Kamis, April 25, 2024

Ahok, Kalijodo, dan Resep Risma Menutup Dolly

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.

 

Foto udara hasil 'screenshot' kawasan Kalijodo di Jakarta, Jumat (12/2). Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana menata kawasan Kalijodo untuk di bangun taman kota atau Ruang Terbuka Hijau serta Stasiun Pengisian Bahan Gas (SPBG). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/pd/16
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berencana menata kawasan Kalijodo untuk di bangun taman kota atau Ruang Terbuka Hijau serta Stasiun Pengisian Bahan Gas (SPBG). ANTARA FOTO/ Muhammad Adimaja

Di setiap kota yang tumbuh gigantik, kehadiran kawasan prostitusi, perjudian, preman, dan berbagai masalah sosial lain sesungguhnya adalah keniscayaan. Kehadiran lokalisasi seperti Dolly di Surabaya atau kawasan remang-remang Kalijodo di Jakarta adalah efek samping yang selalu timbul ketika sebuah kota berkembang menjadi mega-urban yang makin tak terkontrol.

Sebagaimana dikatakan Hans Dieter-Evers (2000), sebagai bagian dari shadow economy (ekonomi bayangan), prostitusi, perjudian, dan lain sebagainya adalah sektor perekonomian ilegal yang tumbuh bersamaan dengan membesarnya sebuah kota. Tidak berbeda dengan peredaran narkotika dan perjudian, peredaran uang yang besar dan keuntungan yang tidak dibebani dengan pajak resmi adalah salah satu faktor kenapa bisnis haram seperti prostutisi bukannya surut, tetapi justru berkembang dalam berbagai bentuk.

Di Jakarta, setelah lokalisasi Kramat Tunggak berhasil ditutup, kini salah satu lokalisasi yang tersisa adalah kawasan Kalijodo. Lokalisasi yang sudah puluhan tahun beroperasi ini sebetulnya sudah sejak lama diwacanakan akan ditutup. Tetapi, ancaman penutupan lokalisasi Kalijodo ini baru menguat kembali ketika media massa ramai memberitakan kasus Fortuner maut yang menewaskan empat orang.

Seperti diberitakan, para penumpang dan pengemudi Fortuner maut itu ternyata baru saja pulang dari pesta miras di Kalijodo. Akibatnya, dalam perjalanan pulang, pengemudi tak bisa menguasai dirinya hingga tabrakan pun terjadi.

Entah karena dipicu kasus Fortuner maut itu, atau karena sejak lama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memang sudah berencana, akhirnya niat untuk segera menutup kawasan Kalijodo menguat. Dalam berbagai kesempatan Ahok telah menegaskan akan segera membongkar kawasan Kalijodo, dan berencana menyulapnya menjadi ruang terbuka hijau. Akankah Ahok berhasil menutup Kalijodo atau sekadar berwacana seperti para pendahulunya?

Di balik mengalirnya dukungan dari berbagai pihak agar Ahok segera menutup Kalijodo, di saat yang sama tak sedikit pula pihak yang pesimistis, karena tidak akan mudah bagi Ahok untuk merelokasi Kalijodo dengan cepat. Ada begitu banyak kepentingan di sana.

Tantangan yang bakal dihadapi DKI Jakarta tentu bukan hanya sikap resistensi dari sejumlah preman dan mafia yang menguasai kawasan Kalijodo sebagai lahan bisnis mereka. Tetapi, yang terpenting adalah apakah Ahok dan aparat jajarannya benar-benar sudah mempersiapkan exit strategy yang matang dan komprehensif untuk memastikan agar pasca penutupan Kalijodo nanti eksesnya justru tidak makin kontraproduktif bagi masyarakat DKI Jakarta.

Belajar dari kasus penutupan Dolly di Surabaya, Ahok tentu perlu ekstra hati-hati sebelum memutuskan menutup paksa kawasan Kalijodo. Di Surabaya, keberhasilan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini atau Risma dan Pemerintah Kota Surabaya menutup lokalisasi Dolly diakui atau tidak baru sebatas keberhasilan menutup simbol prostitusi. Tetapi, untuk diklaim sebagai keberhasilan memberantas prostitusi sebetulnya masih jauh panggang dari api.

