“HUTRI72 – Setelah 72 Tahun Merdeka”
“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” (Soekarno).
Merdeka itu bukan sebuah titik. Dia bukan sesuatu yang sudah rampung. Barangkali akan lebih fair dan jujur rasanya kalau kita bayangkan dia seperti Sisyphus dalam mitologi Yunani. Sisyphus mengangkat batu. Setiap kali hendak merengkuh puncak, batu menggelinding kembali ke bawah. Sisyphus bergerak naik-turun. Begitu seterusnya.
Demikian pun merdeka. Setiap kali peringatan 17 Agustus, setiap kali mendengar gaung teks proklamasi dibacakan dan lentingan syair lagu “Tujuh belas agustus tahun ‘45, itulah hari kemerdekaan kita…” dinyanyikan dengan penuh gairah, kita mendadak terharu. Seluruh perasaan dan imajinasi kita hanyut di dalam “kenangan ritualistik” itu, di dalam “ingatan yang dilembagakan” itu. Kita merasa sudah merdeka. Kita merasa sudah menang.
Tapi setelah itu berlalu, kita kembali ke factum. Setelah 72 tahun merdeka, Indonesia tak lekas merdeka. Kemiskinan masih meraja lela. Korupsi tak pernah berakhir. Ketidakadilan tak kunjung lenyap. Kesenjangan sosial makin meningkat. Kolonialisme dalam wajah halus dan sistematik makin berkuasa. Radikalisme agama semakin gencar mengancam demokrasi, Pancasila dan keutuhan NKRI. Terorisme menyebar ketakutan di mana-mana.
Lalu kita segera sadar: kita sesungguhnya belum merdeka! Kapan merdeka selesai? Rasa-rasanya tak ada jawaban. Sebab seperti Indonesia adalah sebuah proses, demikian pun kemerdekaan adalah hal yang tak pernah selesai. Tak ada merdeka. Tak ada kemerdekaan. Yang ada hanya “pemerdekaan”. Merdeka bukan (kata) benda, tapi (kata) kerja. Dia bukan pekikan, tapi dentingan melodramatik yang tak bisa diprediksi.
Merdeka Sebagai Kejadian
Kata “kejadian” di sini tak asal dicatut. Gema semiotiknya tak seperti yang biasa kita cerap. Alain Badiou, filsuf Prancis, menyebut event (kejadian) sebagai momen politik, pemutus, yang merujuk pada situasi luar biasa, tak dapat dikalkulasi, tapi mengubah keadaan secara keseluruhan. Kejadian itu disrupsi: dia memutuskan kita dari relativitas dan banalitas sehari-hari, dari pengulangan yang tak berguna, kepada militansi menciptakan kebaruan. Kejadian, karena itu, sebentuk momen politis. Dia membutuhkan kehadiran subjek luar biasa, subjek militan.
Alhasil, suatu peristiwa bernilai politis hanya kalau ia ditafsir sebagai kejadian. Peristiwa sebagai kejadian berbeda dari peristiwa sebagai peristiwa. Peristiwa sebagai peristiwa adalah sesuatu yang padat, kaku dan beku. Dia dapat dikuantifikasi, dipisah-pisahkan bagian-bagiannya, dan tak jarang dimanipulasi dan dieksploitasi oleh mereka yang memiliki power (kekuasaan). Di sana ada jam, hari, bulan dan tahun.
Tapi peristiwa sebagai kejadian berbeda. Dia adalah riwayat cucuran keringat darah pelakunya dalam narasi perjuangan dan tarik menarik antara perang dan damai, harmoni dan disharmoni, konsensus dan disensus, kawan dan lawan, dengan situasi sekitar. Dia adalah buah kerja keras dan ketegangan, yang semuanya merupakan existential signifier (penanda eksistensial). Dia tak pernah tunduk, lekang, retak atau patah di bawah roda kekuasaan yang menggilasnya. Dia adalah gerak yang menyeruak dari kedalaman, yang menciptakan dan membentuk.
