Jumat, April 19, 2024

Mitigasi Perubahan Iklim Harus Merujuk Kearifan Lokal

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) dan Wapres Jusuf Kalla (kanan) berbincang dengan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan (kedua kiri) dan Seskab Pramono Anung (kiri) di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Minggu (29/11). Kepala Negara beserta delegasi bertolak ke Paris, Perancis, untuk menghadiri KTT Perubahan Iklim atau Conference Of Parties (COP) ke-21. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla berbincang dengan Menko Polhukam Luhut Pandjaitan dan Seskab Pramono Anung di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Minggu (29/11). Presiden Jokowi bertolak ke Paris untuk menghadiri KTT Perubahan Iklim ke-21. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menegaskan kehadiran Presiden Joko Widodo ke Conference of Parties (COP)21 di Paris sebagai momentum menyampaikan komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dengan baseline jelas, yakni menghitung dari kebakaran hutan dan lahan serta emisi sektor energi kotor seperti batu bara.

Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Walhi Kuniawan Sabar mengatakan, Intended Nationally Determined Contributions (INDC) Indonesia masih menunjukkan keragu-raguan komitmen atau kontribusi. Hal itu bisa dilihat dari hanya memasukkan indikasi penurunan emisi 29% dengan mekanisme business as usual (BAU). Karena itu, perlu dikoreksi.

“Jika pemerintah berkomitmen membangun ekonomi berkelanjutan, kami mendesak pemerintahan Jokowi tidak lagi menyerahkan kepada pasar dan korporasi. Sebab, itu akan semakin melanggengkan aturan pasar (komodifikasi) dan finansialisasi sumber daya alam,” kata Kurniawan di Jakarta, Senin (30/1).

“Jadi, Walhi berharap dalam pidatonya di UNFCCC, Jokowi mengakui dan menjadikan model kelola rakyat yang berbasiskan pada kearifan lokal sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Bukan kepada korporasi, termasuk dalam restorasi ekosistem.”

Pihaknya percaya bahwa ekonomi bangsa Indonesia akan lebih berkelanjutan dan berkeadilan jika dikelola oleh rakyat dengan kearifan dan pengetahuan lokal yang dimilikinya. Kurniawan menambahkan, pemerintah tidak lagi memberi ruang bagi upaya green wash korporasi yang terlibat dalam kasus asap, baik pelaku pembakaran maupun di wilayah konsesinya ditemukan titik api, termasuk atas nama restorasi ekosistem.

Namun, dia menambahkan, jika dalam COP Paris nanti Presiden Jokowi masih memberikan kesempatan kepada korporasi, termasuk dengan menggunakan mekanisme trading dalam penanganan perubahan iklim, itu sama artinya pemerintah melecehkan penderitaan korban asap.

Sementara itu, Manajer Kajian Eksekutif Nasional Walhi Pius Ginting mengatakan, COP di Paris sebagai momentum yang menentukan paska selesainya Kyoto Protokol. Pasalnya, COP tersebut dapat merumuskan langkah mendesak dan konkret oleh para pihak untuk keselamatan mahkluk bumi. Organisasi-organisasi masyarakat sipil memang mendesak COP21 Paris ini menghasilkan kesepakatan yang kuat untuk menurunkan emisi secara signifikan agar suhu bumi dapat turun 1,5 derajat Celcius seperti sebelum masa industri.

Walhi menilai, selama ini Kyoto Protokol terus diperlemah dengan tekanan dari sistem ekonomi politik kapitalistik yang menjadikan isu perubahan iklim sebagai peluang baru bagi korporasi dan negara industri untuk semakin mengakumulasi modal. Dengan menjadikan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, khususnya dalam mitigasi perubahan iklim melalui REDD salah satunya, korporasi yang sesungguhnya sebagai pencemar justru dijadikan seperti malaikat.

“Faktanya, krisis dunia terus terjadi. Penanganan perubahan iklim jalan di tempat, tidak ada kemajuan yang signifikan. Karenanya, paradigma ekonomi dan pembangunan dunia juga harus berubah,” ungkapnya. Mata dunia, lanjut Pius, tertuju pada Indonesia. Namun, sorotan itu bukan karena keberhasilan pemerintah memenuhi komitmen menurunkan emisi 26% upaya sendiri dan 41% bantuan internasional sampai tahun 2020.

Tapi, komitmen tersebut tidak terpenuhi, karena pemerintah Indonesia mengikuti dan mengambil pilihan mekanisme pasar dalam penanganan perubahan iklim, proyek-proyek REDD dijadikan isu utama dalam adaptasi perubahan iklim. Itu terbukti dengan sumber emisi gas rumah kaca Indonesia terbesar dari land use land use change and deforestation. Maka, peristiwa kebakaran hutan dan lahan justru menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia.

“Artinya, selama ini nyaris tak ada pembenahan tata kelola hutan dan gambut, bahkan di balik kemasan REDD sekalipun atau dengan kemasan restorasi ekosistem. Kalimantan Tengah yang dijadikan sebagai provinsi project REDD, tingkat kebakaran hutan dan lahan justru parah. Ini gambaran jelas bahwa solusi palsu penanganan perubahan iklim hanya melahirkan krisis.”

Kegagalan tersebut dan rentetan bencana ekologis ini semestinya memberi pelajaran penting bagi pemerintah Indonesia. Karena itu, COP 21 Paris menjadi momentum bagi pemerintah Indonesia untuk mengubah paradigma pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam. “Jalannya adalah dengan memberikan kepastian atas hak atau hak tenurial kepada rakyat dalam mengelola sumber-sumber kehidupannya,” tutup Pius.

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.