Rabu, Oktober 16, 2024

HUTRI72 – MERDEKA BERSAMA-SAMA

febbrylovina
febbrylovina
perenung

MERDEKA BERSAMA-SAMA

Oleh: Febbry Lovina*

Apabila kita cermat memelajari sejarah perjuangan manusia-manusia nusantara sebelum 1945, kita patut bersyukur atas momentum 17 Agustus ini, yaitu hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-72. Momentum ini mengingatkan kita akan betapa besar dan penting ketekunan para pejuang dalam mengupayakan kebebasan diri, keluarga, teman-teman dan saudara-saudara yang mereka kasihi.

Maka itu, atas landasan syukur yang sederhana ini, meski situasi bangsa kita sedang kacau, saya rasa baik jika kita hindari keapatisan, apalagi sampai mengatakan bahwa sesungguhnya selama 72 tahun ini, negara kita belum lagi merdeka. Tidak bijak juga kalau kita berkata begitu. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah satu hal besar yang jadi sejarah pertumbuhan bangsa kita, sedangkan kemunduran pertumbuhan jati diri kita sebagai sebuah bangsa adalah hal lain lagi yang tak kurang pentingnya. Baik mengabaikan ataupun mencampuradukkan keduanya tanpa arah visi yang jelas akan bikin kita jadi pemarah yang tak tahu arah. Lagipula, tindakan itu tidak ada gunanya bagi perbaikan situasi bangsa ini.

Oleh sebab itu, saya mengucapkan selamat memperingati hari kemerdekaan bagi Indonesia!

Bagi saya secara pribadi, perayaan momentum ini dapat dilakukan dengan tiga cara:

Pertama, kita bisa mulai dengan berpikir jeli terhadap apa yang dengan susah payah telah dibangun/diperjuangkan oleh para pendahulu yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Dalam tinjauan saya yang terbatas, saya menemukan setidaknya ada tiga nilai yang dapat kita internalisasi, yaitu: kesadaran, bahwa penjajahan dalam bentuk apapun terhadap manusia lain, di mana pun dan kapan pun, harus dilawan; keberanian, untuk tetap mengupayakan perlawanan lewat berbagai upaya yang memungkinkan (intelektual, aktivisme); ketekunan, dalam merawat harapan pada kemerdekaan itu sendiri. Para pejuang sebelumnya punya pengharapan agar Indonesia kelak akan merdeka, bebas dari penjajahan, lalu mereka terus mencoba berupaya, meski jalan menuju gerbang cita-cita itu belum terlihat sama sekali. Tapi justru di sana letak iman terhadap apa yang mereka cita-citakan.

Hari-hari ini sebagian dari kita mungkin hampir kehilangan pengharapan atas keadilan bagi nasib kita. Kemelaratan di mana-mana, kekerasan di mana-mana. Sulit sekali menemukan cinta dan persaudaraan, malah kebencian ada di mana-mana. Kala sedang larut dalam putus asa, tidak ada salahnya menengok kembali jejak perjuangan para pendahulu ini, malah akan menolong kita menemukan kembali air dan api perjuangan di kedalaman jiwa kita.

Lewat menumbuhkan kesadaran, keberanian serta ketekunan, para pejuang kita akhirnya berhasil merebut kedaulatan bangsanya.

Kedua, mari kita jeli terhadap perkembangan maupun pengurangan informasi mengenai catatan sejarah kemerdekaan itu sendiri. Salah satu contoh misalnya penghilangan nama Tan Malaka dalam daftar pahlawan nasional paska rezim Orde Baru. Ini bisa jadi satu pintu masuk agar kritis memelajari sejarah.

Meski tidak ikut turun dalam perumusan serta pembacaan naskah proklamasi 17 Agustus 1945, Tan Malaka, dalam catatan para sejarawan dan antropolog menunjukkan pada kita, betapa sosok ini sangat tekun mengupayakan jalan-jalan pembebasan bagi manusia-manusia nusantara. Bahkan presiden pertama kebanggaan kita, Soekarno, hormat padanya dan sempat memandatkan “obor kemerdekaan” kepadanya lewat Testamen 1 Oktober 1945.

Akhir kisahnya cukup tragis. Ia mati di tangan tentara bangsanya sendiri di masa serangan umum kedua Belanda di Kediri.

Pada 28 Maret 1963, Soekarno, lewat Kepres RI No 53 tahun 1963 menetapkan Tan Malaka sebagai pahlawan nasional Republik Indonesia, “mengingat jasa-jasa almarhum sebagai pemimpin Indonesia di masa silam yang semasa hidupnya, karena terdorong oleh rasa cinta tanah air dan bangsa, memimpin suatu kegiatan yang teratur guna menentang penjajahan di bumi Indonesia,”

Namun sejak Orde Baru berkuasa, nama Tan Malaka kemudian dihapuskan dari daftar kepahlawanan nasional. Namanya tidak lagi disebutkan dalam buku-buku teks sejarah. Kini orang-orang, khususnya yang muda-muda, banyak yang tidak tahu siapa Tan Malaka dan apa sumbangsihnya bagi perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Barangkali ketidaktahuan ini pula yang membuat buku-bukunya kerap dilarang beredar di negeri ini.

Pintu masuk ini akan membantu kita menelusuri jejak-jejak lain sejarah yang pernah dibelokkan; tugas kitalah untuk meluruskannya kembali.

Ketiga, merayakan momentum kemerdekaan dapat kita lakukan dengan cara merenungkan dan membarukan  pemahaman kita atas makna kemerdekaan itu sendiri, yang lebih bermanfaat bagi perbaikan situasi kebangsaan kita hari ini.