Kembali ke diskursus awal. 17 Agustus bisa ritualistik-institusional, bisa politis. Dia ritualistik ketika diperlakukan sebagai “peristiwa sebagai peristiwa”. Dia menjadi sekadar nyanyian, pembacaan teks proklamasi, apel bendera, pertunjukkan-pertunjukkan yang diulang setiap tahun, sehingga momen 17 Agustus itu, sebagaimana Goenawan Mohamad, “ibarat batu pualam yang tak boleh lekang dan lapuk” (Majalah Tempo, 16/8/2012).
Sebaliknya, dia bernilai politis kalau diperlakukan sebagai “peristiwa sebagai kejadian”. Peristiwa sebagai kejadian mengemuka dalam “pergulatan konfliktual” melawan tuan-tuan kolonial. Peristiwa sebagai kejadian berarti setelah 72 tahun, kita kembali merenungkan originalitas peristiwa itu 72 tahun lalu di mana, sebagaimana Goenawan, “di balik sebuah ingatan yang dilembagakan, ada kerja yang tak terhitung: para pemuda yang dengan semangat berapi-api dan jantung berdebar mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk berani tak patuh kepada penguasa Jepang; Bung Karno dan Bung Hatta yang dengan sabar tapi cemas mengikuti desakan itu—dan kemudian menyusun teks yang di sana-sini dicoret itu; sejumlah orang yang tak disebut namanya yang mengawal kedua pemimpin itu kembali dari Rengasdengklok; orang-orang yang menyiapkan bendera merah putih, pengeras suara, rekaman, upacara sederhana, dan berdoa…” ( Majalah Tempo, 16/8/2012).
Dengan kembali kepada “kejadian”, kepada originalitas peristiwa itu 72 tahun lalu, barangkali kita bisa merasakan betapa sakitnya membuat bangsa ini merdeka, serentak betapa berdosanya kita yang begitu gampang melecehkannya.
Jeda Kreatif-Proses
Cukup jelas, merdeka itu bukan mukjizat. Dia tidak jatuh begitu saja dari langit. Dia adalah produk perjuangan. Perayaan 72 tahun merdeka itu juga mestinya terarah ke situ. Perayaan itu, katakanlah, sebuah jeda kolektif bangsa. Tapi jeda ini bukan diam dan titik, melainkan jeda kreatif. Perayaan itu jelas repetisi. Tapi bukan repetisi mekanik seperti cetakan sebuah foto. Melalui tafsir sebagai kejadian, repetisi itu adalah der augenblick, suatu moment of vision (momen visi). Artinya, HUT RI ke-72 adalah suatu momen atau proses “menciptakan kembali” kemungkinan-kemungkinan baru yang kontekstual dengan tuntutan kini dan proyek masa depan bangsa berdasarkan pergulatan konfliktual para pahlawan kemerdekaan di masa lalu.
Kita, misalnya, tidak lagi melakukan repetisi mekanis yaitu mengulang konflik berdarah melawan kolonialisme. Kita melakukan repetisi sebagai re-aktivasi dan re-kreasi dalam konteks the present, misalnya pergulatan konfliktual melawan pelbagai patologi birokrasi, korupsi, neokolonialisme berwajah baru, ketidakadilan, radikalisme dan terorisme. Maka, dalam framework paradigma itu, kita melibatkan diri dalam pergulatan konfliktual mulai saat ini digerakkan oleh visi bersama tentang proyek masa depan bangsa, bukan menunggu terjadinya replikasi kolonialisme asing.
Singkatnya, di sana, tak ada titik yang tak pecah. Tak ada jeda yang diam atau berhenti. Kalau momen memperingati 72 tahun kemerdekaan adalah titik, titik itu-sebagaimana Badiou-tiap kali harus diputuskan; seperti Sisyphus yang setiap kali hendak merengkuh puncak sadar untuk kembali ke bawah, ke belakang.
