“Kites rise highest against the wind – not with it” (Winston Churchill)
Layang-layang bisa terbang paling tinggi karena menantang angin, bukan mengikutinya. Ini rumus sederhana yang disampaikan Perdana Menteri Inggris Winston Churchill pada masa-masa sulit, terutama menghadapi Perang Dunia II. Ia memerintah tahun 1940-1945 dan 1951-1955. Terpaan dan hambatan harus dihadapi, bukan diikuti, apalagi dihindari.
Hidup seseorang dari lahir hingga dewasa secara proporsional akan terus menanjak, ibarat masuk sekolah dari kelas satu dan seterusnya hingga kelas yang paling tinggi. Untuk bisa naik kelas harus lulus ujian, dari yang ringan hingga yang amat berat. Makin tinggi kelasnya, makin berat ujiannya. Seperti pepatah, semakin tinggi pohon semakin kecang terpaan anginnya.
Menurut saya, Gubernur DKI Jakarta saat ini, Basuki Tjahaja Purnama, belum menjadi Gubernur “yang sebenarnya” karena dia hanya mewarisi, atau lebih tepatnya kelimpahan takhta, yang sebelumnya diduduki Joko Widodo (Jokowi). Andaikan Jokowi tidak terpilih menjadi Presiden RI pada Pemilihan Presiden 2014 lalu, Basuki akan tetap menjadi Wakil Gubernur.
Basuki akan benar-benar menjadi Gubernur pada saat terpilih pada Pemilihan Gubernur DKI 2017 mendatang. Pada saat itulah orang benar-benar memilih Basuki, tentu ada juga pengaruh siapa calon Wakil Gubernur yang akan digandengnya. Tapi sebelum sampai pada derajat itu, pasti akan banyak ujian yang harus dihadapi Basuki.
Pada saat saya menulis kolom ini, ada tiga ujian–yang menonjol—yang tengah dihadapi Basuki. Pertama, kasus pembangunan Rumah Sakit Sumber Waras yang proses pembelian lahannya diduga merugikan keuangan daerah hingga 191 miliar rupiah. Dugaan kerugian yang bermula dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI Jakarta ini sudah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kedua, kasus pengelolaan sampah di Bantar Gebang. Komisi A DPRD Kota Bekasi menganggap Pemerintah Provinsi DKI melanggar sejumlah kesepakatan dalam mengelola Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang. Bahkan dua operator TPST, PT Godang Tua Jaya dan PT Navigat Organic Energy Indonesia, telah menyewa pengacara Yusril Ihza Mahendra untuk menggugat Pemprov DKI.
Ketiga, soal kontroversi Peraturan Gubernur Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka atau yang lebih populer dengan Pergub Demonstrasi. Dengan mengeluarkan Pergub ini Basuki dikecam banyak kalangan, dianggap melanggar konstitusi yang memberikan kebebasan pada setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat.
Akankah Basuki lulus melewati ujian-ujian ini? Akan tergantung pada tiga hal. Pertama, apakah dia mampu menghadapinya dengan elegan, tidak sekadar menantang balik pihak-pihak yang melontarkan tuduhan padanya. Melawan tuduhan dengan kata-kata keras tidak ada gunanya. Hanya memperpanjang perkara dan berujung pada debat kusir yang tak ada manfaatnya.
Cara yang paling elegan adalah dengan membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang dituduhkan. Cara pembuktian itu, misalnya untuk kasus Sumber Waras, Basuki harus terus mendorong KPK untuk menanganinya secara transparan, tanpa ada yang ditutup-tutupi sampai tuntas.
Masyarakat sekarang sangat kritis. Jika ada masalah yang ditutup-tutupi, pasti akan menimbulkan kecurigaan, menjadi polemik berkepanjangan, yang kemudian berujung pada kesimpulan yang didasarkan pada asumsi-asumsi negatif sebagaimana tuduhan awalnya. Jika tuduhannya korupsi, jika ditutup-tutupi, kesimpulannya sudah pasti korup. Padahal tuduhan itu belum tentu benar. Tapi karena kasusnya ditutup-tutupi, berkelindan dengan isu politik, asumsi-asumsi negatif sudah cukup untuk menjatuhkan seseorang.
Kedua, konsistensi dalam menjawab pertanyan-pertanyaan serupa. Penyakit umumnya para politisi adalah esuk dele, sore tempe, pagi kedelai sorenya sudah menjadi tempe. Inkonsisten dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya membutuhkan jawaban yang sama bisa dianggap modus untuk menutup-nutupi kesalahan.
Ketiga, yang paling penting adalah bagaimana membangun opini positif yang rasional dan objektif. Hasil survei yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pertengahan Oktober lalu menunjukkan bahwa Basuki dianggap sukses memimpin DKI Jakarta, mayoritas publik merasa puas dengan kinerjanya. Ini merupakan modal yang bagus untuk membangun opini positif. Akan tetapi, hasil survei saja belum cukup untuk meyakinkan publik, masih dibutuhkan fakta-fakta objektif untuk mendukung hasil survei itu. Jika tidak ada fakta-fakta, survei akan dituduh sekadar alat untuk menaikkan citra.
Ini merupakan ujian awal. Jika Basuki gagal menjawab ujian ini dengan baik, semua upaya untuk menggalang dukungan pada dirinya akan sia-sia, karena di depan pasti akan muncul ujian-ujian lain yang mungkin jauh lebih berat. Semakin mendaki akan semakin terjal jalan yang harus ditempuh Basuki.