Fakta di lapangan, alih-alih praktik prostitusi habis di Kota Surabaya pasca penutupan Dolly, justru yang terjadi adalah praktik prostitusi itu terpecah-pecah dalam kantong-kantong kecil yang makin tidak bisa terawasi. Maka, jangan heran jika masyarakat Surabaya saat ini dibayang-bayangi bom waktu penularan penyakit menualr seksual dan HIV/AIDs.

Karena itu, agar tidak mengulang kekeliruan yang sama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seyogaianya tidak hanya berpikir bagaimana menutup secepatnya aktivitas remang-remang di kawasan Kalijodo dan kemudian menggantinya dengan jalur hijau atau aktivitas lainnya. Justru saat ini yang lebih penting bagi Pemprov DKI Jakarta adalah bagaimana menata kawasan Kalijodo sekaligus menangani nasib orang-orang yang bakal kehilangan sumber penghasilan di sana, terutama para pelacur dan pekerja kecil lainnya. Agar tidak menimbulkan masalah sosial baru setelah Kalijodo ditutup nanti.

Di Surabaya, bagi para pelacur yang kehilangan mata pencahariannya, Pemerintah Kota Surabaya memang menyediakan bantuan dana untuk transportasi pulang kampung dan juga bantuan modal usaha sebesar Rp 5 juta, agar mereka bisa segera alih profesi.

Melihat sepintas, upaya Pemerintah Kota Surabaya menutup Dolly memang membuahkan hasil yang kasat mata. Di kawasan itu, kini prostitusi sudah bisa dikatakan habis, dan suasana kawasan itu juga mulai berubah ketika sejumlah bangunan bekas wisma berganti manfaat menjadi kantor layanan pemerintah kota, balai pelatihan atau untuk kepentingan lain.

Tetapi, yang mungkin tidak dipikirkan adalah, di balik keberhasilan menutup lokalisasi Dolly, ternyata yang namanya prostitusi tetap berjalan. Hanya saja modusnya berbeda. Di Surabaya, prostitusi online, pelacuran terselubung di apartemen, dan lain-lain, diakui atau tidak tetap marak di berbagai tempat. Para pelacur eks Dolly pun ternyata dilaporkan bukan pulang kampung seperti diharapkan, tetapi pindah lokasi praktik usahanya–entah di Pulau Jawa atau di luar Pulau Jawa.

Dengan dukungan aparat keamanan dan kepolisian, juga sikap represif, berapa pun banyaknya backing yang ada di balik bisnis di Kalijodo niscaya akan dapat ditundukkan. Namun, tanpa didukung perencanaan yang matang dan program yang teruji, keputusan Pemprov DKI Jakarta menutup kawasan Kalijodo kemungkinan besar hanya akan menuai masalah sosial baru yang tak kalah rumit.

Sebagai pimpinan wilayah, Ahok bagaimanapun tentu tak bisa abai bahwa di kawasan Kalijodo ada ratusan orang yang hidup dan mencari makan di sana. Hanya dengan menutup Kalijodo dan merelokasi, kemungkinan besar tidak akan menghentikan prostitusi, bahkan para mucikari dan pelacur mungkin hanya akan berpindah tempat saja.

Saat ini, sebelum Gubernur DKI Jakarta benar-benar melaksanakan operasi penggusuran dan menutup kawasan remang-remang Kalijodo, alangkah bijak jika didahului dengan langkah-langkah yang strategik. Selain meminta bantuan ulama setempat dan berbagai pihak untuk melakukan pendekatan yang sifatnya persuasif, yang tak kalah penting adalah mengajak para peneliti, akademisi, dan aktivis yang berintegritas dan kredibel untuk merumuskan program dan jalan keluar yang terbaik bagi orang-orang kecil yang menggantungkan hidup dari aktivitas bisnis di Kalijodo.

Dengan belajar dari pengalaman Pemerintah Kota Surabaya, Ahok dan jajarannya bisa bersikap lebih arif dan bijak dalam menangani problem sosial di kawasan Kalijodo dan Jakarta pada umumnya.

Bagong Suyanto
Bagong Suyanto
Guru Besar di Departmen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Surabaya.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.