Adik-adikku,
Namaku Aan Anshori, tinggal di Jombang dan sedang disandera tesis di program studi Hukum Islam, Universitas Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang.
Aku ingin mengapresiasi setinggi-tingginya keberanian kalian tampil di Gereje Kristen Jawa (GKJ) Sidomukti, Salatiga, saat Paskah kemarin. Tidak hanya karena pendeta gereja itu, Eben, adalah kawanku. Namun, yang lebih penting, aksi kalian kemarin menumbuhkan optimisme baru bagi kebhinnekaan di Indonesia.
Wajah keragaman bangsa ini semakin lama semakin bopeng, sebab harus kita akui, Islam di Indonesia, bisa dikatakan tercitrakan semakin kurang percaya diri saat bergaul dengan Kekristenan.
Kalian adalah heroine dan hero!
Mendatangi GKJ dalam rangka mendorong optimisme sedulur-sedulur kita di sana adalah kerja yang sangat berat. Bahkan, Milea-Dilan pun takkan kuat, aku ragu. Sangat sedikit orang yang kuat, meskipun sangat ingin.
Kehadiran kalian di sana, menurutku, telah menunjukkan betapa kualitas keislaman di atas rata-rata. Iman yang kuat tidak akan ragu, percaya diri, dan nggak cemen. Sedangkan iman yang tipis selalu diselimuti keraguan, was-was, dan pada akhirnya melukai.
Adikku-adikku,
Aku tahu banyak di antara kalian sedang dilanda kegalauan karena mendapat risakan atas penampilan kemarin. Kalian yang awalnya tegar akan mengalami ujian. Tidak hanya dari kelompok bani micin, namun cibiran juga akan menggerogoti kalian dari orang-orang terdekat.
Dosen dan elite kampus yang awalnya suportif sangat mungkin berubah jadi konservatif. Alih-alih melindungi kalian, mereka mungkin akan sibuk menunduk-nunduk minta maaf kepada bani micin atas sesuatu yang sama sekali bukan kesalahan.
Yang barangkali lebih merisaukan, tekanan juga akan datang dari orang tua kalian, sumber utama kehormatan dan juga penopang finansial studi di IAIN Salatiga. Dan bagi kalian yang tengah berelasi dengan seseorang sangat mungkin ia akan ikut ambil bagian melemahkan kalian.
Upacara penggembosan terhadap aksi kalian biasanya akan disertai berbagai sanksi; dari alienasi hingga ancaman nilai matakuliah, pemutusan beasiswa dari rumah hingga ultimatum pemutusan status sebagai pacar.
Kalian perlu tahu, dampak perisakan dan tekanan itu sungguhlah menyakitkan, bekasnya mengakibatkan korban berpikir seribu kali untuk melakukannya lagi. Adalah hal yang “normal” seandainya kalian menjadi bimbang jika diminta tampil kembali di gereja atau rumah ibadah agama lain.
Berat? Iya berat.
Aku pun pernah mengalaminya dan berusaha sekuat tenaga bangkit menghadapi ketakutan-kecemasan itu. Yang terpenting, aku masih bisa menjalankan aktivitas antariman dengan kekuatan penuh hingga sekarang. Alhamdulillah.
Namun, jika kalian akhirnya memilih mundur, menyerah, karena tekanan-tekanan tersebut, aku sangat bisa memahami. Seandainya kalian bertanya kenapa aku bisa tegar. Jawabannya: banyak faktor. Di antaranya; aku terus meyakinkan diriku; kerja-kerja mempromosikan Islam rahmatan lil ‘alamin (bukan lil muslimin, lho, ya) adalah jihad.
Aktivitas ini lebih berat ketimbang jihad di medan laga yang jelas musuhnya. Kenapa demikian? Karena ia manifestasi kemenangan seseorang menaklukkan egonya sendiri. Ego, karena merasa paling benar agamanya, merasa paling berkuasa atas minoritas, maupun ego yang menganggap mereka (non-Muslim) tak pantas menerima kunjungan kita. Egoisme-egoisme itu aku anggap sebagai penghambat kemajuan agama kita.
Entah siapa patron kalian dalam berislam. Namun, aku akan sorongkan Gus Dur sebagai contoh, karena waliyullah itu adalah imamku dalam perjuangan ini. Cucu Mbah Hasyim yang kuburannya hanya berjarak 500 meter dari kampusku ini mengalami banyak sekali tekanan selama mempertahankan Islam dan Pancasila sepanjang hidupnya. Persis seperti kalian saat ini.
Sepak terjangnya bisa kalian baca melalui biografi resminya karya Greg Barton. Aku yakin perpustakaan kampus kalian punya 1-2 buah koleksinya
Saat aku galau dan bimbang menghadapi perisakan akhir-akhir ini, volume bacaan al-Fatihah semakin aku alirkan ke Gus Dur, sembari merenungi jalan sengsaranya. Mungkin ini akan terdengar sedikit bernada klenik. Namun, jika boleh jujur, ia adalah tempatku berkeluh-kesah, distributor keberanian saat energiku merosot drastis.
Dan jika kalian percaya wirid, sebagaimana aku selama ini, pertimbangkan juga untuk membaca QS. 3:169-170 sebanyak 3 kali setelah salat fardlu. Dua ayat yang merupakan janji Allah pada pasukan yang gugur berjihad di medan Uhud (624 M) tersebut, aku percayai mampu mendongkrak semangatku kembali.
Menurutku, saat manggung di GKJ Sidomukti kemarin, kalian tengah berjihad. Oleh karena itu, jangan pernah sekalipun takut atau cemas, apalagi meragukan janji-Nya. Iman, semakin sering dirisak dan digencet saat berjihad, kalian akan semakin kuat.
Aku menyebut dua ayat tadi sebagai wirid keberanian Gus Dur.
Kolom terkait:
Umat Kristiani Itu Kaum Beriman, Bukan Kafir
Yesus, Tuhan Kaum Muslim Juga? [Tanggapan untuk Mun’im Sirry]
Siapakah Orang Kafir Itu? Telaah Kronologi dan Semantik Al-Qur’an