Bank Pembangunan Asia (ADB) telah menyetujui permohonan Indonesia terkait pengajuan pinjaman utang sebesar US$ 400 juta atau setara Rp 5,58 triliun. Pinjaman utang ini patut dipertanyakan. Terlebih pinjaman tersebut hadir di saat perekonomian Indonesia sedang anjlok.
Direktur Eksekutif Institute National Development and Financial (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, terkait pinjaman utang, pemerintah tak bisa serta merta mengajukannya secara langsung tanpa berdiskusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sebab, ini mekanisme bernegara yang diatur dalam prosedur yang berlaku. Tanpa ada pembahasan dengan DPR, akan seperti apa pertanggungjawabannya nanti.
“Ini yang menjadi pertanyaan. Utang tersebut bagaimana nanti pertanggungjawabannya. Pinjaman utang itu akan digunakan untuk apa. Lebih spesifiknya untuk membiayai program apa. Apakah sudah dibahas benefit atau manfaat penerimaan yang bakal didapat nantinya setelah membiayai program dari pinjaman utang itu,” kata Enny di Jakarta, Kamis (3/9).
Dia menjelaskan, mekanisme pinjaman utang pemerintah ini tentu harus melalui pembahasan dalam APBN. Kalau utang dari ADB baru muncul saat ini, maka utang tersebut menjadi pertanyaan akan masuk dalam tahun anggaran 2015 atau 2016. Padahal, utang itu digunakan untuk keperluan saat ini. Ini kejanggalan, karena APBN-Perubahan 2015 sudah diketok, sementara APBN 2016 masih dalam pembahasan di parlemen.
Enny menilai, dalam kondisi perekonomian saat ini tidak tepat bila pemerintah mengandalkan pinjaman utang dari luar negeri. Memang Indonesia membutuhkan dana dari luar negeri untuk memperkuat nilai mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Namun demikian, sifatnya jangan dalam bentuk utang, melainkan dari investasi.
Tambahan utang ini, kata dia, hanya akan membuat risiko terhadap likuiditas semakin besar. Cadangan devisa pun bakal habis tergerus lantaran digunakan untuk membayar cicilan utang dan bunganya. Terbukti cadangan devisa Indonesia turun. Bila pada Juni cadangannya mencapai US$ 108,03 miliar, namun di bulan berikutnya menjadi US$ 107,5 miliar.
Jumlah utang Indonesia hingga Agustus 2015 tercatat Rp 2.911 triliun. Utang itu terdiri dalam bentuk pinjaman sebesar Rp 694 triliun dan Surat Berharga Negara sebesar Rp 2.217 triliun. Jika dikalkulasi secara rasio, jumlah utang ini sudah mencapai 27,6 persen dari produk domestik bruto tahun lalu. [*]