Rabu, November 20, 2024

Cara Lain Tingkatkan Penerimaan Pajak DKI Jakarta

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
- Advertisement -
5/8). Pemprov DKI terus berupaya meningkatkan penerimaan 13 jenis pajak daerah yang telah ditetapkan sebesar Rp36,06 triliun atau sekitar 52 persen dari total APBD DKI Jakarta 2015. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Tiga petugas Satpol PP mencopot reklame salahsatu waralaba di Pasar Baru, Jakarta, Selasa (25/8). Pemprov DKI terus berupaya meningkatkan penerimaan 13 jenis pajak daerah yang telah ditetapkan sebesar Rp36,06 triliun atau sekitar 52 persen dari total APBD DKI Jakarta 2015. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/

 

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini terus berupaya meningkatkan penerimaan daerah dari pajak. Untuk tahun ini, Pemprov DKI Jakarta menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 36 triliun. Artinya ada kenaikan sebesar Rp 4 triliun dari sebelumnya yakni Rp 32 triliun. Karena itu, banyak cara bakal ditempuh oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok.

Di antaranya yaitu, Ahok secara tegas mengancam akan menutup tempat-tempat usaha yang melakukan pengemplangan pajak. Itu seperti hotel, restoran, dan tempat-tempat hiburan. Jika para pengusaha itu terbukti melakukannya, maka akan ditindaklanjuti dengan melaporkan pemiliknya kepada pihak kepolisian agar dipidanakan. Melalui upaya demikian diharap ada efek jera. Upaya lain, Pemprov DKI Jakarta juga akan menaikkan tarif pajak yang bervariasi untuk tempat-tempat tersebut. Misalnya, pajak kategori panti pijat akan dinaikkan sebesar 35%, sementara tempat hiburan naik 25%.

Tujuan Ahok meningkatkan penerimaan pajak DKI Jakarta merupakan langkah yang patut didukung. Terlebih potensi pajak yang dimiliki kota dengan luas melebihi Singapura itu juga memiliki tingkat ekonomi tinggi. Menurut catatan Asian Development Bank, potensi pendapatan Pemprov DKI Jakarta dari pajak sebenarnya bisa mencapai Rp 160 triliun.

Namun, untuk mencapai target penerimaan pajak yang sudah ditetapkannya itu perlu mekanisme yang relevan, sehingga target benar-benar bisa terealisasi. Adapun cara Ahok yang akan menutup tempat usaha bagi mereka yang mengemplang pajak, serta menaikkan tarif pajak untuk tempat-tempat hiburan disebut bakal tidak efektif dalam mengejar target pajak. Memang perlu ketegasan menghadapi persoalan perpajakan. Namun, ada cara lain yang sebenarnya bisa ditempuh.

Pertama, bagi pelaku usaha yang memang betul dinyatakan telah mengemplang pajak, perlu dihitung terlebih dahulu secara terperinci seberapa besar pajak yang tidak dibayarkan. Kemudian jumlah itu dibayarkan oleh pelaku usaha caranya bisa dengan mencicil. Ini dimaksudkan jika pelaku usaha merasa keberatan membayar langsung secara keseluruhan. Langkah ini lebih manusiawi. Selain itu, potensi bertambahnya jumlah pengangguran bisa diminimalisir.

“Namun begitu, upaya ini harus ada ketegasan dari pihak otoritas setempat. Lingkup internal Pemprov DKI Jakarta juga harus dibenahi agar tidak ada permainan antara petugas pajak dengan wajib pajak. Seringkali masih banyak ditemukan permainan di internal Pemprov DKI,” kata Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo.

Selain pembenahan di lingkup internal, Pemprov DKI juga perlu melakukan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak dan Kementerian terkait. Ini sebagai upaya transparansi dan memaksimalkan peran petugas dalam rangka pemungutan pajak dari para wajib pajak. Dengan begitu, jumlah target pajak yang telah ditetapkan bisa benar-benar tercapai.

Kedua, menaikkan tarif pajak dalam kondisi saat ini merupakan langkah yang tidak tepat. Perekonomian nasional saat ini sedang anjlok. Badan Pusat Statistik mengumumkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2015 hanya mencapai 4,71%. Artinya, kenaikan tarif pajak itu selain sudah pasti akan memberatkan para pelaku usaha, kenaikan ini akan memperlambat kinerja perekonomian. Tentu juga akan menjadi kendala bagi pemerintah pusat untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% untuk tahun ini.

Selain itu, kenaikan tarif pajak baru bakal menimbulkan ketidakadilan. Ketidakdilan itu muncul lantaran wajib pajak yang selama ini patuh membayar kewajibannya dikenai tarif baru yang sama dengan wajib pajak yang tidak patuh. Sementara wajib pajak yang sudah lama tidak patuh melaksanakan kewajibannya itu tidak dikenai sanksi atau proses hukum lebih lanjut.

- Advertisement -

“Seharusnya, Pemprov DKI Jakarta bisa lebih agresif untuk menyaring wajib pajak yang selama ini tidak patuh. Potensi dari wajib pajak itu tergolong besar. Ini yang seharusnya dimaksimalkan peranannya untuk meningkatkan penerimaan pajak. Bukan justru malah menaikkan tarif pajak,” tutur Yustinus.

Untuk menjaring wajib pajak tidak patuh itu, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro, Pemerintah perlu membentuk intelijen pajak. Tugasnya menghimpun para pelaku usaha yang selama ini melakukan pengemplangan pajak. Untuk kemudian dilakukan upaya tindakan tegas dengan menagih pajak-pajak yang masih menunggak. Intelijen pajak tersebut juga perlu mempelajari mekanisme pengemplangan pajak yang dilakukan, sehingga ke depan tidak terulang lagi kejadian dengan mekanisme serupa.

“Sudah banyak terjadi kasus pengemplangan pajak yang dilakuakan pengusaha. Ini harus dipelajari kasus per kasus, sehingga di kemudian hari dapat diantisipasi. Untuk masalah ini memang perlu langkah yang maksimal,” kata Setyo. [*]

Tito Dirhantoro
Tito Dirhantoro
Reporter GeoTIMES.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.