Kamis, Maret 28, 2024

Merawat Kedewasaan Berbangsa

Muhammad Dudi Hari Saputra
Muhammad Dudi Hari Saputra
Lecturer at Kutai Kartanegara University and Former Industrial Ministry Special Analyze

Pembuka

Kira-kira menurut Sjahrir atas petunjuk Hatta bahwa tujuan berbangsa adalah menuju kemerdekaan dan kedewasaan kemanusiaan, ”yaitu bebas dari penindasan dan penghisapan serta penghinaan oleh manusia terhadap manusia” (perumusan yang bertubi-tubi digemakan juga oleh Presiden Soekarno, kebebasan dari exploitation de l’homme par l’homme) (Mangunwijaya, 1996). Pesan dari para pendiri bangsa yang coba dikutip oleh Romo Mangun ini bersandarkan pada dua prinsip utama tujuan dari kemerdekaan, yaitu bebas dari penindasan dan penghisapan (ekonomi – material) dan bebas dari penghinaan manusia terhadap manusia yang lain (kemanusiaan – spiritual) (Yudi Latif, 2015).

Dan fase kemerdekaan itu sudah digapai dengan penuh pengorbanan, dari harta, ide – gagasan, hingga nyawa. Usaha gemilang itu akhirnya membuahkan hasil, yakni tepat 72 tahun yang lalu bangsa Indonesia resmi lahir setelah diproklamirkan oleh dua bapak pendiri bangsa, yakni Soekarno-Hatta, tepat di momen itu maka lahirlah sebuah bangsa – negara baru bernama Republik Indonesia, sebuah bayi mungil dari kawasan Asia – Tenggara, yang dalam proses tumbuh besarnya melalui proses ujian yang luar biasa sulit, ibarat anak kecil yang baru belajar merangkak dan berjalan, Indonesia harus berapa kali mengalami masa jatuh – bangun.

Diawali dari ancaman luar dengan agresi militer Belanda, konflik pemberontakan internal dari yang bermotif ideologi seperti gerakan pemberontakan Darul Islam (Negara Islam Indonesia) di Jawa Barat pada tahun 1948 oleh Kartosuwiryo, kemudian pemberontakan PKI Madiun pada tahun 1949 oleh Musso, kemudian berlanjut ke pemberontakan karena isu ketidakadilan antara kekuasaan yang lebih dominan oleh Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah (PRRI – Permesta), hingga gerakan-gerakan massa antar sesama anak bangsa karena ketidakadilan oleh penguasa, yang tak sedikit membuat republik ini harus menyakiti dan mengorbankan nyawa dari anak nya sendiri, seperti: Pemberontakan PKI 30 September 1965, Peristiwa Malari, hingga Gerakan Reformasi 1998.

Sebagai anak kecil yang baru lahir dan tumbuh, Indonesia pun mengalami beragam perubahan konstitusi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Yudi Latif bahwa saat ini Indonesia berada di bawah Republik Indonesia ke lima. Republik Indonesia pertama dengan Konstitusi Proklamasi (UUD 1945 asli); Republik Indonesia kedua dengan Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat, pasca kesepakatan Konferensi Meja Bundar 1949); Republik Indonesia ketiga dengan UUDS 1950; Republik Indonesia keempat setelah Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 (dengan kembali pada UUD 1945 asli); dan Republik Indonesia kelima dengan Konstitusi (yang bisa dikatakan “baru”) hasil serangkaian amandemen secara luas terhadap UUD 1945 asli (1999-2002) (Yudi Latif, Ibid).

Melihat serangkaian peristiwa besar dan usia yang sudah beranjak, maka wajar sekiranya ada upaya untuk merawat bangsa ini untuk menjadi lebih dewasa, yakni fase yang lebih matang baik secara fisik (material) maupun mental (spiritual) nya. Yang oleh Romo Mangun bahwa sudah saatnya masyarakat Indonesia untuk lebih mendengarkan saran para tokoh bangsa sendiri, bukan asupan dari luar, seperti Soetan Sjahrir yang berharap bahwa Indonesia akan mengalami fase kedewasaan berfikir dan bercita-rasa, yang ujung pangkalnya adalah sikap mendewasakan kemanusiaan, yang berkonsekuensi pada pencapaian keadaan kemanusiaan dimana ia tidak perlu lagi diperintah dan dipaksa, apalagi ditindas dan dihisap, dan bangsa ini haruslah meninggalkan politik burung unta atau cara-cara terhadap anak-anak kecil dengan menakut-nakuti bangsa dengan hantu-hantu bikinan sendiri (Soetan Sjahrir, 1982).

Dan yang diperlukan oleh generasi muda sekarang dan mendatang bukanlah pembakuan statis institusi – institusi historis, tetapi dinamika yang lebih baru lagi daripada Orde Baru, dan yang sudah menyembuhkan diri dari penyakit kanak-kanak semua dan setiap sistem yang pernah dicoba di dalam perjalanan sejarah. Asal tetap berpegangan pada Mukadimah UUD 45 (Mangunwijaya, 1996).

