Tanggal Lahir bagi Sebuah Republik
Jalan-jalan kecil gang dan dinding-dinding rumah di kampung-kampung sudah mulai dicat. Ada yang ungu berjejer dengan merah. Putih berjejer dengan pink. Hijau toska berjejer dengan biru segara berjejer dengan oranye berjejer dengan warna-warna ngejreng yang lain.
Bapak-bapak menaiki gapura. Mendempul semennya yang rompal. Melukis gambar Bung Karno yang sedang mengacungkan jari telunjuk. Mereka juga memperjelas ulang tulisan 10 Program Pokok PKK yang mulai pudar. Memasang lampu-lampu sekecil biji semangka dan memberinya setrum dari salah satu rumah paling dekat. Para remaja, baik yang perempuan atau laki-laki ikut melabur paving jalan kampung. Putih. Hitam. Kadang di ujung hitam dulu lantas putih, memberi aksen di tengah-tengah jalan mirip zebra cross atau di beberapa bagian yang lain tampak menyerupai garis awal pertandingan lari maraton.
Anak-anak berebut cerita kepada orang tua mereka. Beberapa dari mereka baru saja menang ikut lomba memasukkan paku ke dalam botol. Ada juga yang jengkel sebab kalah dalam adu cepat membawa lari kelereng di atas lengkung sendok yang gagangnya dijepitkan ke mulut. Ada lagi yang basah kuyub sehabis ikut lomba memukul air dalam kantung plastik. Sebagian orang dewasa masih sibuk mencari di mesin pencari Google, beragam tips tata boga bagaimana membuat tumpeng agar bisa memenangi perlombaan membuat nasi kuning di malam tasyakuran nanti.
Pantulan rangkuman dari seluruh gegap-gempita itu adalah bahwa Rakjat Indonesia, tak peduli mereka hidup di kampung atau di pelosok dusun, di pucuk gunung atau di pesisir laut, selalu merasa terikat untuk berlomba-lomba menunjukkan utang budi mereka dengan ambisi besar memberikan hadiah terbaik bagi republik ini saban Agustus datang. Sebab di titi mangsa itulah kita, berpuluh-puluh tahun lampau, lewat perantara Soekarno dan Hatta, mensahkan diri kita sebagai bangsa yang tak bakal lagi sudi ditindas oleh bangsa lain. Merdeka seterang-terangnya. Itu juga bisa diartikan, kita berhak seratus persen untuk merencanakan dan memikul agenda masa depan—yang jika dalam bait puisi seorang Chairil Anwar, nasib ialah kesunyian masing-masing— adalah utuh milik kita sendiri. Dan tanggal sakral itu adalah 17 Agustus.
Tapi di Halimunda, pulau fiksional yang muncul di dalam novel Cantik Itu Luka (2006) anggitan Eka Kurniawan, titi mangsa kelahiran Republik ini menjadi lain ceritanya dan perkaranya justru bikin tegang. Bagaimana tidak, dikisahkan di novel itu, bahwa penduduk Halimunda yang memang secara geografis terisolir dari dunia luar plus faktor masih diduduki tentara Jepang, baru menerima salinan naskah proklamasi yang diketik dari mesin stensilan sebulan lebih dari hari naskah tersebut ketika dibacakan di Jalan Pegangsaan Timur. Salinan naskah itu sampai ke Halimunda tepatnya tanggal 23 September 1945. Naskah yang sudah koyak dan sebagian luntur kena air itupun di dapat lewat mulut seorang gerilyawan Peta yang terbunuh. Oleh sebab itu, penduduk Halimunda tetap saja ngeyel, bahwa mereka memiliki hari dan tanggal kemerdekaan yang berbeda dengan yang diamini oleh manusia Indonesia lainnya. Untuk tahun-tahun selanjutnya, orang-orang di Halimunda tetap beryel-yel merdeka. Saling berkirim rantang makanan. Membuat pasar malam. Mengadakan pawai, mengibarkan bendera merah putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya untuk memperingati kemerdekaan Republik Indonesia, tapi tanggal 23 September.
