berselingkuh dengan feodalisme dan korporat, memiliki wewenang menguasai tanah terutama di daerah yang masih kental dengan sistem feodal. Walaupun tanpa izin lingkungan seperti Amdal, Uji Kelayakan dalam KLHS, tetapi tetap saja dalam hal ini pembangunan Bandara tetap dilajutkan. Meski akan menghancurkan kehidupan banyak masyarakay.

- Advertisement -

Semua atas nama pembangunan dan investasi, yang dipicu oleh sebuah kisah-kisah kesejahteraan. Bahkan ada upaya penguasaan tersebut dikorelasikan dengan proyek negara, ekonomi berdikari dan soal pengentasan kemiskinan agar beranjak dari negara berkembang, kemudian naik pangkat menjadi negara maju.

Tapi itu hanya kisah fiktif, realitasnya penguasaan atas tanah memang tidak bisa dilepaskan dari keinginan komodifikasi dan privatisasi tanah untuk kepentingan segelintir, yang akhirnya melanggengkan dominasi kuasa atas mereka yang dianggap tidak berhak.

Tanah Sebagai Dasar Kehidupan

Persoalan perampasan tanah, kerusakan lingkungan, merupakan sebuah relasi yang tidak bisa difragmentasikan dengan ekspansi kapitalisme. Melalui sebuah akumulasi primitif, beralihnya tanah menjadi sebuah komoditas, menjadikan banyak insan teralienasi dari hidupnya. Implikasinya tergambarkan dari persoalan-persoalan yang sangat sistemik dan struktural, seperti kemisikinan, ketidakadilan, penindasan dan penghisapan.

Tanah memiliki nilai secara historis dan kultural, bagaimana relasi yang kuat antara manusia dengan tanah. Sekaligus contoh mengenai problem atas tanah di berbagai belahan dunia, yang secara mendasar memiliki motif yang sama, namun dalam implementasi yang berbeda. Namun persoalan atas tanah tidak bisa dilepaskan dari pijakan aspek sosial, kultur dan historisnya. Tanah merupakan bagian terpenting dari hidup, khususnya mengenai hajat hidup orang banyak.

Tanah memunculkan sebuah kehidupan, menciptakan rantai jaringan yang kuat satu sama lainnya, manusia dengan alam, manusia dengan manusia, manusia dalam sisi yang lebih luas lagi yaitu Tuhan. Setiap komunitas memliki latarbelakang historis dan kultural tersendiri, yang dijadikan sebuah perspektif mengenai kehidupan. Tanah menciptakan budaya kehidupan, secara profetik hidup merupakan hubungan dengan pencipta. Apa yang sudah ditetapkan sang pencipta merupakan hak bagi setiap insan, seperti tanah sebagai sebuah karunia.

Tanah memiliki relasi sosial-ekologi yang kuat, hal ini dapat dimaknai ketika kapitalisme menjadi sebuah judas, di mana mereka menawarkan kesejahteraan, namun dampaknya benar-benar jauh dari kesejahteraan. Munculnya perampasan tanah, ruang hidup, akses ekonomi, rusaknya alam, merupakan dampak yang sangat signifikan erat kaitannya dengan kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme merupakan kerakusan yang berbasis pada keserakahan, individualistis dan jauh dari Tuhan. Memakan sendiri karunia Tuhan, mengkomoditaskan tanah untuk nilai lebih, hingga memicu sebuah tindakan yang menyakiti sesama manusia.

Rusaknya alam, penindasan, penghisapan merupakan sebuah relasi yang sistemik, terkait penguasaan suatu tanah. Sehingga memunculkan suatu problem mendasar yang tidak dikehendaki oleh Tuhan, seperti kemiskinan, ketidakadilan dan tercerabutnya kemanusiaan.

Wahyu Eka Setyawan
Wahyu Eka Setyawan
Alumni Psikologi Universitas Airlangga. Bekerja di Walhi Jawa Timur dan sebagai asisten pengajar. Nahdliyin kultural.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.