Kabar lelayu, apalagi untuk ulama yang sangat berpengaruh, selalu mengagetkan, walaupun sebelumnya sudah tersebar kabar “pendahuluan”. Salah satu tokoh besar tempat bernaung para pendamba kerukunan umat itu telah pergi. Suatu kehilangan besar bagi bangsa Indonesia, juga umat Islam di seluruh dunia.
Sebelum menerima kabar pasti tentang kepergian KH Hasyim Muzadi, Kamis (16/3/2017) pagi pukul 06.15 WIB, berita hoax tentang kematian ulama besar (yang sebenar-benarnya ulama) ini sudah banyak beredar, sampai-sampai Rumah Sakit Lavalette Kota Malang, tempat beliau dirawat, mengeluarkan klarifikasi resmi tentang kondisi kesehatan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) periode 1999-2010 itu.
Rasa kehilangan, kesan-pesan mendalam tentang kebaikan, dan kenangan-kenangan dalam beragam perspektif senantiasa menyertai setiap kepergian tokoh panutan. Tulisan sederhana ini akan merilis bagaimana sosok KH Hasyim Muzadi dalam kenangan para aktivis Muhammadiyah, meski tentu tidak akan bisa mewakili semuanya karena setiap orang pasti memiliki perspektif dan kenangan yang berbeda-beda.
Dalam skala nasional, Kiai Hasyim merupakan satu di antara banyak tokoh utama NU yang memiliki hubungan sangat dekat dengan Muhammadiyah, baik secara fisik maupun nonfisik (terutama pemikiran dan pandangan politik). Saya sebut dalam skala nasional karena di tingkat lokal juga tidak sedikit tokoh NU yang punya hubungan baik dengan Muhammadiyah.
Penegasan “hubungan baik” NU-Muhammadiyah penting dikemukakan mengingat antara kedua organisasi Islam “raksasa” ini kerap dipersepsikan, atau setidaknya dianggap, bertentangan dalam banyak hal. Ada yang berpendapat NU lahir (1926) sebagai respons atas kelahiran Muhammadiyah (1912). Pendapat ini, antara lain, didukung oleh adanya fakta-fakta sejarah yang membutuhkan paparan tersendiri (di luar tulisan ini).
Seolah kedua organisasi ini selalu berseteru, ada kalangan yang berpendapat, jika NU dan Muhammadiyah tak ada masalah, selesailah masalah yang melilit bangsa ini. Pendapat yang kurang tepat tapi cukup baik agar aktivis kedua organisasi ini terus-menerus introspeksi.
Jika ada mainstream perbedaan antara NU dan Muhammadiyah, maka Kiai Hasyim termasuk tokoh yang keluar dari mainstream itu. Beliau sangat dekat dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah pada eranya seperti Ahmad Syafii Maarif dan Din Syamsuddin. Terutama dengan Din Syamsuddin, di samping sama-sama alumni Pondok Modern Gontor, keduanya memiliki pandangan politik yang sama, misalnya dalam hal pentingnya memperjuangkan representasi umat Islam dalam politik.
Para era kepemimpinan Din Syamsuddin, Kiai Hasyim beberapa kali mengisi pengajian yang diadakan Muhammadiyah, sampai-sampai Din pernah berseloroh, “Pak Hasyim ini bisa-bisa jadi Ketua Umum Muhammadiyah,” yang kemudian dijawab Kiai Hasyim dengan “boleh juga” sambil tersenyum. Setiap mengisi pengajian di Muhammadiyah, pengasuh Pesantren Al-Hikam ini selalu disambut meriah dan antusias.
Di mata para aktivis Muhammadiyah, Kiai Hasyim merupakan tokoh NU yang memiliki pergaulan sangat luas, tegas dalam mempertahankan prinsip-prinsip Islam, namun santun dalam menyampaikan prinsip-prinsip itu. Karena keluasan pergaulan dan kesantuanannya itulah, Kiai Hasyim disebut oleh Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat ini, sebagai tokoh umat Islam dan tokoh bangsa Indonesia yang kerap menjadi jembatan kerukunan dan dialog antarumat beragama.
“Kita kehilangan ulama kharismatik yang hangat dan bersahabat. KH Hasyim Muzadi merupakan sosok pemimpin umat dan bangsa yang memiliki prinsip kuat,” demikian tulis Haedar dalam akun resminya @HaedarNs.
Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015, Din Syamsuddin, menyebut Kiai Hasyim sebagai promotor dari Islam rahmatan lil-’alamin, di dalam maupun di luar negeri. Menurut Din, umat Islam sangat kehilangan karena kepergian Kiai Hasyim justru terjadi di tengah dunia Islam yang memerlukan sosok dan wawasan tentang Islam rahmatan lil-’alamin atau tentang Islam moderat.
Sementara itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1999-2005, Ahmad Syafii Maarif mengenang Kiai Hasyim sebagai sosok yang terus berjuang menjembatani keberagaman di Indonesia. “KH Ahmad Hasyim Muzadi merupakan salah seorang pemimpin bangsa yang dengan gigih telah turut mengokohkan pilar-pilar integrasi nasional. Kepergian sahabat kita ini telah meninggalkan perasaan duka yang dalam bagi kita semua,” ungkap pendiri Maarif Institut yang kerap disapa Buya ini.
Menurut saya, pandangan Ketua Umum dan dua mantan Ketua Umum Muhammadiyah ini cukup mewakili perasaan dan pandangan umumnya aktivis Muhammadiyah tentang sosok Kiai Hasyim Muzadi. Suatu pandangn bersahabat yang mewakili satu generasi dua organisasi besar pasca “perseteruan” antara KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Amien Rais, perseteruan yang lebih disebabkan karena perbedaan kepentingan politik.
Seperti semua umat Islam dan bangsa Indonesia, Muhammadiyah sangat kehilangan dengan kepergian anggota Dewan Pertimbangan Presiden RI yang juga pernah menjadi calon Wakil Presiden mendampingi Calon Presiden Megawati Soekarnoputri.
Fisik beliau boleh saja pergi untuk selamanya, tapi semangatnya untuk menyuarakan kebenaran dan membangun toleransi, serta upayanya membangun jembatan antaragama dan berbagai kepentingan, akan terus hidup dan dilanjutkan oleh generasi baru dari kalangan aktivis Islam, baik dari NU maupun Muhammadiyah. Selamat jalan Kiai Hasyim, semoga surga-Nya menjadi surgamu dan surga para penerusmu. Amin.