Ada banyak cara membaca lansekap situasi semacam itu. Sebagian kita barangkali akan geli seandainya itu benar-benar terjadi dalam kondisi nyata saat ini. Sebagian lagi akan berpikiran serius bahwa tindakan ngeyel sekelompok orang di daerah tertentu manapun, dalam teritori republik Indonesia ini, yang nyeleneh memperingati Hari Kemerdekaan di luar tanggal 17 Agustus merupakan tindakan subversif dan tentu saja makar adanya.
Jika kita ingin, masih ada perspektif lain untuk memandang situasi macam itu. Kita bisa membaca, bahwa kemerdekaan, yang termanifestasikan lewat tanggal lahir dan akhirnya kita usap-usap terus ini adalah semata-mata sebuah kesepakatan seluruh manusia Indonesia ketika memiliki kepentingan sama: menjadi sebuah bangsa. Sekarang, di antara gerak peradaban yang kian getas, di antara hiruk pikuk isu kekerasan antar etnis, pemisahan sebuah daerah untuk merdeka sendiri yang artinya ingin memisahkan diri dari NKRI, terorisme baik nasional maupun global, sekonyong-konyong kita seperti didesak-desak maju ke depan untuk ambil bagian dalam sebuah proyek bernama nasionalisme. Ada yang menarik untuk kita gali bersama jika sudah berbicara nasionalisme. Bukankah menjadi sebuah bangsa, tak peduli bangsa mana pun, adalah sebentuk kerelaan dari sekelompok manusia, yang berarti merelakan kepentingan-kepentingan individu demi sebuah kepentingan bersama?
Benar kiranya apa yang berulangkali diucapkan Ben Anderson, sebuah bangsa akan selalu lahir dari rahim imajinas (Anderson,2006). Pikiran kitalah yang mendorong kita meyakini, masing-masing dari kita adalah individu-individu yang ter-lem inheren dalam kelompok superbesar bernama bangsa Indonesia. Kita bisa menengok lagi sejarahnya: jauh waktu sebelum kemerdekaan diikrarkan, kiranya apa yang bisa menggerakkan sekelompok orang yang terkumpul namun terpilah dalam organisasi macam Jong Sumatranen Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Minahasa, Pakempalan Politik Katolik Jawi, Timorsch Verbond dlsb (Ricklefs 2001: Drakeley 2005) memutuskan untuk diri mereka bahwa Indonesia menjadi satu-satunya pilihan sebagai tanah air, bangsa dan bahasa? Musykil kiranya semangat kebangsaan pada saat itu ada jika bukan lantaran bayangan imajinasi tentang ‘masa depan lebih cerah’ yang akan terbentang ketika nantinya mereka menemukan identitas baru mereka: Indonesia. Mereka tak merasa keberatan, dengan rela hati mengesampingkan identitas lain mereka yang Orang Sumatra, Orang Ambon, Orang Islam, Orang Katolik, Orang Hindu,Priyayi maupun Abangan, laki-laki maupun perempuan, petani atau nelayan atau tukang batu atau pegawai bank atau buruh pabrik. Dan jika kita mau menalar, pamrih dibalik peleburan bermacam identitas-identitas lain milik jutaan manusia Indonesia itu adalah kehidupan yang lebih sejahtera setelah menjadi bangsa yang merdeka.
