Minggu, November 24, 2024

LBH Pers: Kepolisian Aktor Utama Kekerasan terhadap Jurnalis

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
- Advertisement -
Polisi melarang wartawan mengambil gambar saat terjadi bentrokan antara polisi dan mahasiswa di Kampus Universitas Negeri Makassar (UNM). ANTARA FOTO
Polisi melarang wartawan mengambil gambar saat terjadi bentrokan antara polisi dan mahasiswa di Kampus Universitas Negeri Makassar (UNM). ANTARA FOTO

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menyatakan Kepolisian Republik Indonesia menjadi aktor utama dalam kekerasan terhadap jurnalis di berbagai daerah Indonesia. Hal itu terjadi karena kepolisian tidak pernah belajar dari kesalahan yang sama, bahkan tidak berani mengambil sikap tegas terhadap pelaku kekerasan yang berasal dari institusinya.

“Aktor utama dalam kekerasan terhadap jurnalis tetap polisi. Ada peningkatan kekerasan tapi polanya hampir sama dengan tahun 2014,” kata Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers Asep Komarudin di Cikini, Jakarta, kemarin. “Sanksi yang tidak tegas menjadi penyebab kasus kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian terus terjadi.”

Misalnya, kasus Jurnalis Zuhry di Pekanbaru. Penganiayaan terhadap Zuhry oleh pihak kepolisian akibat tidak maunya Zuhry menghapus hasil peliputan pembubaran demo Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI) oleh pihak kepolisian. Penganiayaan itu menyebabkan korban Zuhry geger otak.

Asep menambahkan, polisi bukannya malu karena tindakan penganiayaan itu, malah melaporkan Zuhry dengan pasal pencemaran nama baik Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Karena itu, pihaknya melaporkan kasus tersebut ke Polda.

Meskipun sudah melaporkan kasus tersebut ke Polda, lanjut Asep, pihak berwajib enggan menggunakan Undang-Undang Pers terhadap pelaku penganiayaan. Mereka lebih memilih menyelesaikannya melalui jalur kode etik kepolisian yang kita tidak ketahui mekanismenya seperti apa.

“Praktik impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis ini menjadi penyebab kasus serupa berulang di berbagai daerah Indonesia karena tidak ada sanksi tegas dan efek jera kepada pelaku. Akibatnya, kasus penganiayaan akan terus diikuti oleh pihak lain,” ujar Asep.

Selain itu, Asep menilai Kepolisian tidak menjalankan memorandum of understanding (MoU) dengan Dewan Pers dalam penyelesaian kasus terkait media. Misalnya dalam kasus aktivis ICW Emerson Yuntho. Seharusnya laporan dari Romli diarahakan ke Dewan Pers terlebih dahulu, bukan ngotot untuk membawa ke ranah pidana.

“Dalam kasus aktivis ICW, Bareskrim Polri ngotot membawa ke ranah pencemaran nama baik. Seharusnya UU Pers didahulukan dibandingkan UU lain seperti pidana dan perdata. Artinya Kepolisian tidak menepati janjinya sesuai dengan MoU,” ujar Asep. Tak hanya itu, di berbagai daerah, pihaknya melihat masih ada aparat kepolisian yang tidak mengetahui MoU antara Kepolisian dan Dewan Pers.

Di beberapa daerah, lanjut Asep, pihaknya menemukan ada aparat polisi yang tidak mengetahui MoU tersebut sehingga penyelesaian masalah media bukan di Dewan Pers. Karena itu, LBH Pers mendorong Kepolisian untuk melakukan sosialisasi kembali terhadap Polda, Polres, dan Polsek di seluruh Indonesia.

Asep juga menambahkan komitmen kebebasan pers di pemerintahan Jokowi masih kurang. Hal itu terbukti dengan terbitnya Surat Edaran Kapolri soal ujaran kebencian (hate speech). Kalau Jokowi benar-benar komitmen, seharusnya pemerintah mendorong penegak hukum untuk mencabut aturan hate speech, kemudian mendorong pejabat negara melakukan revisi UU ITE. Jika tidak, bisa jadi keengganan mereka merevisi atau mencabut karena ancaman bagi mereka sendiri.

- Advertisement -

Sementara itu, Direktur Eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin mengatakan, Surat Edaran Kapolri seharusnya berlaku untuk internal saja. Bukan mencampuradukkannya dengan hate speech. Dia mengaku khawatir ada langkah-langkah mengkriminalisasi pers mahasiswa seperti terjadi di Salatiga, Jawa Tengah.

“Ini potret buram kebebasan pers di Indonesia. Perlindungan jurnalis tidak ada. Karena itu, Kapolri harus perintahkan anggotanya dan menindak tegas pelaku kekerasan terhadap jurnalis dan melindungi jurnalis saat meliput,” kata Nawawi. Pihaknya juga kembali mendesak Kapolri beserta jajarannya untuk mematuhi MoU antara Kapolri dan Dewan pers dalam menyelesaikan kasus yang berkaita dengan media.

Reja Hidayat
Reja Hidayat
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.