Krisis Marawi adalah bagian dari proyek ISIS yang bertujuan mendirikan sebuah cabang kekhalifahan baru yang berfungsi di luar Timur Tengah. Tak ada yang menyangka penduduk di Marawi, sebuah kota di Provinsi Lanao Del Sur, Filipina, tahun ini harus menjalani puasa Ramadhan sebagai pengungsi. Seperti halnya kota-kota lain di kepulauan Mindanao, mayoritas penduduk Marawi beragama Islam.
Dulu, krisis seperti ini sering kita jumpai dari berita-berita di negara-negara konflik Timur Tengah. Misalnya, pemandangan gelombang ribuan orang lari meninggalkan rumah demi menyelamatkan diri dan mengangkut apa pun yang bisa dibawa pergi. Peristiwa ini bukan karena bencana alam, tapi peperangan yang terjadi siang dan malam.
Petaka itu terjadi pada 23 Mei, ketika ratusan militan bersenjata lengkap melakukan serangan kilat mengambil alih kota. Militan berseragam gelap itu kemudian mendirikan pos-pos pemeriksaan di setiap persimpangan jalan dan mengibarkan bendera hitam di beberapa sudut bangunan.
Seperti aksi dalam sebuah film, para militan menyerbu penjara kota kemudian membebaskan sedikitnya 100 tahanan teroris untuk menambah kekuatan.
Presiden Rodrigo Duterte yang baru satu tahun menjabat seketika mempersingkat kunjungan kerjanya di Rusia. Dia merespons serangan tersebut dengan menetapkan darurat militer dan mengirim pasukan bala bantuan untuk merebut kembali Marawi dari tangan militan. Bentrokan sengit pun tak terelakkan.
Kini, tak terasa krisis di Marawi telah memasuki minggu ketiga. Kapan krisis ini akan berakhir juga belum ada tanda-tanda. Pertanyaannya, mengapa kota Marawi pada saat itu begitu mudah jatuh ke tangan militan?
Semua ini bermuara dari kegagalan pemerintah Filipina memahami perkembangan dan evolusi gerakan militan di Mindanao. Pemerintah lambat dan baru disadarkan ketika kelompok militan merebut Marawi, kota terpadat sekaligus ibu kota Provinsi Lanao.
Pemerintah Manila mungkin tak pernah terpikirkan akan menghadapi kelompok bersenjata yang bahan baku utamanya adalah kombinasi kekuatan pemberontakan lokal dan jihadisme global dari formula yang dikembangkan militan Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS).
Pemerintah Manila telah melewatkan perubahan besar yang terjadi pada militan-militan di Mindanao, ketika ideologi jihadisme ISIS telah mengubah karakter beberapa kelompok militan yang mendiami wilayah kepulauan tersebut.
Selama ini mereka hanya dianggap gerombolan mafia yang mencari keuntungan, atau kelompok separatis berlatar etnis yang beroperasi di daerah yang memiliki sejarah kekerasan panjang di Mindanao.
Padahal, sebagai kekuatan tempur di Filipina, ISIS tidak ujug-ujug muncul begitu saja. Asal-usul mereka awalnya berasal dari sekian kelompok militan radikal islamis yang menerima ideologi jihadisme ISIS. Salah satunya adalah kelompok Maute yang didirikan oleh Abdullah Maute pada 2013. Milisi ini beroperasi di Lanao dan menyatakan ikrar setia pada ISIS tahun 2015.
Lalu kelompok Bangsamoro Islamic Freedom Fighters (BIFF) yang beroperasi di Maguindanao pimpinan Ismael Abu Bakar. Kelompok ini menyatakan sumpah setia pada ISIS pada Agustus 2014. Ada juga kelompok Ansar Khilafah yang beroperasi di Cotabato selatan dan Sarangani yang menyatakan aliansi dengan ISIS pada tahun 2014.
Yang terbesar adalah beberapa brigade sempalan Abu Sayyaf Group yang masing-masing beroperasi di Basilan, Sulu, dan Tawi Tawi di bawah pimpinan Isnilon Hapilon. Kelompok ini berbaiat kepada ISIS sepanjang tahun 2014-2016.
Fase berikutnya, kelompok-kelompok tersebut melebur dan bermutasi menjadi ISIS di Filipina dan Isnilon Hapilon didapuk sebagai Amir. Hal ini dibenarkan oleh Sidney Jones, peneliti senior terorisme Asia Tenggara dan direktur IPAC (Institute for Policy Analysis of Conflict). Sidney menyatakan Isnilon Hapilon telah menyatukan kelompok-kelompok lintas wilayah dan etnis. “Kelompok-kelompok ini tidak lagi dimotivasi oleh politik klan atau uang, sekarang mereka adalah ideolog,” kata Sidney .
