Olangan dapat diartikan sama dengan sorangan (Bahasa Sunda) yang berarti sendiri. Dalam konteks ini olanganisme atau soranganisme tidak lebih dari praktik kerja sendirian ala Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dengan menggunakan sistemnya sendiri berdasarkan pertimbangan nilai politik, sosial, atau ekonomi. Olanganisme-soranganisme kemudian menjadi dorongan otoritas kekuasaan untuk melaksanakan kehendaknya.
Bandung One-Man Show
Dalam mewujudkan Bandung sebagai kota yang smart dan kreatif, Ridwan Kamil menghadirkan narasi heroik dan membangun citra sendiri dengan make-up tebal pembangunan tanpa atau minim substansi kewargaan kotanya. Kelatahan tampak dalam membangun sesuatu yang gigantis, tampak mewah, clean, dan cantik melalui representasi infrastruktur dan manifestasi imaji modernitas lainnya dari otoritasi kekuasaan akan nilai pembangunan sebuah kota. Di luar yang tampak itu harus segera dihilangkan.
Padahal, kota merupakan skala ekonomi yang memproduksi relasi paling mencukupi antara manusia dengan alam. Ia harus dapat memproduksi kemakmuran publik atau sosial, yang berisikan tidak hanya sebuah substitusi bagi konsumsi atau kemakmuran privat, melainkan juga basis bagi kebutuhan-kebutuhan yang tidak dapat hadir atau dipenuhi di bawah kerja kapitalisme.
Kota kemudian menjadi ekskalasi penanda zaman antara publik dan alamnya, termasuk hiruk-pikuk tata kelolanya. Setiap zaman mempunyai masa heroik dan membangun menaranya sendiri. Heroisme Ridwan Kamil yang berkosmetik melalui kinerja otoritas kota. Zona pencitraan menjadi zona yang pasti ada dalam sistem otoritas kota yang tengah bercokol di Indonesia. Fase ini sedang menimpa Bandung dengan apa yang disebut olanganisme atau one man show.
Politik reformis kota yang mengacu kepada desentralisasi hanya kosong melompong. Sangat bisa dipastikan, tidak ada pemerintahan yang mampu berurusan dengan masalah utama yang serius dari ketimpangan urban, termasuk di kota Bandung. Pasalnya, lantaran otoritas kota tidak bakal menyentuh nilai properti (kewargaannya). Memang terdapat proses kerja Musrembang Kota yang digadang-gadang sebagai bagian dari kerja bottom-up.
Musrembang ini relatif menjadi poros baru dari kelompok kepentingan yang berafiliasi dengan sabuk kekuasaan. Lalu semua hanya dinilai sebagai neraca laba-rugi kota terkait investasi dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam akumulasi kerja pembangunanisme. Hal ini menjadi heroik tatkala warga disuguhi citra-citra pembangunan yang menghadirkan lansekap gimmick kota dengan make-up tebalnya di hanya sebagian kawasan.
Seyogianya, Ridwan Kamil bertanggung jawab atas kota yang dipimpinnya melalui kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkannya. Kebijakan akan selalu bermata dua, menghasilkan narasi terang dan gelap bagi warga kotanya. Otoritas kota akan memiliki surplus kuasa atas social power, information power, dan capital power terhadap wilayah kuasanya, termasuk warga di dalamnya.
Surplus itu kemudian diejawantahkan dalam visi tentang kota super melalui kerja pembangunanisme yang kreatif dan smart yang sedang dirujuk oleh kota Bandung. Di sini terdapat begitu kayanya pemikiran utopian, setidaknya dalam waktu sekarang ini terkait dengan urbanisme kota.
Heroisme Ridwan Kamil
Bandung bukan semata-mata hasil kerja para pemikir, perancang, proyek-proyek, dan studi-studi kasus dari pemerintah saja, melainkan juga tentang keterlibatan aktivitas individual dari penghuni urban dan warga marjinal perkotaan. Terdapat institusi kewargaan yang memproduksi memori kolektif dan narasi kebudayaan masyarakat sipil perkotaan dengan fleksibilitasnya masing-masing dalam proses mengaktivasi kotanya.