Sekarang sudah saat nya mendewasakan diri dalam berbangsa dan bernegara dengan memahami prinsip “Lex Agendi lex essendi” (hukum berbuat adalah hukum keberadaan), yakni disaat ada tekad untuk mempertahankan nilai-nilai dasar, tetapi disaat yang sama harus ada sikap untuk beradaptasi dalam melihat perubahan jaman (Mangunwijaya, 1998), karena itu sudah menjadi keharusan bagi bangsa Indonesia untuk menjaga nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan keutuhan NKRI.

Tapi nilai-nilai ini juga harus berkorespondensi dengan kondisi kekinian, bahwa terjadi gerak transformasi masyarakat pasca reformasi 1998 menuju alam yang lebih demokratis dan terbuka serta mengalami percepatan budaya (Dromologi Budaya); yaitu percepatan tempo kehidupan/kultural, yang percepatan ini tak lepas dari perkembangan teknologi, terutama teknologi informasi (Yasraf Amir Piliang: 2014). Yang tak sedikit, era demokrasi di republik ini malah menciptakan anomali-anomali baru di kehidupan berbangsa, sehingga perlu diingatkan kembali dengan cara merawat kedewasaan berbangsa di momen kemerdekaan kali ini.

 

Demokrasi Kita

Banyak pemimpin dan cendekiawan menegaskan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang paling canggih, serta mampu menciptakan keharmonisan antara pemerintah dan warganya. Demokrasi memberdayakan warga negara dengan hak menilai dan memilih kandidat akan menjadi pemimpin terbaik mereka di masa depan. Dengan cara ini, rakyat mempertahankan pengaruh dalam menentukan kebijakan pemerintah.

Namun, terkadang demokrasi dapat menyesatkan, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Indonesia mengadopsi sistem pemilihan langsung setelah gerakan reformasi dimulai pada tahun 1998. Rakyat Indonesia mengadakan unjuk rasa dan demonstrasi memprotes rezim Orde Baru yang kemudian menurunkan presiden Soeharto.

Setelah jatuhnya Soeharto, demokrasi Indonesia diterapkan tidak sesuai tujuannya. Yaitu mengarah ke salah tafsir bahwa demokrasi semata-mata demi kepentingan terbaik dari kelompok mayoritas, dan kurang peduli menegakkan dan memperjuangkan kebenaran, yang tertuang di dalam konstitusi negara.

John Locke (1996) mempercayai pentingnya bentuk pemerintahan yang demokratis, beliau menolak dengan tegas bentuk pemerintahan Tirani dimana penguasa tunggal menjadi pemegang kedaulatan. Namun, untuk menghindari bentuk demokrasi yang mengarah ke mobokrasi (pemerintahan oleh gerombolan banyak) yang cenderung merusak dan tidak terkontrol. Locke menekankan pentingnya aspek hukum. Hukum menurut Locke bukanlah paksaan dari satu pihak yang berkuasa, tapi lahir dari kesepakatan/kontrak sosial yang setara (egaliter) dan secara sukarela dan penuh kesadaran oleh masyarakat tanpa tekanan/paksaan.

Dari kontrak sosial ini kemudian masyarakat bersepakat patuh dan taat pada kontrak (konstitusi) yang telah disepakati, yang kemudian menjadi landasan untuk membentuk yang namanya institusi (baca: pemerintahan) yang mengatur dan melindungi hak serta kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat tadi.

Namun berbeda pandangan, Hobbes (1651) lebih menganggap pemerintahan itu harus tunggal. Locke menolaknya dengan anggapan bahwa ini bisa menjadi bentuk pemerintahan yang tiran, kemudian Locke menyarankan pemisahan (separation) pemerintahan, yaitu Legislatif dan Eksekutif.

Kemudian, bagaimana dengan konteks Indonesia. Indonesia yang menerapkan demokrasi langsung pasca orde-baru menghadapi tantangan yang semakin rumit dalam penerapan demokrasinya, silih berganti berita konflik baik horizontal dan vertikal terjadi di era penuh keterbukaan dan kebebasan ini.

Demokrasi Indonesia, meminjam terminologi Aristoteles adalah sistem masyarakat yang bukan demokrasi tapi mobokrasi/okhlokrasi. dimana pemerintahan terbentuk atas gerombolan banyak/mayoritas, yang kemudian menjadi landasan oleh pelaksana negara bahwa suara atau kepentingan mayoritas adalah kebenaran, dan pasti berdampak merugikan bagi minoritas.

Sistem mobokrasi berkonsekuensi pada rusaknya tatanan bernegara dan bermasyarakat, dimana masyarakat yang menganggap dirinya mayoritas dan banyak tadi adalah penguasa atas pihak di luarnya yang minoritas dan berhak bertindak sewenang-wenang, begitu pula negara/pemerintah akhirnya mengiyakan perbuatan demikian karena menjaga suara pemilih dari kelompok/gerombolan mayoritas. Mobokrasi lahir akibat tidak dipatuhinya konstitusi (kontrak sosial) oleh masyarakat dan institusi negara pun tidak berusaha menjalankan dan menegakkannya.