Salman Rushdie, pengarang kelahiran Mumbai yang bertahun-tahun sesudahnya harus hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain (salah satu dari beberapa alasan adalah demi keselamatan nyawanya) itu menciptakan dua tokoh bocah laki-laki dalam Midnight’s Children (2009).Saleem Sinai dan Shiva. Kedua bocah itu tentu tak pernah berpikir bahwa urusan kelahiran menjadi perkara genting sebelum mereka terlahir di bangsal rumah sakit yang sama, Rumah Perawatan milik Dokter Narlikar. Tak ada selisih menit ketika dini hari pada 15 Agustus 1947, pukul 00:01 mereka lepas dari rahim, tepat di mana jutaan orang India bersorak, memproklamirkan diri mereka sebagai negara merdeka dari cengkeraman kuasa kolonialisme Inggris. Dalam hiruk pikuk hari kemerdekaan itu, seorang perawat yang sengaja menukar tempat bayi Saleem ke tempat Shiva dan sebaliknya yakin bahwa perbuatannya akan menjauhkan India dan masa depan bangsanya dari sawan petaka. Menjadi problematis, ketika Saleem (yang tertukar) semestinya berorang tua jembel dan pemeluk agama hindu mesti tumbuh di keluarga muslim. Sementara Shiva yang sejatinya anak dari seorang saudagar muslim kaya-raya mesti berada dalam perawatan sebuah keluarga hindu nan serba kekurangan. Perjalanan dari dua bocah yang bertukar identitas itulah yang memang ingin ditonjolkan oleh Rushdie, untuk memotret betapa kompleksnya menjadi bangsa India dengan peleburan jutaan identitas manusia di dalamnya. Kebencian yang kelewat tajam antara pemeluk agama Sikh dengan Islam. Islam dengan Hindu. Hindu dengan Kristen. Juga kaum borjuis dengan kaum papa yang terepresentasikan dalam kericuhan antar partai politik. Ancaman disintegrasi. Korupsi yang merajalela. Angka kriminalitas yang begitu tinggi. Kemiskinan. Kelaparan. Lewat novel ini, Rushdie kembali ingin mencubit tiap orang, mengingatkan pada India di masa kini, pada “proyek bersama” ketika India, pada 15 Agustus 1947 memutuskan untuk merdeka.
Sekarang kita di sini, dengan keyakinan sebagai bangsa Indonesia mengenakan sebuah identitas yang lahir pada 17 Agustus 1945. Identitas yang membentuk keyakinan kita, bahwa yang Batak dan yang Dayak, yang Ambon dan yang Minahasa, yang Lombok dan yang Banyumas. Budha, Hindu, Islam, Katolik atau Konghucu, dan segala pernik kebhinekaan identitas lain adalah modal sosiokultural untuk mewujudkan cita-cita masa depan. Keterpurukan sebuah kelompok manusia, juga berbagai bentuk kekejian atas kemanusiaan, kata Amartya Sen—pakar Ekonomi dan pemikir dari India yang pada 1998 mendapatkan Nobel ekonomi—akan senantiasa bermula dari praanggapan bahwa warga dunia dapat dikelompokkan dalam sistem pemilahan yang sifatnya tunggal dan serba mutlak tanpa mau memahami, bahwa tiap individu manusia membawa banyak sekali keberagaman identitas.
Dan kita sudah semestinya bersyukur, bahwa kesepakatan untuk menjadi bangsa Indonesia diletakkan di atas dasar perspektik nilai-nilai keberagaman, dan itulah yang semestinya kita rawat. Semoga tidak cuma bulan Agustus kita mengingat identitas sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Mengingat tak pelak akan mempermudah kita dalam membuat bahan koreksi, sejauh mana “proyek bersama” berbangsa atas nama kerelaan ini menuai panennya: Perdamaian dan kesejahteraan yang dinikmati oleh tiap-tiap manusia Inodnesia tanpa pengecualian. Cuma dengan ukuran itu, kita akan yakin bahwa kata kemerdekaan bukan sekadara jadi ‘pepesan kosong’ belaka.
Bahan Tulisan
Rushdie, Salman. (2009) Midnight’s Children, diterjemahkan oleh Yuliani Liputo. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Kurniawan, Eka. (2006) Cantik Itu Luka. Jakarta: Gramedia.
Sen, Amartya. (2006) Kekerasan dan Identitas, diterjemahkan olehArif Susanto. Serpong: Marjin Kiri
Anderson, Bennedict. (2006). Imagined Communities: Reflection on The Origin and Spread of Nationalism. London: Verso
Ricklefs, M.C. (2001). A History of Indonesia Since c 1200 (3rd Edition). Hampshire: Palgrave
Drakeley, Steven. (2005) History of Indonesia. Westport: Greenwood Press.
Biodata:
Nama: Arif Fitra Kurniawan
TTL: Semarang 22 Juni 1985
Alamat: Brotojoyo VII no 39 Kelurahan Panggung Kidul, Semarang Utara
Email: arif.fitra@ymail.com