Ada pula komunitas-komunitas yang (telah) bekerja bersama warga tanpa label-label menjadi bagian dari pembangunan kota kreatif dan smart atau sebuah kerja sosial enterpreneurship yang sebenarnya hanya berupa narasi-narasi heroisme masyarakat kelas tertentu yang dilegitimasi oleh hegemoni pembangunan olanganisme otoritasnya.
Akan tetapi, nyatanya, pembangunan seperti itu hanya memberikan narasi miris pada kehidupan kota. Tercerabutnya keadaban komunal, memori kolektif kewargaan, dan lingkungan fisik kota sebagai medium hidup dan penghidupan warga menjadi dampak yang sangat nyata. Kota semakin tenggelam oleh pembangunan tidak ramah lingkungan/warganya. Ini akan terus membebani kota dan warganya sendiri, sehingga kehidupan di kota menjadi tidak ramah dan sehat lagi.
Membangun Bandung tidak perlu heroik dan dengan kosmetik sana-sini untuk mendapatkan nilai citra kota yang hanya diukur oleh penghargaan, data statistik, dan like jempol di media sosial. Tanpa kosmetik pun Bandung sudah cantik oleh atmosfer kewargaan yang surplus oleh social power dan information power. Tinggal bagaimana capital power menjalankan pembanguan yang adil dan beradab. Salah satunya penyediaan ruang hidup untuk warga dan lingkungannya bagi seluruh warganya tanpa membedakan kelas dan status sosialnya maupun skala geografis.
Warga Bandung telah kehilangan kekuasaannya dan telah tercerabut hak kewargaannya untuk mendapatkan hak atas kotanya. Hal ini diperburuk oleh upaya depotilisasi yang ditimpakan kepada warga. Otoritas kota mengondisikan warga untuk kepentingan politik (pencitraan) yang dibangun dengan meletakkan politik pembangunan yang bersandar pada kepentingan kapital (capital power).
Realitas saat ini, Ridwan Kamil memberlakukan warganya hanya sebagai ornamen hiasan kota. Warga yang harus menerima saja segala macam bentuk apropriasi pembangunan kota. Hal ini terlihat dalam kerja pembangunan infrastruktur kota yang berisiko bagi warga dan kota itu sendiri. Lihat beberapa proyek infrastruktur yang tidak sesuai dengan RTRW dan RDTR, bahkan tidak termaktub dalam RPJMD kota hingga perihal akuntabilitas yang tidak sepenuhnya transparan.
Pemaksaan kebijakan pembangunan tanpa skala priorotas substantif yang lebih berguna untuk warga karena bukan kebijakan populer, hingga tata tertib birokrasi dan angggaran. Masih perlukah UU, RTRW, RDTR dan PRJMD jika rencana dengan realitas jauh berbeda.
Terkait hal tersebut, dalam klaimnya yang diunggah melalui media sosial, Ridwan Kamil berupaya mempreteli satu per satu kewenangan pengambilan keputusan yang terlalu wali kota sentris dengan hadirnya berbagai forum penasihat wali kota dan berbagai bidang dan pemangku kepentingan agar check dan balance tersistemasi, bahkan hingga urusan diskresi dan bantuan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR).
Terdapat Forum CSR, Forum Pemantau Zona Integritas, Tim Diskresi, Tim Kebijakan Publik, Tim Cagar Budaya, Tim Ahli Bangunan Gedung, Dewan Smart City, Dewan Kebudayaan, Dewan Pendidikan hingga terdapatnya program 1 arsitek 1 kelurahan dan 50 kewenangan kepada Camat. Belum lagi ditambah oleh pembentukan tim KPK Kota Bandung dan Tim Saiber Pungli.
Melihat begitu ”lengkap”-nya formasi dalam proses pengambilan keputusan publik, seyogianya keputusan-keputusan publik dikerjakan melalui tata birokrasi yang tertib dan berdampak signifikat terhadap masyarakat, termasuk kemudahan askes transparansinya. Lalu, pembangunan yang terjadi di kota ini atas prakarsa siapa?
Nyatanya otoritas kekuasaan olanganisme-soranganisme yang berkelindan dengan sistem kerja berbentuk pemerintahan korporatis mendominasi praktik kerja dan citra visual dari lanskap kota Bandung saat ini.