Ideologi ISIS mewabah di kalangan militan pemberontak lokal sepanjang 2014-2016. Kemungkinan besar penularan ini tidak lepas dari peran jihadis asal Filipina yang telah “berhijrah” ke Suriah bergabung ISIS, yang kemudian menjadi penghubung antara pusat ISIS di Raqqah dan militan di Mindanao.
Banyak jihadis asal Filipina disinyalir bergabung ISIS di Suriah pada periode 2014-2015. Namun penampakannya mulai terlihat dalam video saluran propaganda resmi ISIS pada Juni 2016. Secara ekplisit dalam video tersebut ada seorang aktor jihadis asal Filipina bernama Abu Abd Rahman Al-Filibini menyerukan simpatisan ISIS, khususnya Asia Tenggara, yang kesulitan mencapai Suriah untuk untuk bermigrasi ke Filipina.
Sebelumnya, pada April 2016, sebagaimana ramai diberitakan, terjadi bentrokan besar antara pasukan pemerintah dan militan ISIS di Basilan. Ketika itu Kepolisian Nasional Filipina percaya diri berupaya meyakinkan publik dan menyatakan bahwa ISIS tidak beroperasi di Filipina.
Baru satu tahun kemudian, tepatnya saat kota Marawi jatuh, pemerintah Manila justru meminta dunia untuk mempercayainya bahwa yang sedang mereka hadapi saat ini adalah ISIS. Untuk memperkuat laporan itu, pemerintah Manila mengungkap fakta dan data banyaknya militan asing yang terlibat dalam krisis bersenjata di Marawi. Di antaranya berasal dari Indonesia, Malaysia, Arab Saudi, dan Chechya.
Setelah mencermati krisis di Marawi, saya melihat militan ISIS di Filipina rupanya telah sepenuhnya mengadopsi taktik, gerakan, dan strategi teror seperti induknya di Irak dan Suriah.
Militan secara terang-terangan berusaha memicu perang sektarianisme agama. Jika di Timur Tengah mereka memainkan isu perang Sunni-Syiah, di Filipina mereka menggunakan isu perang suci Islam-Katolik. Militan membakar gereja di Marawi tak lama setelah menguasai kota, kemudian videonya disebarluaskan melalui saluran media ISIS. Mereka menyandera puluhan jemaat, sebagian dieksekusi mati, dan fotonya dimuat di majalah ISIS, Rumiyah, edisi terbaru.
ISIS ingin mengulang kesuksesan di Irak dan Suriah di Filipina dengan menciptakan chaos. Salah satu cara yang paling gampang untuk mengobarkan kekacauan di kawasan mayoritas Muslim seperti Mindanao, tapi rezimnya non-Muslim, adalah sektarianisme. Jika cara itu berhasil, ISIS akan mendapatkan pijakan dengan memainkan narasinya sebagai pelindung umat Islam.
Sektarianisme yang dimainkan ISIS juga bertujuan untuk menarik simpati massa Muslim dari gerakan-gerakan radikal yang lain. Maka, pemerintah di Manila harus mengantisipasi hal ini dan meredam sebelum api sektarianisme yang disulut ISIS membesar.
Selain itu, ISIS di Filipina telah berusaha mengundang teroris-teroris asing untuk datang. Seperti pusatnya di Suriah, salah satu kesuksesan ISIS tidak lepas dari peran partisipasi jihadis asing, yang memang dikenal memiliki militansi yang tangguh.
Dulu, kelompok militan lokal di Mindanao menyambut teroris asing yang datang hanya untuk mencari perlindungan. Namun, waktu sudah berubah, ISIS justru memobilisasi petempur asing untuk datang bergabung. Ini peringatan bagi pemerintah Manila untuk lebih memperketat perbatasan dan meningkatkan kemampuannya mendeteksi migrasi petempur asing.
Krisis Marawi menjadi pelajaran penting bagi siapa pun bahwa kehadiran ISIS telah menjadi pukulan berat pemerintah Filipina.
Seandainya nanti pemerintah Filipina sepenuhnya menguasai kembali kota Marawi, apakah ini artinya akhir dari cerita perang melawan ISIS di Filipina? Atau mungkin, perang yang sesungguhnya baru akan dimulai?
Baca juga: