Rabu, April 24, 2024

Menempatkan Basuki pada Tempatnya

ANTARA FOTO/ Reno Esnir
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. ANTARA FOTO/ Reno Esnir

Mengapa banyak kalangan berusaha mendorong Wali Kota Bandung Ridwan Kamil untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta? Mengapa tidak ada satu pun orang berpikir untuk mendorong Basuki Tjahaja Purnama, misalnya, maju dalam Pilkada Banten yang tahapannya akan mulai Juli 2016?

Jawaban atas dua pertanyaan ini cukup satu, karena Basuki sudah berhasil memimpin DKI Jakarta. Keberhasilan ini bukan kata saya, tapi menurut berbagai survei yang secara khusus melakukan penilaian terhadap kinerja pemerintah DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Basuki.

Tapi rupanya banyak yang tidak rela dengan keberhasilan mantan Bupati Belitung Timur ini, dan ingin menggantinya dengan pemimpin lain yang dianggap akan mampu mengalahkannya, dan ketemulah nama Ridwan Kamil atau yang lebih populer dengan panggilan Kang Emil.

Menurut survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) baru-baru ini, Kang Emil merupakan tokoh yang berada di urutan nomor dua setelah Basuki dalam “top of mind” pilihan warga Jakarta untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Sementara Kang Emil sendiri masih belum memutuskan untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Ada dua alasan yang membuatnya ragu. Pertama, sesuai mandat para pemilihnya, ia harus memimpin Kota Bandung hingga 2018. Kedua, ia tengah mengkalkulasi—dalam bahasa dia, manfaat dan mudaratnya—yang dalam bahasa yang lugas, menang-kalahnya. Jika menang tentu saja bermanfaat, tapi jika kalah pasti mudarat karena tak bisa lagi kembali memimpin Kota Bandung.

Jika berpedoman pada tuntunan agama yang selama ini menjadi pegangan Kang Emil, meninggalkan keragu-raguan jauh lebih baik. Artinya, ia tetap konsisten memimpin Kota Bandung sesuai amanat yang diberikan kepadanya, dan setelah itu barulah ia melangkah ke jenjang kepemimpinan selanjutnya, misalnya maju dalam Pilkada Jawa Barat.

Tapi, mau konsisten atau tidak, pilihan sepenuhnya ada pada Kang Emil. Mau maju dalam Pilkada DKI Jakarta juga tidak ada salahnya, atau mungkin akan bagus karena ada penantang yang relatif sepadan—dari segi prestasi dan integritas—dengan Basuki.

Selain Kang Emil, yang kini muncul digadang-gadang untuk menantang Basuki adalah politikus senior, Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra. Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (1999-2001), Menteri Hukum dan Perundang-undangan (2001-2004), dan Menteri Sekretaris Negara (2004-2007) ini sudah menyatakan siap memimpin DKI Jakarta.

Ada yang mencoba menghubungkan kesediaan Yusril menantang Basuki dengan kemenangan kakaknya, Yuslih Ihza Mahendra, atas adik Basuki, Basuri Tjahaja Purnama, dalam Pilkada Kabupaten Belitung Timur, Desember 2015. Seperti kita tahu, Basuri adalah petahana yang dikalahkan Yuslih, dan karenanya muncul pula perkiraan, sebagai petahana, Basuki juga bisa dikalahkan oleh Yusril.

Pertanyaannya, apakah Belitung Timur bisa disamakan dengan DKI Jakarta? Di Belitung Timur, klan Ihza Mahendra sangat populer dan kuat sehingga secara sosiokultural sangat masuk akal jika mampu mengalahkan petahana. Sementara DKI Jakarta tentu sangat berbeda dengan Belitung Timur. Jakarta merupakan metropolitan yang penduduknya sangat beragam baik dari suku, ras, agama, maupun kepentingan politik.

Secara politik, Jakarta bukan saja menarik tapi juga menggiurkan. Semua partai politik punya kepentingan untuk memenangkan Pilkada DKI Jakarta yang menjadi barometer kekuatan politik di Indonesia. Dan bagi tokoh politik yang berambisi menjadi presiden seperti Yusril atau siapa pun, kursi gubernur DKI Jakarta bisa menjadi batu loncatan yang paling menarik dibandingkan jabatan-jabatan politik yang lain.

Tapi, saya kira bukan karena alasan itu (ingin menjadi presiden), jika banyak kalangan menginginkan Basuki tetap pada tempatnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ibu kota membutuhkan pemimpin yang berani dan berintegritas seperti Basuki. Karena ibu kota adalah cermin, atau bahkan etalase, dari Indonesia. Secara umum, masyarakat dunia akan melihat suasana politik Indonesia dari etalasenya.

Selain itu, ibu kota juga akan lebih baik dipimpin sosok yang bisa bersinergi dan bekerjasama dengan kepala negara karena antara pusat pemerintahan DKI Jakarta (Balaikota) dan Istana Negara berada dalam satu “blok” Medan Merdeka yang jaraknya berdekatan. Antara Balaikota dan Istana Wakil Presiden malah berimpitan. Secara psikologis mungkin akan sedikit bermasalah jika ibu kota dipimpin oleh orang yang selama ini menentang kebijakan-kebijakan politik Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Antara Basuki dan Jokowi sudah bersinergi sejak bersama-sama memimpin DKI Jakarta. Kerja sama keduanya tetap terjaga hingga saat ini. Kebijakan Jokowi selalu didukung Basuki, begitu pun sebaliknya. Mempertahankan Basuki untuk tetap memimpin Ibu Kota sama artinya dengan mempertahankan sinergisitas antara pemimpin Jakarta dan Kepala Negara. Dalam memimpin, sinergitas menjadi faktor penting untuk menunjang keberhasilan, apalagi dalam suatu negara yang secara politik belum mapan.

Meskipun begitu, kita tetap mengapresiasi siapa pun yang akan maju menjadi penantang Basuki dalam Pilkada DKI Jakarta. Dalam sistem demokrasi, sepanjang diperbolehkan undang-undang, siapa pun punya hak untuk berpartisipasi aktif dalam politik, termasuk dalam berkompetisi memperebutkan kursi Gubernur DKI Jakarta.

Siapa yang akan memimpin DKI Jakarta untuk periode 2017-2022? Apakah Basuki Tjahaja Purnama, ataukah salah satu dari penantang-penantangnya? Kita serahkan sepenuhnya pada warga Jakarta yang punya hak untuk memilih pemimpin di wilayahnya.

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.