Itu berarti, merdeka itu tak punya titik. Dia adalah proses timbal-balik, berulang dan tak berkesudahan antara “kejadian” bersama nilai-nilai perjuangan para pahlawan 72 tahun lalu dengan proyek politik dan visi untuk kemajuan bangsa di masa depan. Barangkali kita tak akan pernah benar-benar merdeka. Tapi di dalam proses pemerdekaan dengan gerak tesis-antitesis tak berkesudahan, jatuh-bangun-jatuh-bangun lagi, dstnya, kita telah menyusun diri sebagai “orang merdeka”. Seperti Soekarno, dkk., yang berani memproklamasikan kemerdekaan, meski tak bisa memastikan bahwa kelak Indonesia akan benar-benar merdeka.
Menjadi Subjek
Alain Badiou menggagaskan bahwa kejadian menuntut hadirnya orang-orang sebagai subjek militan. Soekarno dan para pahlawan lainnya di seluruh Indonesia pada masa itu boleh disebut sebagai subjek militan tersebut. Mereka berjuang dan menghasilkan kebaruan radikal: Indonesia merdeka.
Tapi, karena merdeka bukanlah “kemerdekaan” tapi “pemerdekaan”, maka narasinya adalah suatu intertekstualitas. Artinya, subjek militan itu tidak berhenti pada Soekarno, dkk., tapi berlanjut hingga kini dan nanti; seperti juga 17 Agustus saat ini bukanlah sesuatu yang secara ontologis terpisah dari situasi 72 tahun lalu itu.
Singkatnya, kita semua dipanggil menjadi subjek militan, yang serentak berarti menjadi “perawat kemerdekaan” yang teguh, setia dan pantang mundur. Tapi bagaimana?
Menjadi subjek berarti kita beralih dari figur pasif ke figur aktif, dari perspektif pengamat kepada perspektif pelaku, dari posisi sebagai spectator (penonton) kepada posisi sebagai actor (pemain). Kita adalah subjek atas diri sendiri, atas jalannya kekuasaan, politik, demokrasi, dan perubahan bangsa. Karena kekuasaan, sebagaimana Michel Foucoult (1924-1984), ada di mana-mana (dispersed) dan tidak dapat dilokalisasi pada satu tempat atau manusia tertentu, maka kita pada dasarnya memiliki power (kuasa). Dalam arti, kita adalah “subjek yang mampu untuk aktif memproduksi diri sendiri [menentukan nasib sendiri], serentak menjadi subjek atas kekuasaan [menentukan nasib dan masa depan bangsa].” Subjek militan bukan Tuhan, bukan penguasa yang cenderung korup, bukan elit politik yang mata duitan, atau gerombolan kapitalis yang gemar menjilat keuntungan, melainkan “kita sebagai warga negara yang peduli nasib dan masa depan bangsa” ini. Bukankah itu arti sebenarnya dari demokrasi?
Kita belum menjadi subjek kalau apatis terhadap persoalan bangsa seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, patologi birokrasi, ketidakadilan, radikalisme, terorisme dan kejahatan sosial. Kita belum menjadi subjek kalau tidak mengontrol jalannya roda kekuasaan dan penyelenggaraan negara. Kita belum menjadi subjek kalau menjadi bangsa pemalas, konsumtif, instan dan tak menghargai proses. Kita belum menjadi subjek kalau enggan melakukan revolusi mental. Singkatnya, kita belum menjadi subjek kalau tidak berjuang menciptakan masa depan bangsa dan masyarakat yang lebih baik. Dalam hal ini, kita sama sekali belum merdeka dan gagal merawat kemerdekaan.
Maka, pada inti-intinya, Soekarno benar: “Tuhan tidak merubah nasib suatu bangsa sebelum bangsa itu merubah nasibnya sendiri”.
Mari merawat kemerdekaan, merawat Indonesia!***
Penulis: Peter Tan
Mahasiswa pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero-Maumere 86512, Flores –NTT
E-mail: tanpeter997@yahoo.com