Entah apa yang ada dalam pikiran Menteri Pertanian Amran Sulaiman ketika ia menanggapi pertanyaan wartawan perihal tingginya harga cabai di Indonesia beberapa pekan terakhir. Amran mengatakan bahwa tingginya permintaan cabai dapat diatasi dengan menekan permintaan cabai di lingkungan rumah tangga.
Solusinya, ia meminta ibu-ibu agar menanam cabai di rumah. Namun yang disesalkan oleh beberapa elemen perempuan adalah pernyataan Amran: “Persoalannya mau apa tidak. Kurangi make-up, kalau tak sedikit tak apalah agar disayang suami. Jangan malas tanam cabai di rumah.” (detik.com, 12/01/2017).
Apa hubungan tingginya harga cabai dengan make-up? Entah. Namun, sekalipun itu lelucon, bagi komunitas Perempuan Pegiat Keadilan Sosial dan Ekologis (Ecosisters), pernyataan Amran dinilai tidak proporsional dan tidak relevan dalam menyudutkan perempuan terkait tingginya harga cabai. Ecosisters lantas mengajukan petisi bertajuk “Menteri Pertanian, tak ada Korelasi antara Harga Cabai dengan Make-Up!” via change.org.
Kala Perempuan “Ditakdirkan” di Dapur
Pernyataan “tak nyambung” sang menteri tanpa ia sadari sebenarnya menyiratkan masih mengendapnya mental patriarkis kaum adam terhadap kaum hawa di Indonesia pada masa sekarang. Dapur–selain halnya kasur dan sumur–seringkali disimbolkan sebagai ruang hidup keseharian bagi perempuan. Mulai dari urusan berbelanja bahan-bahan memasak, memasaknya hingga menghidangkannya di meja makan adalah urusan bagi perempuan yang sudah berumah tangga.
Bagi yang belum berumah tangga, seorang perempuan akan diarahkan oleh lingkungan sosial-budaya mulai dari keluarga hingga masyarakat di sekitarnya bahwa dapur kelak bakal jadi ruang sehari-harinya ketika ia menjadi seorang istri.
Hubungan antara perempuan dan dapur bahkan telah dinyatakan secara terang-terangan dalam sebuah buku masak berbahasa Sunda tempo doeloe terbitan Balai Pustaka tahun 1934, Masakan djeung Amis-Amis (masakan dan manis-manis). Di dalam kata pengantarnya, ada pernyataan: “ari boga pamadjikan kudu matak ngeunah angĕn ngeunah angeun” (jikalau punya istri mesti bagus penampilan dan masakannya).
Mampu untuk memasak memang menjadi salah satu standar citra ideal perempuan Indonesia pada masa lalu. Para pria pun galibnya mengidamkan perempuan seperti ini agar mereka bisa betah di rumah dan tidak banyak jajan alias banyak makan di luar rumah. Malah di dalam buku Masakan djeung Amis-Amis disinggung pula korelasi antara kemahiran memasak seorang perempuan dengan keutuhan rumah tangganya, yang diharapkan: “mugi-mugi matak wuwuh kareugreugan rumah tangga saréréa” (semoga menjadi kokoh rumah tangga sekalian).
Perempuan pun di/ter-dorong (atau di/ter-desak) untuk bisa mahir memasak. Tujuannya tidak lain agar mereka disayang suami dan mertua. Ibu seorang perempuan pun lazimnya mensyaratkan putrinya untuk belajar memasak sebaik-baiknya sebelum seorang pria meminangnya menjadi garwa-nya (istri). Tidak heran untuk memenuhi syarat itu, banyak berdiri sekolah atau lembaga kursus memasak di kota-kota besar pada masa kolonial.
Jika hal itu kini dilihat melalui wacana gender, nuansa kehidupan sosial budaya tempo doeloe memang terasa sangat patriarkis. Takdir seakan menggariskan, dapur adalah ruang hidup sehari-hari bagi perempuan. Seorang perempuan pun seolah berserah pada takdirnya.