Praktek kontra-produktif yang melibatkan politik uang, menyebarkan desas-desus tidak benar/kampanye hitam, dan mempertahankan sistem patron-klien telah mengakibatkan pemilih memilih pemimpin mereka berdasarkan ikatan emosional (irasionalitas) daripada rasionalitas. Ikatan emosional berdasarkan agama, etnis, suku, budaya dan keluarga telah menjadi pertimbangan utama pemilih Indonesia. Visi-misi dan platform kebijakan oleh kandidat menjadi kurang penting. Emosi telah mengalahkan meritokrasi. Begitu banyak calon pemimpin atau caleg menggunakan taktik kampanye negatif menarik perhatian pemilih. cara ini biasanya menghasilkan pemimpin buruk dan akhirnya menghasilkan kebijakan yang buruk.

 

Oligarki dan Politik Identitas (Rasial)

Selain itu kekurangan demokrasi Indonesia ada pada aspek oligarki dan sentimen politik identitas. Tesa ini diawali oleh pendapat Huntington yang mengkritisi pandangan Fukuyama bahwa dunia akan disatukan oleh pandangan demokrasi-liberal pasca keruntuhan kekuatan utama blok timur (Komunis) Uni Sovyet, tapi menurut Huntingon pandangan itu keliru, karena konflik antar ideologi akan bergeser menjadi gesekan peradaban (identitas) (Clash of Civilization), misalnya antara dunia Barat dan dunia Islam.

Tapi pandangan Huntington ini dianggap tidak masuk akal oleh Edward Said, dan mengkritisinya dengan membuat artikel bertema gesekan kebodohan (Clash of Ignorance), bahwa tesa akan terjadi gesekan peradaban (identitas) dirasa tidak masuk akal, ditengah dunia yang semakin modern, rasional dan terintegral satu sama lain.

V Hadiz menganggap politik identitas tidak lebih dari upaya oligarki (kekuasaan oleh sekelompok orang) untuk mempertahankan hak istimewa ekonomi dan bisnis mereka, terutama menggunakan identitas sebagai legitimasi infrastruktur untuk menjaga kondisi privilege. Hal ini senada dengan pemikiran Airlangga Pribadi, bahwa perjuangan meraih kekuasaan di era demokrasi seringkali terjadi peristiwa menggunakan identitas sebagai dalih pembenaran untuk memenangkan persaingan ekonomi antar kelompok oligarki. Pandangan politik identitas (rasial) menurut Slavoj Zizek (2011) tak lebih dari usaha kapitalis untuk memperbesar pengaruhnya dengan menggunakan isu identitas untuk menguasai sumber daya alam dan ekonomi.

Menurut William Liddle (2009), demokrasi Indonesia sedang memasuki era kenaifan dan ketidakdewasaan, disaat semua orang menghargai demokrasi, namun tidak ada kritik apapun disaat demokrasi ini malah menaikkan terpilihnya partai politik dan pemimpin yang tidak memiliki akuntabilitas dan kredibilitas atas amanah para pemilih, yang malah sering diselewengkan untuk kepentingan sekelompok orang terpilih yang berkuasa (oligarki). Dan ironisnya lagi, oligarki tidaklah menolak demokrasi, melainkan memanfaatkan demokrasi untuk melapangkan kepentingan kelompoknya (Jeffrey Winters, 2011), maka lengkaplah kondisi buruk demokrasi Indonesia ketika oligarki ditataran elit bergandengan tangan dengan mobokrasi di tataran akar rumput.

Maka perlu ada refleksi mendalam dari kemerdekaan Indonesia di usia ke 72 ini, selain untuk merawat kedewasaan dan juga merawat memori kritis di dalam benak kita, apakah masa demokrasi terbuka Republik Indonesia saat ini mewujudkan cita-cita Pancasila yang memperjuangkan prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi Kerakyatan dan Keadilan, atau malah sebaliknya, yaitu prinsip Keiblisan, Perpecahan, Demokrasi oleh kelompok elit dan kebodohan serta ketidakadilan sosial. Semoga kedepan Indonesia mewujud sebagaimana yang disampaikan oleh pidato Presiden Joko Widodo dalam memperingati 72 tahun Indonesia merdeka: semakin berkesejahteraan, berkeadilan dan berkemanusiaan.

Merdeka !!

 

Oleh: Muhammad Dudi Hari Saputra, MA.

Alumni S2 Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada – Yogyakarta dan Staf Ahli Kementerian Perindustrian Republik Indonesia

Email: dudisaputra@gmail.com

Muhammad Dudi Hari Saputra
Muhammad Dudi Hari Saputra
Lecturer at Kutai Kartanegara University and Former Industrial Ministry Special Analyze
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.