Jika kita melihat tujuan negara Indonesia, maka ada empat aspek yang ingin dicapai berdasarkan Pembukaan UUD 1945 alinea IV yaitu; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan pertama terkait erat dengan persatuan bangsa Indonesia. Tujuan ini seringkali ditafsirkan sebagai sesuatu yang hanya diperlukan pada masa-masa perjuangan saat kita memperjuangkan kemerdekaan saja. Sehingga sering dianggap tujuan ini telah tercapai pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945. Akibatnya kita mengabaikan aspek ini dalam mengisi kemerdekaan. Atau dengan kata lain kita sering melalaikan (mengesampingkan) tujuan ini pada saat kita berusaha mencapai ketiga tujuan kemerdekaan berikutnya.
Hal ini bisa kita buktikan dengan menilik sejarah pembangunan yang ada di negeri ini dari masa ke masa, kita menemukan orientasi pembangunan yang cenderung untuk memajukan kesejahteraan sosial yang pada dasarnya lebih berfokus pada daerah padat penduduk. Sehingga melupakan daerah lain yang tidak padat penduduk, padahal daerah-daerah non padat penduduk tersebut merupakan satu kesatuan integral yang membentuk NKRI. Jawa dan Sumatera adalah dua pulau yang selalu jadi anak emas pembangunan kita selama ini, karena memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia.
Orientasi pembangunan seperti ini sangat jelas telah menciptakan disparitas yang begitu lebar antara pulau Jawa dan pulau Sumatera dengan pulau-pulau lain yang ada di Indonesia. Hal ini terbukti dengan realitas obyektif yang ada saat ini. Kondisi infrastruktur bangunan, transportasi, komunikasi, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi di daerah-daerah non Jawa dan Sumatera terutama daerah-daerah perbatasan jauh dibanding dengan yang ada di Jawa dan Sumatera. Ironisnya, daerah-daerah luar Jawa dan Sumatera tersebut memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah namun kondisi mereka jauh dari kata sejahtera sebagaimana yang ada di Jawa dan Sumatera. Akibatnya kecemburuan sosial menjadi hal yang tak bisa terelakkan. Gerakan separatisme terjadi di daerah-daerah yang kaya akan hasil alam seperti OPM di RSM di Maluku, GAM di Aceh. Kondisi ini jika terus dibiarkan berlarut-larut maka bukan hal yang tidak mungkin negara ini akan mengalami perpecahan. Kita tidak akan lagi memiliki luas wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke, 10, 20, 50 atau 100 tahun mendatang.
Oleh karena itu, salah satu tugas yang perlu dituntaskan demi menjaga keutuhan NKRI ini adalah kita mesti merubah arah pembangunan kita yang cenderung pada kesejahteraan kepada pembangunan yang berorientasi pada persatuan. Sebuah pembangunan yang tidak mengkotak-kotakan satu dengan yang lainnya.
Namun, pertanyaannya adalah apa itu arah pembangunan berorientasi persatuan? Lantas apa bedanya dengan pembangunan berorientasi kesejahteraan? Bukankah orientasi kesejahteraan sosial adalah amanat UUD 1945 dan Pancasila? Bukankah pula kesejahteraan sosial adalah barometer keberhasilan suatu negara?
Di dalam ilmu ekonomi, kita mengenal dua metode/istilah yakni maksimalisasi produksi dan minimalisasi biaya. Jika kita terapkan/analogikan dalam dunia pembangunan, maka akan dikenal dengan maksimalisasi produksi/kesejahteraan dan minimalisasi biaya/resiko perpecahan.
Pembangunan berorientasi persatuan termasuk dalam metode pembangunan minimalisasi resiko perpecahan yaitu pembangunan yang menjadikan persatuan sebagai tujuan. Memang benar kesejahteraan sosial merupakan amanat UUD 1945 dan Pancasila serta barometer keberhasilan suatu negara. Akan tetapi, konsep pembangunan ini memfokuskan diri pada daerah padat penduduk. Konsep pembangunan demi kesejahteraan didasari atas jumlah penduduk yang akan disejahterakan. Sehingga semakin banyak penduduk di suatu daerah maka akan semakin besar perhatian pemerintah terhadapnya. Karena ukurannya adalah kesejahteraan, maka apabila jumlah paling banyak sudah merasakan kesejahteraan itu, itu sudah cukup. Dan apabila jumlah yang banyak itu dipersentasekan sebagai barometer keberhasilan negara, maka akan menutupi kemiskinan/ketimpangan yang jumlahnya kecil di daerah non padat penduduk.