Namun, sekalipun bernuansa begitu, di tangan para garwa, citra kuliner yang dihasilkan dari ruang-ruang dapur saat itu penuh dengan selera menggoda. Hobi memasak pun bukan hanya urusan mengolah bahan makanan dan mencicipinya saja. Pada masa ekonomi sulit (malaise) dasawarsa 1930-an, pemerintah kolonial Belanda melalui Instituut voor Volksvoeding (lembaga makanan rakyat)-nya, mensosialisasikan pengetahuan kepada anak-anak hingga dewasa untuk memahami pengetahuan kuliner mulai dari hulu hingga hilirnya.
Sosialisasi ini diikuti pula dengan praktik pembudidayaan tanaman pangan dan ternak secara swadaya agar masyarakat tidak perlu melulu bergantung kepada pasar. Pada masa itu banyak terbit pula buku-buku bertema pengetahuan pangan mulai dari cara bercocok tanam tanaman, berternak hingga seni memasak. Dalam hal ketahanan pangan nasional, keluargalah yang sebenarnya didorong untuk berada di garda terdepan untuk mempraktikkan pengetahuan pemenuhan pangan dalam hidup sehari-hari.
Pada masa awal kemerdekaan, pengetahuan ilmu makanan sejak masa kolonial banyak terwariskan dalam program-program pemerintahan Sukarno. Lalu, pada masa pascaperang Revolusi Kemerdekaan tahun 1950-an, ada propaganda “Empat Sehat Lima Sempurna” yang diinisiasi oleh ahli gizi Dr. Poorwo Soedarmo. Saat itu, peran para ibu sangat dibutuhkan oleh negara untuk menanamkan pola makan sehat bagi anak-anak mereka dalam masa pertumbuhannya. Bukan hanya sekadar mendukung para ibu sebagai “ujung tombak gizi nasional”.
Negara juga berperan mengamankan lahan-lahan pangan agar tidak beralih fungsi ke non-pangan dan juga mengajak keluarga Indonesia untuk seoptimal mungkin memberdayakan pekarangan rumahnya sebagai lahan bercocok tanam dan berternak.
Jangan Lempar Permasalahan
Mendudukkan perempuan dalam urusan pangan dan dapur di lingkup situasi masa sekarang dengan situasi masa lalu tentu amat berbeda masalahnya. Maka, amatlah tidak patut melempar permasalahan tingginya harga cabai kepada para ibu ketika banyak di antara mereka yang tak punya pekarangan di rumahnya untuk bercocok tanam; amatlah tidak patut melempar permasalahan kepada para ibu yang punya pekarangan luas tapi tak pernah paham pengetahuan bercocok tanam; pun amatlah tidak patut melempar permasalahan kepada para ibu yang tidak punya kemampuan mengolah cabai jadi sambal karena “takdir” mereka lebih banyak berkarir di luar rumah, ketimbang hidup sehari-hari di ruang dapur.
Para ibu sebenarnya bukan malas menanam cabai. Tapi ini lebih karena imbas akumulasi dari kian menganganya masalah rusaknya mata rantai pangan Indonesia yang akhirnya menjauhkan dan menjatuhkan mental kolektif masyarakat Indonesia dari citra masa lalunya sebagai, konon, bagian dari negara-bangsa agraris nan gemah ripah loh jenawi itu.
Maka, patut disayangkan ketika seorang menteri pertanian melemparkan masalah tingginya harga cabai kepada kaum ibu, ketika pada sisi lain ada banyak permasalahan krusial pangan yang mendesak dipikirkan dan dipecahkan oleh Kementerian Pertanian.
Mari pikirkan, siapa yang seharusnya bertanggung jawab menjaga keutuhan lahan-lahan pangan di Indonesia yang setiap tahun rata-rata menyusut 100.000 hektare? Siapa yang bertanggung jawab memenuhi janji menyejahterakan kehidupan petani dan melepaskan mereka dari kemiskinan akibat belenggu pertengkulakan? Siapa yang bertanggung jawab menurunkan harga-harga kebutuhan pangan, mulai dari cabai hingga daging, agar masyarakat bisa menjangkaunya demi memenuhi selera makan dan gizi mereka?
Wahai para ibu, tentu bukan kalian yang perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Yang perlu ibu-ibu lakukan: jangan pernah sekalipun urusan cabai dicampur dengan make-up! Pedas rasanya!