Salah satunya yaitu dengan jeli melihat saudara kita yang masih dijajah oleh sesama bangsanya sendiri. Kita tahu bagaimana rasanya dijajah, setidaknya lewat membaca catatan sejarah. Kini mari renungkan dengan jujur, apakah kita tidak sedang bertukar peran, dari yang terjajah menjadi penjajah?

Sebutlah salah satunya tentang kemerdekaan Papua Barat. Meski kita tahu bagaimana dan sudah berapa lamanya manusia Papua hidup menderita, direndahkan, bahkan dihilangkan perlahan-lahan di bawah pemerintahan Indonesia hingga saat ini, kita tetap lebih suka meneriakkan slogan ‘NKRI harga mati’ di kaos-kaos yang kita pakai. Menyedihkan.

Sore tadi saya melihat satu tulisan di mural tembok-tembok gang di dekat tempat tinggal saya. Begini bunyinya: Jangan biarkan orang asing mempermainkan bangsa kita. NKRI harga mati. Lalu saya berpikir, betapa sudah lama kita dididik cara berpikir seperti ini, yang selalu mencari kambing hitam atas persoalan-persoalan kita sendiri, yang suka sekali menggaungkan hal-hal yang bahkan tidak kita mengerti.

Tidak perlu jauh ke bangsa asing, kini orang-orang lemah di negeri ini habis dipermainkan oleh sebangsanya sendiri.

Berapa banyak perempuan-perempuan di negara ini yang hidup ketakutan di rumah dan di jalan-jalan karena mereka lahir bervagina, hidup di antara orang-orang yang masih menjadikan penisnya dan otaknya sebagai alat untuk memerkosa dan membunuh?

Berapa banyak yang tidak dapat menunaikan ibadah keagamaannya, atau yang memilih percaya saja tanpa harus beragama, namun diteror terus-terusan dan disesatsesatkan di mimbar-mimbar?

Berapa banyak LGBT yang…? Baiklah, ini kita bahas nanti saja sebelum Anda buru-buru menidaktuntaskan tulisan ini.

Berapa banyak rakyat miskin, petani di desa-desa, buruh pabrik di kota-kota yang tiap hari berjuang memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dalam kekurangan, buruh non pabrik tanpa kontrak dan upah di bawah layak tapi kerja melebihi batas;

Berapa banyak sesama kita manusia yang sepanjang hidupnya dijalani dengan rendah diri, putus asa, yang mau bunuh diri, yang difabel, atau remaja-remaja yang suluruh hidupnya tersita untuk meratapi nasib putus cinta dengan mantan atau bagaimana cara menarik hati gebetan barunya.

Saudaraku, selain semua yang telah saya sebutkan di atas, kita punya jutaan variasi masalah bangsa yang sebagian besar di antaranya, bangsa kita sendiri yang jadi pelaku. Tapi kita masih saja sibuk mempersoalkan siapa pribumi dan siapa yang asing. Lalu berharap seluruh persoalan negeri ini akan selesai dengan cuma mengibarkan bendera merah putih di halaman rumah kita masing-masing.

Kita perlu membuka diri pada kebaruan perenungan mengenai makna sejati kemerdekaan. Kemerdekaan bukan untuk seorang diri, bukan pula untuk sekelompok diri, tapi kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan bagi seutuhnya bangsa kita, tanpa terkecuali.

Perenungan ini hanya langkah sederhana tapi saya percaya dapat merevolusi bangsa kita. Dan itu mesti dimulai dari merevolusi kedirian kita, mengubah sistem berpikir kita, cara kita memandang hal-hal, cara kita membuka diri terhadap banyak hal, serta perlahan-lahan memraktekkan hal-hal baik ke dalam kehidupan bermasyarakat kita.

Siapa tahu kelak, tahun depan kita ataupun generasi di bawah kita, akan menemukan variasi kreativitas yang dapat memadukan seluruh poin-poin perenungan ini dalam lomba masak dan makan sosis, tarik tambang, panjat pinang, lari ngesot dan lain sebagainya, yang dekat sekali dengan tradisi perayaan hari kemerdekaan kita saat ini.

***

Sekali lagi, kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan bagi seutuhnya bangsa kita, tanpa terkecuali. Dan perjuangan menuju kemerdekaan yang seperti itu masih sangat panjang. Semoga kita senantiasa dalam lindungan Tuhan yang merawat segala pengharapan hidup.

Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah pertanyaan seorang filsuf, Slavoj Zizek,

bagi seluruh kita yang merindukan kemerdekaan yang dapat kita rayakan bersama-sama, yang mengetahui dan sadar bahwa masih banyak kita atau saudara kita atau tetangga kita yang begitu kesusahan menanggung pergumulannya masing-masing, meski negara kita sudah 72 tahun merdeka,

Dapatkah kita memperjuangkan pergumulan kita itu bersama-sama?”

Sekali lagi, selamat merayakan hari kemerdekaan. Jangan lupa minum air jeruk nipis setiap pagi.

Banten, 16 Agustus 2017

Biodata penulis:

Nama: Febbry Evalovina Sembiring

Nama pena: Febbry Lovina

NIK: 1208266901900001

Tempat/tanggal lahir: Cingkes, 29-01-1990

Alamat tinggal saat ini: Villa Inti Persada, Blok A7, Pamulang Timur – Banten.

Email: febbrylovina@gmail.com

Saat ini saya bekerja di Cinespace, sebuah ruang nonton alternatif di Tangerang Selatan. Ingin melanjutkan studi S2 dalam waktu dekat ini. Suka mengurung diri dengan buku-buku, dan sedang belajar agar tekun menulis.

febbrylovina
febbrylovina
perenung
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.