Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 168 Tahun 2015 tentang Pengendalian, Penampungan, dan Pemotongan Hewan. Dengan instruksi ini, Basuki melarang penjualan dan penyembelihan hewan kecuali di tempat yang telah ditentukan, termasuk hewan kurban.
Akibatnya apa? Kebiasaan umat muslim menyembelih hewan kurban di tempat-tempat ibadah (masjid, mushola), dan di sekolah-sekolah, tidak diperbolehkan. Kebiasaan menjajakan hewan-hewan kurban di tepi jalan dan trotoar juga dilarang. Inilah yang membuat banyak tokoh muslim memprotes kebijakan Basuki. Mantan Bupati Belitung Timur ini dituduh anti-Islam.
Basuki bergeming. Dia berdalih justru dengan instruksi itu ia berupaya mengamalkan ajaran Islam yang menjunjung tinggi kebersihan dan kesehatan. Basuki yang melewati masa kanak-kanak dengan belajar di sekolah Islam melihat apa yang dilakukan umat muslim dalam melaksanakan perintah berkurban tidak sejalan dengan ajaran Islam tentang kebersihan yang menjadi syarat hidup sehat.
Melihat kebijakan Basuki, saya teringat cerita salah satu tokoh pembaruan Islam, Muhammad Abduh, yang sekembali dari pengembaraan di Eropa mengatakan, “Aku pergi ke Barat dan melihat Islam, aku kembali ke Timur dan melihat muslim.”
Di mata murid Jamaluddin al-Afghani ini, cara hidup orang Eropa menggambarkan cara hidup yang diajarkan Islam, meski mereka bukan muslim. Sebaliknya, cara hidup di negara-negara muslim tidak mencerminkan ajaran Islam.
Para cendekiawan muslim Indonesia seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Syafii Maarif–untuk sekadar menyebut beberapa nama–adalah penganjur Islam substantif, yakni Islam yang mengacu pada nilai-nilai, perilaku, dan cara hidup yang sesuai dengan ajaran Islam.
Islam substantif kerap dikontraskan dengan Islam formalis, yakni cara-cara berislam dengan menonjolkan atribut-atribut formal, misalnya beribadah secara formal, namun kurang berdampak pada penegakan nilai-nilai yang diajarkan Islam. Rajin salat dan berzikir di tempat ibadah, namun dalam kehidupan sehari-harinya tidak mencerminkan cara-cara hidup Islami.
Menurut Abduh, cara-cara hidup umat muslim yang banyak bertolak belakang dengan ajaran Islam inilah yang menghalang-halangi kemajuan Islam. Al-Islamu mahjubun bi al-muslimin, (keindahan dan keagungan) Islam tertutup oleh (perilaku dan kebiasaan buruk) umat muslim. Islam mengajarkan kebersihan, namun umat muslim banyak mengabaikannya. Islam mengajarkan hidup sehat, namun umat muslim banyak melanggarnya.
Basuki secara formal bukan muslim. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan yang diambilnya dalam memimpin DKI Jakarta mencerminkan tata hidup yang Islami. Mungkin tidak semuanya, karena sebagai manusia biasa ia juga memiliki banyak kekurangan.
Bersih dalam pandangan Basuki tak sekadar dalam pengertian fisik, tapi juga bersih hati, pikiran, dan tindakan. Bersih fisik terkait dengan lingkungan teritorial atau lokasi. Penertiban bantaran Kali Ciliwung, misalnya, yang banyak dijadikan hunian liar dan pembuangan sampah menjadi salah satu prioritas kerja pemerintahan Basuki. Ini merupakan kelanjutan program bersama pendahulunya, Gubernur Joko Widodo, yang telah menyulap lingkungan waduk Pluit yang kumuh dan kotor menjadi taman yang bersih dan indah.
Bersih hati dan pikiran erat kaitannya dengan apa yang disebut Sigmund Freud sebagai “asosiasi bebas”. Kebebasan manusia bisa membersihkan hati dan pikirannya karena dengan kebebasan, apa yang terdetak dalam hati dan terlintas dalam pikiran, akan langsung diekspresikan. Berbeda misalnya pada saat manusia dalam tekanan, yang ada dalam hati dan pikiran tak bisa diekspresikan dengan bebas sehingga menggumpal, berakumulasi, dan lama kelamaan menjadi penyakit yang sulit disembuhkan.
Sedangkan bersih dalam tindakan merupakan ekspresi yang mencerminkan penolakan terhadap semua hal yang merugikan orang banyak. Antikorupsi, misalnya, adalah contoh dalam bentuknya yang optimal dari bersih dalam tindakan.
Banyak orang yang mengaku hidup bersih hanya dalam kata-kata yang terucap, ini merupakan manipulasi awal. Apabila sudah sampai pada tahap lahirnya tindakan-tindakan yang bertentangan dengan apa yang diucapkan, maka pada saat itulah manipulasi telah memasuki stadium lanjut yang sangat sulit disembuhkan.
Banyak kalangan menuduh Basuki bermulut kotor hanya karena dia sering memaki dengan kata-kata kasar. Jika dilihat dalam perspektif budaya yang normal, tuduhan itu benar adanya. Tapi jika dilihat dalam konteks apa yang dia bicarakan, sejatinya ia melakukan tindakan yang proporsional. Pada kejahatan kita tak perlu bermanis muka dan kata-kata karena hal itu tidak akan menyembuhkannya. Ada substansi makna di luar fakta.
Dalam sistem budaya yang normal, ada kesesuaian antara substansi makna dan fakta. Tapi dalam sistem budaya abnormal, kerap terlihat ada kesenjangan antara keduanya. Pada saat terjadi kesenjangan seyogianya kita lebih melihat substansi ketimbang faktanya.