Bandul politik nasional kembali bergetar saat DPR mengesahkan UU Pemilu, Kamis malam, 20 Juli lalu. Meski diwarnai banyak kericuhan wacana yang menimbulkan deadlock, pengesahan ini mengakibatkan mundurnya beberapa partai seperti Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat. UU Pemilu tetap diketuk Ketua DPR Setya Novanto dari Golkar, didampingi wakilnya, Fahri Hamzah, yang sedang bermasalah dengan PKS. Dengan begini, aturan main politik lima tahunan sudah ditetapkan.
Opsi A, yang diwarnai penolakan, mengerucut dipilih sebagian besar partai pendukung pemerintah secara aklamasi. PDI Perjuangan, Golkar, NasDem, PKB, Hanura, dan PPP, mantap menyepakati ambang batas capres sebesar 20%-25%, ambang batas parlemen 4%, sistem pemilu terbuka, 3-10 alokasi kursi per dapil, serta metode konversi Saint Lague.
Kemenangan sistemik, sebut saja begitu, diperoleh partai pendukung pemerintah. Bagi partai koalisi, sistem pemilu yang sudah diketuk itu ibarat melemparkan karpet merah di kompetisi Pemilu 2019 nanti. Setidaknya, jika sistem pemilu itu tidak berubah, koalisi pemerintah memaksa ada sedikit calon presiden di Pemilu 2019. Artinya, penggerogotan elektabilitas Joko Widodo (Jokowi), bisa diatasi sedini mungkin.
Turbulensi politik di parlemen pada malam Jumat lalu itu juga tidak berjalan mulus bagi koalisi pemerintah. PAN, yang sudah dipagari Jokowi dengan satu menteri di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, melakukan manuver politik ke kubu seberang. Tapi, melihat PAN berbeda karena ada Amien Rais di kubu oposisi juga kurang tepat. Gerak PAN harus dilihat sebagai pragmatisme partai politik, yang menolak opsi A, demi kelangsungan partainya.
Meski begitu, dalam koalisi antarparpol, apalagi yang telah menerima indahnya kekuasaan, pengkhianatan politik tidak dapat ditoleransi. Atas nama kebersamaan koalisi, PAN diserang PDI Perjuangan, yang menganggapnya tidak beretika dalam politik antarkoalisi. Terlebih, selang empat hari, Senin 24 Juli, pemerintah mengundang partai koalisi dalam rangka konsolidasi. PAN tak hadir, meski Presiden Jokowi mengaku telah mengundangnya.
Spekulasi ketidakhadiran PAN memancing pertanyaan besar. Pemerintah seperti menerapkan strategi baru di parlemen guna mengunci kebijakan-kebijakan strategis yang harus disahkan DPR. Pemerintah seakan tak ingin terganggu dengan kerikil tajam yang menusuk jika kebijakannya dimentahkan lawan politiknya di parlemen. Tak adanya PAN di Istana Senin lalu itu mengonfirmasi bahwa koalisi pemerintah harus bersiap diri ditinggal satu partai koalisi.
Perlawanan Dua Jenderal
Memakai kemeja berwarna biru, khas seragam Partai Demokrat, bos partai berlambang mercy, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menerima kedatangan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto yang mengenakan pakaian batik di Puri Cikeas, Kamis malam, 27 Juli lalu. Pertemuan hangat yang diselingi hidangan nasi goreng itu tepat seminggu pasca pengesahan UU Pemilu dan tiga hari selang pertemuan tertutup mitra koalisi pemerintah di Istana Negara Jakarta.
Meski mengaku bahwa kunjungan Prabowo, bakal calon presiden 2019 yang sudah diusung Gerindra, itu hal yang biasa, konferensi pers keduanya justru menyiratkan maksud tertentu. Dalam politik, sowan ke salah satu petinggi partai, apalagi bertepatan dengan momentum kekalahan di parlemen, menandaskan bahwa pertemuan dua jenderal itu tidak bisa dibilang biasa. Dua elite parpol ini seakan menyolidkan kekuatan di pihak oposisi.
SBY, dengan gestur khasnya yang terlihat serius, menekankan bahwa pertemuan itu membentuk pola baru bagi Demokrat yang sebelumnya mengambang dengan posisi penyeimbang di antara koalisi dan oposisi. Namun, tidak dalam bentuk penggabungan ke dalam gerbong Prabowo. SBY masih menjaga jarak kepada rekannya yang sesama purnawirawan itu, meski mulai membuka diri siapa sesungguhnya Demokrat di mata pemerintah.
Di sisi lain, Prabowo dengan gaya ceplas-ceplos, langsung mengambil sikap bahwa apa yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini mendorong UU Pemilu dengan opsi A, adalah sesuatu pemaksaan kehendak. Bahkan, dengan nada sedikit meninggi, ia menyebut Presiden Jokowi yang berasal dari sipil justru melakukan tindakan di luar batas. Berbeda dengan ketika SBY selama 10 tahun menjadi rezim dan Prabowo, maksudnya di 1998, yang menegakkan dan mempertahankan demokrasi.
Dalam kacamata kekuatan politik elite, keduanya menyiratkan ada perbedaan gaya kepemimpinan militer dan sipil. Di posisi ini, SBY dan Prabowo ingin mengembalikan marwah kepemimpinan militer yang bisa menjaga demokrasi. Berbeda dengan Jokowi, yang sipil, namun melakukan tindakan, yang menurut mereka berdua, di luar kontrol dan bisa menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan tertentu. Keduanya “menembak” Jokowi dengan isu “Sipil Tak Menjamin Demokrasi”.