Jika kita menggunakan strategi maksimalisasi produksi/kesejahteraan maka konsekuensi orientasi pembangunannya adalah dengan memperhitungkan sebaran penduduk, mengingat masyarakatlah yang ingin disejahterakan. Dengan demikian perhitungan alokasi dana pemerintah pada pembangunan di suatu kawasan, seringkali berbanding lurus dengan proposisi penduduk di kawasan tersebut relatif dibandingkan penduduk secara nasional. Artinya, daerah dengan penduduk banyak akan mendapat alokasi dana yang lebih besar daripada daerah dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit. Hal ini bisa sangat efektif (tidak menciptakan kesenjangan) jika luas geografis negara tersebut kecil atau bukan kepulauan.
Oleh karena negara kita adalah negara kepulauan terbesar, maka strategi ini tidak akan efektif. Kita perlu strategi yang lain. Strategi minimalisir biaya. Yaitu strategi pembangunan yang dapat meminimalisir resiko terjadinya perpecahan atau dengan kata lain upaya melestarikan persatuan Indonesia.
Didasarkan pada orientasi pembangunan ini, maka pemerintah fokus pada upaya menjaga keberlanjutan persatuan Indonesia sebagai tujuan. Berdasarkan tujuan ini, pemerintah memiliki tantangan untuk meminimalisir biaya sedemikian rupa namun tetap fokus menjaga persatuan Indonesia dalam jangka panjang.
Tentu saja paradigma yang mendasari orientasi pembangunan ini berbeda dibandingkan dengan orientasi pembangunan sebelumnya. Didasarkan pada orientasi pembangunan ini, pemerintah akan menempuh berbagai cara agar keberlangsungan persatuan Indonesia tetap terjaga dalam jangka panjang. Pemerintah tidak lagi melihat jumlah penduduk sebagai landasan dalam membangun namun pemerintah harus melihat sebaran luas wilayah sebagai landasan dalam membangun.
Sebagai konsekuensi logis dari orientasi pembangunan ini, pemerintah wajib memperioritaskan pembangunan di daerah terluar/perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga. Pemerintah harus fokus pada setiap upaya untuk mencegah munculnya elemen bangsa yang memiliki cukup incentive compatibility untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Bangsa kita metinya bersyukur, bahwa pemerintahan kita saat ini, pak Joko Widodo membaca ketimpangan ini dan berusaha membangun negeri ini dari pinggir. Sebuah langkah berani yang coba diambil oleh pak Presiden dan semoga menjadi tapak yang akan terus diikuti oleh para penerusnya kelak.
Melihat reorientasi pembangunan dari kesejahteraan ke persatuan yang dilakukan pemerintahan saat ini, seperti tidak ada lagi kesenjangan harga (terutama BBM) antara Jawa-Sumatera dengan Papua, masuknya listrik ke daerah-daerah terpencil dengan Cuma-Cuma, pembangunan ketahanan di wilayah-wilayah perbatasan dan pembangunan-pembangunan lainnya di wilayah selain Jawa-Sumatera merupakan orientasi pembangunan demi menjaga persatuan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat. Dan sudah semestinya dukungan penuh kita berikan kepada pemerintahan saat ini dalam melaksanakan tugasnya, membangun Indonesia dari pinggir. Dan hanya dengan orientasi pembangunan seperti inilah maka impian kita untuk tetap bersama dalam bingkai NKRI untuk 10, 20, 100 bahkan 1000 tahun lagi mungkin terjadi.
Biodata Singkat Penulis:
Nama lengkap penulis, Kifli A. Naesaku
Alamat domisili saat ini, Kupang, Nusa Tenggara Timur
Nomor Contact, 081237485628 dan 085858848372
Pendidikan Terakhir, Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kalabahi
Pendidikan saat ini, Mahasiswa S1 Universitas Nusa Cendana
Penulis Buku, Jalan Pulang terbitan Tahun 2016