Oleh Donny Anggoro
72 Tahun Indonesia merdeka, pertanyaan yang kerap muncul benarkah Indonesia sungguh-sungguh merdeka? Memang ini retorika, namun ini tetap saja kian mengusik lantaran sesudah reformasi hingga kini sulit dipungkiri masih saja ada yang tidak “merdeka”. Kendati masih dirayakan setiap 17 Agustus sebagai ritual bebasnya Indonesia dari penjajahan, namun yang benar-benar dirasakan sebagai “merdeka” nyaris semu. Malah makin nyata kecemasan Presiden Soekarno dulu bahwa “perjuangan terbesar adalah melawan bangsa sendiri setelah merdeka” (Di Bawah Bendera Revolusi jilid 1,1959).
Merdeka hari-hari ini lebih dirayakan untuk bebas berbuat semaunya, abai etika, bahkan yang terparah sudah tidak menghargai keberagaman dengan cenderung lebih sering mencederai makna demokrasi.
Makin nyata nalar nyaris terabaikan lantaran lebih banyak setelah tidak menghargai keberagaman, kita mudah terseret amuk massa. Kasus pengeroyokan dan dibakarnya seorang yang diduga maling amplifier di sebuah masjid di Bekasi dan belakangan baru diketahui ternyata salah sasaran; seringnya pelarangan orang untuk menjalankan keyakinannya; tidak menolong orang yang sedang hilang kesadaran malah merekam dalam video seraya menyebarluaskannya; dengan kemudahan teknologi Print on Demand bisa menerbitkan buku (kebanyakan buku sastra dan sejarah) tak berkualitas; begitu mudahnya menghujat siapa pun orang baik akademisi dan politikus sehingga menjadikan diri secara sadar pun tersamar sebagai “pabrik hoax”; sampai seringnya melaporkan seseorang atas tuduhan penistaan agama setelah membuat pernyataan di akun sosial media; membiarkan dan selalu memberi ruang buat orang-orang yang suka kontroversi; adalah sekelumit kejadian akhir-akhir ini yang sulit kita pahami bahwa kita sungguh “merdeka”. Sementara nalar sering dikesampingkan, misalnya dalam debat-debat di sosial media (tersering debat agama dan politik) kerap ditutup dengan bantahan terkesan naïf jika kita enggan menyebutnya sebagai kedunguan: ”pakai hati dong!”.
Bagaimana memandang dengan hati kalau nalar tidak terlebih dahulu diutamakan sedangkan kita sadar tak sadar sering mencederai makna demokrasi itu sendiri?
Ada sebagian orang menuduh ini gara-gara teknologi dengan menggunakan gawai yang sadar atau tak disadari telah banyak mengubah kebiasaan kecil manusia. Salah satu diantaranya jadi lebih sering bergadang dan membeli paket data internet sedemikian banyak hanya untuk menjawab atau urun serta berbagai perdebatan di sosial media. Di sosial media tampak “galak” dan “kejam“ sedangkan kehidupan sehari-hari cenderung pemalu dan penakut. Kemajuan teknologi di sini cenderung dipahami kelewat naïf dan banyak yang tak sadar mengubah perilaku manusia menjadi pribadi egois dan tidak sabar, selain menjadikan diri memiliki kepribadian ganda.
Sudah banyak film-film sains fiksi (baik dengan sudut pandang ‘dystopia’-mimpi kehancuran massal ala “Terminator”, “Ghost in The Shell” sampai yang halus ala film “Modern Times” Charlie Chaplin , “Her” sutradara Spike Jonze) atau karya seni rupa muncul untuk merespons seraya mengingatkan manusia dan dunia bakal hancur secara moral dan nalar jika kita tak pandai memanfaatkan teknologi. Tapi apa daya beragam karya seni yang muncul dan sudah disebarluaskan tetap saja dipahami sebagai orang hiburan belaka tanpa makna.
Jauh sebelumnya buah pemikiran para filsuf Foucault dalam “Madness and Civilitation” yang berkembang menjadi “History of Madness” (1961) – sebelumnya ada Herbert Marcruse “Manusia Satu Dimensi” (1948) sudah mengingatkan bahwa ciri manusia modern berujung pada kejatuhan nalar, empati, dan nilai kemanusiaan di masa kini jika merujuk pada arti “merdeka” di Indonesia makin menonjol.
Filsuf Aristoteles (384-322 SM) menganalogikan bahwa “manusia adalah hewan yang berpikir” dan karena nyaris serupa “hewan” manusia hanya mau kumpul dengan sejenis. Sialnya, tiada yang menyadari mungkin kita nyaris serupa hewan itu sendiri dengan rasa pasrah hanya beraktivitas bersama golongan sepaham sehingga nyaris cenderung abai pada fakta baru.
Kita lebih bertindak karena hanya ingin melihat apa yang ingin dilihat dan dengar walau harus disadari kini tumbuh kekuatan komunitas-komunitas kecil. Ini kerap mengemuka pula pun di lingkup akademis dengan begitu kuatnya pengabaian nalar dan fakta dalam penulisan buku-buku sejarah, sampai kegiatan rohani yang dipakai untuk menyebarkan paham radikalisme dan fundamentalisme.
Pertanyaan mengusik, lantas apa yang bisa kita lakukan untuk mengisi kemerdekaan sehingga kita layak membusungkan dada dan menuliskan di hati sanubari masing-masing makna “merdeka” dengan “M” besar? Tiada jalan lain yaitu merawat nalar dengan gagasan besar untuk selalu menghindar menjadi pribadi “ahistoris” terus dicanangkan di tengah beragam upaya menghapus sejarah luhur bangsa dan kepandiran merajalela. Iya, semoga kita masih waras menjalaninya!*
(Donny Anggoro, anggota Lembaga Bhinneka Nusantara, CEO gerai buku dan music online collectors item, Bakoel Didiet, tinggal di Jakarta).