Ada anak muda bernama Singgih Widiyastono. Dalam dialog yang ditayangkan salah satu TV, dia begitu yakin Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang populer disapa Ahok, akan terpilih kembali dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) yang digelar Februari tahun depan. Keyakinan Singgih didukung sejumlah survei yang menempatkan Ahok pada tingkat popularitas dan elektabilitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan tokoh-tokoh lain yang diperkirakan akan maju dalam Pilkada DKI.
Sebagai relawan “Teman Ahok”, Singgih bersama sekitar 300 relawan lainnya sudah berhasil mengumpulkan 650 ribu fotokopi KTP warga DKI Jakarta, lebih dari cukup untuk mencalonkan Ahok dari jalur independen (perseorangan).
Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota, yang direvisi Mahkamah Konstitusi pada 29 September 2015, syarat minimal yang dibutuhkan Ahok “hanya” sekitar 525 ribu KTP. Meskipun begitu, sesuai yang dicanangkan dari awal, “Teman Ahok” tetap bertekad akan mengumpulkan satu juta KTP paling lambat hingga Mei 2016.
Pertanyaannya kemudian, haruskah Ahok maju dari jalur independen? Mengingat popularitas dan elektabilitasnya saat ini, bisa dipastikan akan ada partai politik yang melamarnya. Tentu Ahok punya hak untuk menimbang-nimbang jalur mana yang akan dipilih.
Jalur partai politik mungkin menjadi pilihan paling “mudah” dan “aman” bagi Ahok. Dukungan partai akan mempermudah baginya untuk berkampanye. Seluruh kader partai akan ikut berusaha memenangkannya. Verifikasi keabsahan dukungan ratusan ribu, atau bahkan sejuta fotokopi KTP yang rumit pun dengan sendirinya bisa diabaikan.
Cukup hanya melalui satu partai politik, PDI Perjuangan yang memiliki 28 kursi DPRD misalnya, Ahok sudah bisa melenggang sebagai calon yang sah. Apalagi jika ditambah partai-partai yang lain. Semakin banyak partai yang mendukung, akan semakin mudah bagi Ahok untuk memenangkan pemilihan.
Tapi, pilihan paling “mudah” dan “aman” itu sudah pasti akan dibayar dengan harga yang sangat mahal. Saat terpilih, Ahok tidak bisa terbebas dari pengaruh partai politik. Kalau sekadar pengaruh mungkin tidak begitu bermasalah, tapi kalau sudah diatur dan dianggap sebagai “petugas partai”, pasti akan menjadi masalah besar. Kesulitan Joko Widodo sebagai presiden dalam menjalankan hak prerogatifnya, misalnya untuk menentukan anggota kabinet, bisa menjadi pelajaran yang amat berharga bagi Ahok.
Untuk itulah, jalur perseorangan/independen merupakan pilihan yang paling rasional bagi Ahok. Selain menghargai jerih payah para relawan “Teman Ahok”, melalui jalur ini (jika berhasil menang) akan menjadi pelajaran yang sangat penting. Pertama, bagi partai politik. Kedua, bagi perjalanan demokratisasi di negeri ini.
Bagi partai politik, keberhasilan calon independen akan menjadi “cambuk” untuk memperbaiki diri, terutama dalam melakukan rekrutmen dan proses kaderisasi politik. Keberadaan kader-kader yang mumpuni, berintegritas, dan berprestasi merupakan keniscayaan bagi partai politik. Jika tidak, pilar demokrasi yang amat penting ini akan ditinggalkan para pemilihnya.
Bagi perjalanan demokratisasi, keberhasilan calon independen akan menjadi preseden yang baik bagi ketepatan pilihan rakyat. Banyak kalangan menilai, pilihan rakyat tidak identik dengan demokrasi, malah dianggap bertentangan dengan demokrasi Pancasila yang lebih mengutamakan musyawarah mufakat ketimbang pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Berdasarkan asas manfaat, tidak ada bedanya antara pilihan rakyat dan musyawarah mufakat. Dari sisi kepraktisan, musyawarah mufakat jauh lebih efisien.
Dalam praktik, musyawarah mufakat diimplementasikan dalam bentuk oligarki partai politik. Peran serta rakyat dalam proses pemilihan dan pengambilan keputusan diabaikan. Makna demokrasi sebagai kekuasaan di tangan rakyat dimanipulasi dengan kekuasaan partai politik yang mengatasnamakan kepentingan rakyat. Dan, untuk melanggengkan praktik politik semacam ini, mengembalikan Undang-Undang Dasar 1945 yang asli pun sudah diupayakan oleh sejumlah partai politik.
Maka, keberhasilan calon independen sebagai manifestasi dari pilihan rakyat secara langsung sangat penting artinya untuk membuktikan bahwa hasil dari pilihan rakyat tidak lebih buruk dari pilihan (para pemegang kekuasaan) partai politik. Ini dari proses pemilihan.
Dari sisi jalannya pemerintahan, kepala daerah yang berasal dari jalur independen lebih menjamin jalannya proses demokratisasi. Antara eksekutif dan legislatif terjadi proses checks and balances, tidak saling mengkooptasi, dan menutup kemungkinan terjadinya kongkalikong (permufakatan jahat) dalam korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Setelah menggantikan posisi Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok sudah membuktikan keberhasilannya menjalankan proses checks and balances secara baik. Keberhasilan ini tidak lepas dari posisinya yang terbebas dari kooptasi partai politik, terutama setelah dirinya menyatakan keluar dari Partai Gerindra. Ini bukti bahwa menjaga independensi merupakan pilihan yang tepat bagi Ahok. Pilihan yang perlu dipertahankan untuk periode berikutnya.