Sabtu, Desember 21, 2024

Koboi Ahok dan Pembangunan Jakarta Khas Kolonial*

JJ Rizal
JJ Rizal
Sejarawan yang menaruh perhatian besar pada berbagai tema sejarah, dari sejarah kuliner, sejarah perempuan, sejarah sastera, sejarah tokoh, pergerakan kebangsaan, dan sejarah kontemporer Indonesia hingga sejarah lokal Betawi-Jakarta.
- Advertisement -
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. ANTARA FOTO/Reno Esnir.

Dalam karyanya, Jakarta Sejarah 400 Tahun, Susan Blackburn telah menelusuri dan mengkaji pembangunan Ibu Kota Indonesia selama berabad-abad (1619-1949).  Sejak awal berdirinya, kata penulis Australia itu, Jakarta atau bandar kompeni bernama Batavia itu hanya untuk memenuhi mimpi-mimpi para kaum aristokrasi kapitalis dan aristokrasi politik.

Jakarta tidak pernah dibangun dengan orientasi untuk tumbuh menjadi kota kita bersama. Tapi, kota ini hanya memanjakan dan memberi ruang nyaman bagi mereka yang memiliki uang, modal, dan kekuatan ekonomi besar.

Jadi, peruntukan Jakarta tidak pernah dibangun dan diorientasikan bagi wong cilik melainkan hanya untuk orang-orang kelas atas. Apa yang ditulis Susan sejak 1987 itu masih berlanjut sampai hari ini.

Cara yang paling mudah untuk membuktikan itu bisa dilihat dari catatan enam bulan terakhir oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta terkait penggusuran. Barangkali tak ada dalam sejarah Indonesia terjadi penggusuran secara masif dan mengabaikan aspek kemanusiaan. Alasan penggusuran itu macam-macam, misalnya karena banjir atau menambah ruang hijau Jakarta.

Perlu kita telaah bahwa lokasi-lokasi penggusuran itu terjadi di kawasan orang-orang kecil. Sebut saja Kampung Pulo, Bidara Cina, Jalan Kunir, dan Kalijodo. Semua tempat itu identik dengan kelas bawah. Jika alasannya banjir, ini problematis karena mereka yang berdiam di lokasi tersebut bukan penyebab banjir, tapi korban banjir.

Penyebab banjir Jakarta ada dua: eksternal dan internal. Pertama, untuk yang eksternal, di wilayah hulu Ciliwung seperti Puncak, Bogor, dan Depok terjadi perubahan ekologis luar biasa. Wilayah hulu yang seharusnya menjadi daerah hijau dan biru belakangan berkembang menjadi abu-abu, tepatnya penuh aspal dan beton. Otomatis daerah resapan dan tampungan itu berkurang. Akibatnya, aliran air menuju Jakarta menjadi lebih cepat.

Celakanya di Depok. Dari 31 setu yang ada, hanya 21 setu yang selamat. Bahkan 80% setu tersebut mengalami penyusutan dan pencemaran yang parah. Jadi, ide untuk menampung dan menahan kecepatan air dari atas dengan mengalirkan arus air Ciliwung ke seluruh setu tersebut tidak bisa dilakukan. Ini yang kita kenal dengan istilah banjir kiriman. Hujan di Depok, Bogor, dan Puncak, banjirnya di Jakarta.

Kalau setu di wilayah-wilayah resapan seperti di Depok, Bogor, dan Puncak dikelola dengan baik, salah satu unsur dari penyebab banjir bisa dikurangi. Bahkan dapat mengurangi kerugian Jakarta yang mencapai Rp 20 triliun akibat banjir.

Kedua, masalah internal. Penyebab banjir Jakarta karena penurunan permukaan tanah yang disebabkan penyedotan air berlebihan dan pembangunan konstruksi rakasasa. Jadi, dua hal ini menjadi penyebab banjir.

Pertanyaannya adalah, siapa yang memiliki kekuatan ekonomi untuk menyedot air secara berlebihan? Siapa yang mampu membangun konstruksi raksasa yang mengakibatkan penurunan permukaan tanah di Jakarta antara 3 hingga 29 sentimeter?

- Advertisement -

Jika dicermati seksama, penurunan permukaan tanah itu bukan karena masyarakat yang tinggal di Kampung Pulo, Bidara Cina, Jalan Kunir atau di Kalijodo. Justru mereka yang menjadi sasaran. Sebab, orientasi pembangunan kota Jakarta dibuat sedemikian rupa untuk menjaga kepentingan kaum aristokrasi kapitalis dan kaum aristokrasi politiknya supaya hidup mereka lebih nyaman.