Bentuk pemerintahan dan pembangunan kota membentuk kelompok-kelompok kepentingan yang ter/diorganisir berdasarkan sektor vertikal yang memotong struktur horizontal, dalam hal ini masyarakat sipil. Wakil-wakil sektor dari kelompok kepentingan yang berfungsi secara bersama dalam suatu pemerintahan kota elite yang koheren bahkan terkesan heroik dalam praktik kerja olanganisme-soranganisme
Di Bandung, kondisi ini nyata terjadi. Kelas sosial masyarakat menengah akan selalu diuntungkan oleh metode dan cara kerja pembangunan kota yang modern seperti ini. Misalnya, penyediaan taman-taman kota dan trotoar seyogianya diperuntukkan untuk semua lapisan masyarakat. Akan tetapi, narasi politiknya adalah untuk kelas menengah yang ditandai dengan agresivitas swafoto dan indeks kebahagiaan sebagai variabel pengukurnya yang ternyata juga tidak mewakili kebahagiaan warga yang sebenarnya.
Bagaimana bisa kebahagiaan warga dilihat dari kepuasaan ketika piknik dan swafoto di taman-taman kota tersebut, tapi warga sulit mendapatkan akses air bersih, selalu kebanjiran hingga putus asanya terkait skema Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Belum lagi terkait skema Kredit Melati yang digadang-gadang mampu meng-upgrade pedagang sektor informal menjadi seorang enterpreneurship, tapi dalam praktiknya mengalami gentrifikasi kelas terkait yang mampu mengaksesnya, hingga begitu reaksioner dan simplifikasinya penanganan banjir dengan skema tol air.
Lalu pembentukan KPK Kota Bandung yang seolah ingin menunjukkan transparansi publik. Namun, jika melihat bagaimana anggaran kota digunakan dan bagaimana proses penggunaannya terkait pekerjaan yang tampak di depan mata publik (seperti taman-taman, gorong-gorong, ornamen dekoratif kota [patung robot-robot, dinosaurus] hingga tiang-tiang lampu agar menyerupai kota-kota moden di Eropa atau yang terbaru Skywalk Cihampelas yang prestisius itu), tidak tampak sepenuhnya menunjukkan kerja transparansi yang akuntable dan tanpa risiko anggaran dan risiko ekologis.
Hal-hal di atas menyuguhkan narasi pembangunan berbeda dengan yang ditampilkan di media sosial, yang tentu saja (hanya) menjadi narasi heroismenya sendiri.
Belum lagi perunahan lanskap yang masih dalam rencana, seperti tukar gulingnya pembuatan jalan layang (flyover) baru yang akan didanai pemerintah Korea dengan suatu kawasan “komersial” yang akan disulap menjadi kawasan Korea. Atau rencana perubahan lanskap Jalan Sudirman untuk kepentingan turisme setelah sebelumnya dilakukan di Jalan Dago dan Jalan Asia Afrika.
Di sini, ada hal lain yang lebih prioritas dibandingkan hanya kepuasan desain arsitektural dan strategi politik pembangunan.
Tindakan dan perilaku pejabat publik adalah politik. Maka, politik dipahami sebagai upaya untuk mempengaruhi kehidupan publik. Oleh sebab itu, tata tertib birokrasi dan anggaran serta pelibatan menjadi garda depan dalam skema good governance yang telah mendapatkan predikat dan penghargaan terbaik yang perlu pembuktian komprehensif di tataran kebijakannya.
Kita perlu mengapresiasi apa yang dilakukan Ridwan Kamil melalui media sosial, dan itu luar biasa berdampak kepada “image” personalnya dan branding kota Bandung yang mampu hadir di tengah masyarakat millenial ini. Terbukti dengan banyaknya penghargaan atas klaim-klaim keberhasilan pembangunan. Namun, persoalan Bandung tidak akan selesai hanya oleh genit-genit media sosial dan lauching ini-itu seolah semua dapat mudah direalisasikan semudah mengunggahnya di media sosial.
Proyek-proyek pembangunan infrastruktur fisik dan non-fisik dengan narasi besar untuk kepentingan promosi kota bukan tanpa risiko. Silang sengkarutnya kebijakan yang dalam tahapan implementasinya sangat berbeda dengan ketika diluncurkan. Ini berdampak pada segregasi sosial dan spasial yang nyata, termasuk terkait keberadaan good governance yang seyogianya diupayakan kota, warga, dan pemerintahnya bukan hanya semata kerja olanganisme kekuasaan.