Ada yang bilang bahwa majunya Ridwan Kamil sebagai kandidat dalam Pemilihan Gubernur Jawa Barat periode 2018-2023 melalui jalur dukungan partai adalah bentuk penyalurannya terhadap syahwat politiknya secara pribadi.
Benar atau tidaknya, tentu Ridwan Kamil sendiri yang mengetahui hal itu. Kita, terutama saya yang hanya sebagai pengamat amatiran, hanya mampu menerka-nerka tanpa tahu betul isi hati si Akang.
Seperti diketahui, Minggu, 19 Maret 2017, pemilik sapaan akrab Kang Emil ini resmi mendapat dukungan dari Partai Nasional Demokrat sebagai salah satu peserta Pemilihan Gubernur Jawa Barat. Ia sendiri mengaku menerima dengan baik aspirasi siapa pun yang memang berniat baik untuk mendukungnya. Ini adabnya berterima kasih ketimbang dirinya harus menolak dukungan tersebut yang terkesan menunjukkan sikap kesombongan belaka.
“Toh, keputusan pastinya masih jauh. Esok lusa ada tambahan dukungan ya ditunggu, tidak juga ya diterima saja takdirnya,” demikian sikap Kang Emil yang ia paparkan melalui akun Facebook pribadinya, Senin (20/3/2017).
Ya, seperti juga pandangan Kang Emil, setiap pilihan politik tentu punya konsekuensi di masing-masingnya. Memilih yang ini atau itu, pasti selalu akan disertai dengan penolakan juga penerimaan. Dan suka atau tidak, yang bersangkutan tidak harus menjadikannya sebagai halangan. Berani maju untuk menang, hanya itulah sikap yang wajib dimiliki, teruntuk juga bagi Kang Emil.
Terkait dengan syahwat politik, kita harus akui bahwa siapa pun, termasuk Kang Emil, senantiasa akan punya syahwat yang demikian ketika terjun ke dunia politik. Syahwat politik, diakui atau tidak, adalah semacam visi yang mendorongnya untuk bertarung di medan perang yang sebenarnya.
Soal Kang Emil yang tidak mau mengakui itu, saya sendiri tak menjadikan sebagai satu hal yang wajib dipersoalkan. Karena, memang, tiap orang punya strategi tersendiri untuk membangun citranya di hadapan publik. Itu hak masing-masing orang yang karenanya tidak patut dipersoalkan secara lanjut.
Adapun soal dirinya menerima pinangan dari Partai NasDem, mengapa kita yang harus kebakaran jenggot? Namanya juga politisi. Tentu Kang Emil membutuhkan kendaraan politik, dalam hal ini partai politik, guna membantu mengantarkannya ke puncak di mana ia seharusnya berada: Gubernur Jawa Barat.
Penolakan yang Kerdil
Salah satu alasan mengapa Ridwan Kamil banyak ditolak dengan pilihan politiknya ini karena dirinya di-back up oleh partai pendukung penista agama. Ia didukung oleh salah satu pemilik stasiun TV yang identik dengan pendeskreditan agama Islam.
Sehebat apa pun seorang pemimpin, jika sudah berkoalisasi dengan penista agama, maka wajib untuk ditinggalkan. Sungguh alasan yang sangat tidak berdasar alias kerdil sekerdil-kerdilnya.
Jujur, saya justru tambah merasa risih mendengar alasan penolakan seperti itu. Pertama, sampai hari ini Partai NasDem tidak pernah terbukti menjadi partai pendukung penista agama. Lha, wong yang menista agama siapa coba? Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok? Apa buktinya?
Kedua, kalaupun memang iya, bisakah itu menjadi dasar penolakan yang utama? Sungguh, tak ada bukti valid yang menunjukkan bahwa dukungan dari partai penista agama membuat suatu pemerintahan di suatu wilayah menjadi hancur. Tak pernah ada dalam sejarah.
Alasan lain yang juga menjadi dasar penolakan Ridwan Kamil adalah soal konsistensi dan independensi.
Ya, Ridwan Kamil ditolak karena dianggap tidak konsisten secara politik. Ini persis dengan apa yang juga dialami oleh Ahok di Pilkada DKI Jakarta. Sebelumnya, keduanya sama-sama mengaku akan maju dalam kontestasi politik berjalur independen. Tapi apa yang terjadi? Keduanya memilih untuk diusung oleh partai.
Apakah benar ini bentuk penistaan terhadap konsistensi? Saya rasa tidak. Karena, soal konsistensi bukan hanya soal kata-kata saja, melainkan yang lebih utama terletak pada sikap. Dan persis pada titik inilah syahwat politik seorang Ridwan Kamil berfungsi. Pun demikian dengan sikap Ahok di Pilkada DKI Jakarta.
Bahwa keduanya, Ridwan Kamil dan Ahok, sama-sama ingin mengejar mimpinya sebagai pelayan rakyat di daerah pemilihan masing-masing. Bahwa Ridwan Kamil ingin menyelesaikan segala persoalan yang kini melilit Jawa Barat, sebagaimana Ahok yang ingin terus membenahi Jakarta dari segala persoalan yang juga kini melilit Ibu Kota, mulai dari persoalan banjir sampai perilaku koruptif di kalangan pejabatnya. So, bukankah ini sikap konsisten?
Terkait soal independensi, atas dasar apa kita bisa menilai seseorang independen atau tidak jika yang bersangkutan memilih strategi politiknya dengan harus berkoalisi dengan partai ini-itu? Sekali lagi, ini soal strategi kemenangan. Bahwa setiap orang ingin menang dalam sebuah pertarungan. Selama cara yang digunakan tidak mengkhianati proses, maka apa salahnya jika ia memilih untuk berkoalisi dengan partai tertentu atau tidak?
Lagi pula, mendapat dukungan dari partai, bukankah itu adalah sunnah dalam pertarungan politik? Dengan kata lain, tak ada “dosa politik” jika ini yang dijadikan pilihan. Namanya juga sunnah, bukan?
Mari, tak perlulah nyinyir-menyinyiri. Jika hal ini yang terus kita ributkan, kapan kita akan menjadi bangsa yang benar-benar merdeka? Kemerdekaan itu hanya bisa diraih dari sejauhmana kita mampu menggunakan daya berpikir dan bersikap kita secara merdeka pula.
Membatasi orang lain atau diri sendiri adalah bentuk ketidakmerdekaan alias ketidakbebasan. Bagaimana bisa kita merdeka jika kebebasan saja tidak bisa kita miliki dan kuasai? Bagaimana bisa merdeka jika kerjaan kita hanya terarah untuk saling batas-membatasi seperti itu? Mustahil!