Jadi, ini salah satu aspek yang memperlihatkan politik pemerintah kota Jakarta secara kultural historis mewarisi penyakit lama Kota Batavia seperti yang ditulis Susan Blackburn: melanjutkan tradisi buruk Kota Batavia.

Pendeknya, Indonesia memang bisa merdeka dan punya kota baru bernama Jakarta, tapi mentalitas tetap kolonial. Orang kecil dianggap tidak ada tempat. Pada zaman kolonial, memang ada ide untuk menanggulangi banjir dan itu suatu proses pertempuran yang hebat dengan Muhammad Husni Thamrin. Tapi, Thamrin tidak akan berhasil jika tidak ada banjir besar di Batavia.

Dalam sejarahnya, Kota Batavia dilanda banjir besar secara beruntun; dari abad ke-18 hingga abad ke-20. Belajar dari tragedi itu pemerintah terpaksa mencari penyelesaian banjir. Mereka mendatangkan seorang ahli bernama Hendrik van Breen untuk mengatasi masalah ini. Setelah meneliti sungai-sungai di Jakarta, insinyur Belanda itu mengemukakan sejumlah rencana pembangunan kanal banjir: Kanal Banjir Barat dan Kanal Banjir Timur.

Di Jakarta, ketika itu nama van Breen cukup terkenal karena mampu mengurangi banjir yang saat itu menjadi masalah akut di Batavia. Namun, karena Kanal Banjir Barat dibangun dan hanya mengakomodasi wilayah kecil, penyelesaian banjir hanya untuk perumahan elite di Menteng dan sekitarnya. Setelah itu, tak ada lagi pembangunan kanal banjir di Batavia.

Kini, kanal tersebut sudah sangat terlambat diselesaikan karena tidak mengantisipasi perkembangan jumlah penduduk dan ruang kota akibat urbanisasi. Belakangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bahkan melakukan pendekatan yang sama dalam mengatasi banjir.

Menurut saya, penyelesaian banjir di Jakarta tidak selalu harus memprioritaskan infrastruktur. Pendekatan noninfrastruktur justru lebih tepat. Artinya, bagaimana caranya agar air dari atas tidak cepat dibuang ke laut, tapi ditampung dan digunakan pada saat musim panas. Mengapa? Karena cuaca di Jakarta pada musim panas sangat kering dan ketika musim hujan banjir.

Pemerintah DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat ini juga mewarisi persis pemikiran pemerintahan kolonial. Pembangunan kanal di masa Fauzi Bowo (Foke) dinilai tak cukup. Kini, Ahok punya obsesi mengatasi banjir Ibu Kota dengan pemikiran kolonial baru, yakni Giant Sea Wall (Tanggul Laut Raksasa) dan 17 pulau reklamasi.

Ahok mengira dengan membangun konsep pulau-pulau reklamsi berbentuk Garuda, Kota Jakarta akan terselamatkan. Tapi, menurut saya, ini seperti orang terkena penyakit kanker tapi diberi obat panu. Tidak ada kaitan sama sekali antara reklamasi dengan persoalan banjir. Kebijakan ini justru akan memperparah banjir di Jakarta.

Persoalan Jakarta hanya bisa diselesaikan dengan pemimpin yang memberikan medium partisipasi publik seluas mungkin, bukan gaya koboi yang masuk satu daerah dan menyelesaikan masalah secara single fighter. Kita tentu masih teringat janji-janji Joko Widodo-Ahok pada saat kampanye pemilu Jakarta. Mereka menjanjikan Jakarta Baru yang mengoreksi penyakit lama. Tapi, kenyataannya, selepas masa pemilu, janji tinggal janji. Yang muncul adalah bukan mencerminkan kepemimpinan baru tapi Jakarta Orde Baru.

Jadi, Jakarta saat ini identik dengan kompeni, Hindia Timur, Hindia Belanda. Yakni, Jakarta yang orientasinya hanya untuk memenuhi ruang akumulasi modal. Ihwal ruangnya rusak, hancur, dan kacau, itu bukan persoalan. Karena mereka (pemodal) datang hanya mencari uang, bukan kampung gua yang kudu dibelain, dijagain, dan diperhatiin.

  • Disarikan dari materi lisan JJ Rizal dalam diskusi “Mengkritisi Pembangunan Jakarta”, Rabu, 24 Februari 2016.

 

JJ Rizal
JJ Rizal
Sejarawan yang menaruh perhatian besar pada berbagai tema sejarah, dari sejarah kuliner, sejarah perempuan, sejarah sastera, sejarah tokoh, pergerakan kebangsaan, dan sejarah kontemporer Indonesia hingga sejarah lokal Betawi-Jakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.