Di luar itu, pertemuan dua partai ini, menyepakati dua kerjasama tidak tertulis sampai agenda Pemilu 2019 bergulir. Pertama, kerjasama politik, yang menegaskan Demokrat dan Gerindra akan mengawal demokrasi, konstitusi, dan sistem apa pun yang sedang dibentuk pemerintah. Artinya, pemerintah dan partai koalisi harus bersiap diri menemui banyak ganjalan di parlemen dalam eksekusi pembentukan kebijakan.
Kerjasama kedua secara tersirat lebih kepada menjaga moral negara atau pemerintah. Terminologi penjaga moral, yang dilukiskan SBY dalam penjelasannya, mendudukkan posisi pemerintah saat ini yang telah beberapa kali menyalahi prosedur dan berakibat pada rusaknya moral negara di mata publik. SBY, sekali lagi, “menembak” Jokowi dengan isu melanggar hak demokrasi dan konstitusional yang dilakukan dalam setiap kebijakannya yang merujuk pada penerbitan Perppu Ormas.
Bumbu nasi goreng ala Cikeas sepertinya larut dalam lidah Prabowo. Bagaimana tidak, keduanya dianggap punya ego politik tinggi yang sulit dipersatukan. Tapi karena momentum yang sama atau kepentingan yang sama, keduanya bertemu dan bersepakat, meski tanpa hitam di atas putih. Ini kemajuan, sebab dalam pertemuan saat dan pasca Pilpres 2014, ditambah Pilkada Jakarta lalu, keduanya tak menemui jalan persatuan di pasangan calon presiden, koalisi dan calon gubernur, yang akhirnya bergerak sendiri-sendiri.
Maka, tak wajar apabila pertemuan mantan staf perwira brilian yang menjadi jenderal dengan jenderal yang berpengaruh di korps baret merah ini dianggap angin lalu. Karena tak ada pertemuan yang tanpa kesan. Pertemuan keduanya pun menciptakan formasi politik nasional baru di tengah peta koalisi dan oposisi yang sudah ada. SBY dan Prabowo atas nama Demokrat dan Gerindra sudah mulai hangat sebelum Pilpres 2019.
Politik Senasib Sepenanggungan
Pemilu serentak 2019 sebenarnya masih berjarak 1 tahun 8 bulan dari pertemuan “nasi goreng politik” di Cikeas. Cukup lama mengingat medio 2018 publik di sebagian Indonesia melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Tapi, pertemuan dua jenderal itu tetap penting dalam rangka penyatuan persepsi tentang siapa yang harus dijadikan lawan nomor satu. Di lain sisi, pertemuan itu bisa dilihat sebagai momentum awal kolaborasi di Pilkada 2018.
Namun, yang paling besar urgensinya, pertemuan itu memposisikan bahwa lawan terberat mereka berdua, entah bersatu atau tidak dalam satu pasangan calon, adalah sosok Jokowi yang tren elektabilitasnya cenderung naik. Rekam data Indikator Politik Indonesia pasca Pilkada Jakarta, 12-14 April 2017 lalu, melihat adanya kenaikan tingkat keterpilihan Jokowi sebesar 40,4%, dibanding Januari lalu sebesar 22,7%.
Bahkan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 8 Juni 2017 lalu merilis tingkat elektabilitas Jokowi sebesar 34,1%. Dibandingkan Prabowo, yang dipersepsikan lawan utama Jokowi, tanpa melihat siapa pasangannya, hanya mendapat 17,2%. Survei ini mengisyaratkan bahwa kolaborasi Prabowo dan SBY diperlukan bila ingin menjaga jarak aman dengan Jokowi. Apalagi Pemilu 2019 bisa menguntungkan partai pengusung Jokowi.
Maka, politik “senasib sepenanggungan” sedang dimainkan pihak oposisi dalam rangka membendung tren kenaikan elektabilitas Jokowi. Presiden RI ke-7 itu dipersepsikan sedang melakukan upaya pemberangusan elemen-elemen demokrasi. Terbukti peluru itu sudah dimainkan sejak lama. Contoh keberhasilannya saat mempersepsikan Jokowi sebagai pembela mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dalam beberapa kasus hukum yang menimpanya.
Apalagi modal sosial dan massa untuk memainkan jurus “senasib sepenanggungan” telah ada. Beberapa ormas, elemen masyarakat, dan parpol, yang merasakan nasib serupa bisa dimanfaatkan untuk bersatu melawan rezim yang dianggap telah melakukan tindakan-tindakan yang mengancam demokrasi. Momentumnya tepat ketika rezim Jokowi menggunakan kuasanya meluncurkan kebijakan yang dianggap membredel kebebasan seperti terbitnya Perppu Ormas, pembungkaman kritikus radikal, dan pelarangan aplikasi pesan rahasia Telegram.
Pemerintahan Jokowi pun tak dapat dianggap sempurna. Ada celah yang harus dikoreksi dari sisi penegakan HAM, yang dilihat oleh sebagian pihak tertentu, yakni pegiat HAM, belum dimaksimalkan untuk diperjuangkan. Pemerintahan Jokowi seakan lebih asyik bermain di level ekonomi politik, yang memang harus diakui telah berjalan. Tapi, melupakan penegakan HAM bisa dimanfaatkan lawan politik dan memukul balik Jokowi di kemudian hari.
Peluang kecil itu, berdasarkan hasil pertemuan antara SBY dan Prabowo, tersirat sedang mulai dimainkan. Apalagi SBY sudah membuktikan bahwa dirinya piawai memainkan jurus dan taktik politik seakan merasa dizalimi di Pilpres 2004 lalu. Ditambah Prabowo, dengan gaya kental perkataan yang langsung ke sasaran, merupakan perpaduan apik dalam memainkan strategi menambah musuh Jokowi berdasarkan rasa “senasib sepenanggungan” di Pemilu 2019 nanti.
Lalu, bagaimana siasat Jokowi selanjutnya?