Kamis, April 18, 2024

Jokowi, Rohingya, dan Diplomasi Kita

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Aung San Suu Kyi.

Tanpa kesigapan Indonesia membantu Myanmar mengatasi krisis Rohingya, masalah kemanusiaan yang mengharu biru ini bakal menjadi krisis internasional. Eskalasi kekerasan terus berlanjut jika Myanmar dibiarkan mengatasi masalahnya sendirian. Kebijakan rezim militer Myanmar yang sangat represif akan mengundang Dewan Keamanan PBB untuk menetapkan Myanmar sebagai negara yang harus diintervensi.

Perlu diketahui, sejak krisis Kosovo dan Timor Leste, Dewan Keamanan PBB telah menegaskan bahwa kedaulatan sebuah negara tidak terbatas pada aspek legalitas dan batas teritorial, melainkan juga bagaimana penyelenggara negara melindungi hak asasi manusia rakyatnya. Jika menindas, kepemimpinan negara harus dicopot PBB dengan berbagai cara.

Pesan dari Jakarta

Indonesia berhasil menyakinkan Myanmar akan realitas internasional ini. Jakarta mampu membujuk rezim Yangon menghentikan eskalasi kekerasan. Myanmar sejak awal memang panik dan resah karena gempuran tudingan internasional hingga butuh rasa aman dan ruang untuk membela diri. Dia memerlukan pihak yang dipercaya, jujur, dan paham akan keadaan sebenarnya. Myanmar menunjuk pihak itu adalah Indonesia.

Mereka minta Indonesia sebagai satu-satunya pintu bagi apa pun bantuan kemanusiaan serta upaya-upaya internasional dalam menyelesaikan krisis Rohingya tersebut. Myanmar nampaknya puas dengan kecerdikan Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatukan aneka organisasi Islam yang sebagian besar juga menghimpun dana ke Suriah dalam satu wadah aliansi bantuan kemanusiaan.

Pembentukan aliansi ini berhasil menyekat persepsi bahwa bantuan dari Indonesia adalah untuk Muslim Rohingya, tetapi untuk semua masyarakat lintas agama dan ras. Imbangan dari Aliansi kemanusiaan itu adalah keterlibatan sejak awal Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi ) dan Palang Merah Indonesia (PMI) yang tanpa gembar gembor sudah aktif melaksanakan tugas-tugas kemanusiaan di Rakhike. Keberhasilan ini telah menciptakan persepsi internasional bahwa tragedi Rohingya bukanlah konflik agama tapi kemanusiaan.

Dan atas nama kemanusiaan, Indonesia akan membujuk keras Bangladesh agar menampung pengungsi Rohingya, sementara upaya penanganan krisis di level internasional tengah dilakukan untuk mencegah kejadian serupa tidak terulang lagi. Indonesia menegaskan penyelesaian krisis dan keterlibatan internasional harus disetujui oleh Myanmar. Langkah memanggil dunia internasional ini tepat karena bagaimanapun Indonesia tidak bisa menanggung tugas besar sendirian.

Nantinya Indonesia ingin semua kesepakatan internasional sesuai usulan awalnya: menginginkan Rakhine sebagai kawasan inklusif yang memberi rasa aman bagi semua warga terlepas apa pun agamanya. Indonesia sejak tahun 2012 berusaha keras mewujudkan ini. Jika model pembangunan di Rakhine ini berhasil, maka program serupa bisa ditiru untuk mengatasi problema separatisme yang sampai kini mendera Myanmar.

Jadi, Indonesia ingin menanamkan embrio perdamaian permanen di kawasan Rakhine yang nantinya akan mempengaruhi kebijakan nasional Myanmar tentang rekonsiliasi nasional . Indonesia akan terus menyakinkan Myanmar bahwa tindakan represif hanya akan membuat negara ini lemah daya tawarnya di pelataran internasional. Campur tangan asing dengan maksud-maksud penguasaan ekonomi akan terjadi jika Myanmar terus menindas orang Rohingya.

Dan bisa dipastikan Indonesia memberikan contoh betapa dirinya sendiri pernah mengalami kejadian ketika intervensi asing sangat merendahkan martabat bangsa dan menciptakan kerugian besar dalam skala ekonomi dan politik secara jangka panjang. Hanya dengan kepemimpinan nasional yang kuat, entah itu militer atau sipil, dan berwelas asih serta bertindak terukur dalam kasus Rohingya, Myanmar bisa berwibawa di mata internasional. Perkembangan menunjukkan, wejangan dan jalan yang ditawarkan Indonesia ini disambut baik Myanmar.

Keberhasilan di Myanmar ini sekali lagi merupakan kisah sukses diplomasi kita yang mengemban amanat negara yang bebas aktif memajukan perdamaian internasional. Apa yang dilakukan Menteri Retno Marsudi di Myanmar juga menegaskan bahwa sejak lama kita menjadikan diplomasi sebagai unsur penting pertahanan negara.

“Buku Putih Pertahanan Indonesia 2015” menegaskan diplomasi adalah untuk mencegah niat negara lain menyerang atau mengancam kepentingan nasional. Karena itu, keberhasilan usaha diplomasi sangat bergantung pada kualitas dan kemampuan komunikasi strategis yang diperankan oleh unsur-unsur pertahanan negara.

Dalam buku itu juga ditegaskan peran penting Indonesia sebagai mitra strategis masyarakat internasional dilaksanakan melalui usaha-usaha perdamaian di berbagai kawasan dalam rangka membangun kepercayaan dunia. Upaya mempromosikan perdamaian dan stabilitas di berbagai kawasan, baik pada tataran regional maupun global, dilakukan melalui upaya-upaya diplomasi yang menjamin kepentingan nasional.

Acuan ini, meski dibuat 2015, adalah kelanjutan doktrin pertahanan sebelumnya yang selalu mengedepankan diplomasi sebagai ujung tombak kepentingan nasional. Jadi, terlepas dari beda gaya arahan politik luar negeri antara zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Joko Widodo, garis merah pentingnya diplomasi ini selalu sama dan akan terus mewarnai perjalanan para diplomat kita di masa-masa mendatang.

Yang selalu senyap bekerja memadamkan potensi ancaman ketika masih jauh di halaman depan. Yang hanya bersuara ketika memang penting bersuara. Seperti di kasus Rohingya.

Budi Setiawan
Budi Setiawan
Pengamat Sosial dan Hubungan Internasional, tinggal di Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.