Rabu, April 24, 2024

Pasal Penghinaan Presiden Jadi Momok Menakutkan Bagi Aktivis

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.

 

Presiden Joko Widodo bersama ibu negara Iriana Joko Widodo, Menpan RB Yuddy Chrisnandy (kanan), dan Menteri Kesehatan Nilla F Moeloek (kiri), membagikan Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) kepada warga Rusun di Bandarharjo, Semarang, Jateng, Kamis (30/7). ANTARA FOTO/HO/Agus Suparto

Pemerintah Joko Widodo mengusulkan pasal penghinaan presiden diaktifkan kembali. Rencana itu nantinya akan dimasukkan dalam draf revisi Kitab Undang Undang Hukum Pidana ke Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, usulan tersebut mendapat kritik keras dari berbagai kalangan, sebab pasal penghinaan presiden sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada Desember 2006. Bahkan MK juga memerintahkan pemerintah dan DPR menghapus norma itu dari RUU KUHP.

Bercermin dari putusan Mahkamah Konstitusi, pemerintah Jokowi tidak perlu menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden. Sebab, itu dikhawatirkan menjadi permasalahan kembali di masa yang akan datang. Permasalahan itu seperti menabrak koridor norma hukum, yakni Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal penghinaan presiden menjadi momok yang menakutkan bagi para demonstran. Dalam aksi unjuk rasa, misalnya, mereka kerap mengkritik pemerintahan Jokowi di depan umum dan ujungnya mereka bisa berurusan dengan pihak kepolisian. Pasal 264 RUU KUHP menyebut klausul ini:

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”

Artinya ruang lingkup penghinaan presiden diperluas dalam pemerintahan Jokowi.

“Kalau presiden diletakkan pada simbol negara, maka harus terperinci dan jelas. Bukan seperti pasal karet yang membungkam masyarakat. Jika pasal perlindungan simbol negara ada, maka harus sejajar dengan hak menyatakan pendapat di depan umum. Sebab, hak tersebut dilindungi oleh konstitusi juga,” kata Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Ronald Rofindri.

Dia menjelaskan, praktik di negara maju seperti Amerika Serikat mempunyai perlindungan simbol negara. Namun hak menyatakan pendapat juga dilindungi negara tersebut, sehingga penegak hukum tidak bisa menangkap seseorang dalam hal menyatakan pendapat. Di Indonesia, ada kekahwatiran pasal penghinaan akan lebih cepat diproses penegak hukum tanpa memperdulikan bahwa hak menyatakan pendapat dilindungi konstitusi.

“Ada kekhawatiran, rumusan penghinaan presiden yang diusulkan ke DPR tidak jauh berbeda dari pemerintahan dahulu. Artinya, bentuk kriminalisasi jauh lebih mudah terjadi, baik untuk pengkritik, lawan politik atau aktivis yang membuka keburukan kinerja pemerintah. Itu sama saja dengan mengulangi kesalahan yang sama,” kata Ronald.

Seperti diketahui, pada masa pemerintahan Abdurahman Wahid ada usulan dibentuknya Undang-Undang Lembaga Kepresidenan. UU itu untuk mengatur hak dan kewajiban presiden, jadi tidak perlu lagi ada pasal terkait persoalan presiden. RUU Lembaga Kepresidenan harus ada karena semua lembaga negara itu berdasarkan UU dan lembaga negara yang belum ada UU-nya adalah Lembaga Kepresidenan.

“Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial sudah diatur dalam UU. Sedangkan Lembaga Kepresidenan hingga saat ini belum ada,” kata Ronald.[*]

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.