Senin, Oktober 7, 2024

HUTRI72- Merawat Kebhinekaan demi Kemerdekaan

Wiwied Widya
Wiwied Widya
Blogger. Ex-journalist

Perayaan HUT RI ke-72 di istana. Para tamu undangan, termasuk Presiden dan mantan presiden mengenakan pakaian adat sebagai wujud penghargaan terhadap kebhinnekaan. (credit photo: tribunnews.com)Baru kali ini saya merasa begitu terharu saat menyaksikan upacara peringatan HUT RI  yang disiarkan televisi.  Sungguh, tidak pernah terbayangkan saya bakal meneteskan air mata menyaksikan siaran lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan mengiringi pengibaran bendera merah putih di Istana. Bukan semata karena seremoninya, tapi karena ada warna lain yang menghiasi  upacara peringatan HUT RI ke 72 ini.

Ya, itu karena semua undangan yang hadir memakai pakaian adat dari seluruh Indonesia. Rangkaian upacara HUT Kemerdekaan memang hampir selalu sama setiap tahunnya. Kesan upacara tahun ini terpatri begitu dalam pada diri saya bukan semata karena apa yang ditampilkan secara langsung. Tetapi pada kuatnya pesan yang tersirat dari rangkaian kegiatan itu. Dan semua itu terbangun karena pakaian adat yang dikenakan para petinggi Negara.

Sebangga-bangganyakita pada Indonesia. Secinta-cintanya kita pada Tanah Tumpah Darah yang bernama Indonesia. Kita harus sadar dan mengakui,  Negara kita, saat ini, tidak masuk dalam daftar kekuatan utama ekonomi atau militer utama di percaturan internasional. Dalam bahasa halus, ada yang menyebut Indonesia sebagai Negara berkembang, Negara dunia ketiga. Dalam bahasa sarkastis, ada juga yang menilai Indonesia adalah Negara miskin atau terbelakang.

Sebagai anak bangsa tentu kita tidak rela dengan sebutan itu. Tetapi apa mau dikata, fakta, sejauh diukur dengan parameter yang diakui satu dunia saat ini, itulah memang yang terjadi.  Tingkat kesejahteraan masyarakat kita belum setinggi Negara maju. Penyelenggaraan Negara kita belum serapi Negara Negara kekuatan ekonomi utama dan militer dunia. Tingkat kedisiplinan, etos kerja, tata kelola pemerintahan daerah, tata kelola kota, dan dalam banyak segi lainnya kita masih kalah.

Bahkan, sekarang kita terasa kedodoran menjaga beberapa hal yang menjadi potensi dasar dan dulu mendapat pujian dunia. Seperti; kemampuan membangun persatuan dalam kemajemukan; kekuatan membangun toleransi dalam perbedaan agama dan  suku, serta golongan; membangun kehidupan yang selaras dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki;  serta tingginya daya cipta untuk membangun budaya dan kesenian yang indah.

Jika potensi dasar itu benar-benar tergerus, maka dengan berat hati kita harus merelakan Indonesia bakal benar-benar tenggelam. Secara kedaulatan Negara, kita mungkin masih akan memiliki wilayah, penduduk, dan pemerintahan. Tetapi potensi Indonesia untuk bisa bersaing dan berada di deretan Negara berpengaruh di muka bumi bakal semakin tipis. Dan kita tidak akan beranjak dari posisi bangsa-pengekor atau Negara sasaran pemasaran produk Negara maju.

Di tengah ketatnya persaingan negara-negara di dunia saat ini. Keputusan Pemerintahan Presiden Jokowi mengizinkan –atau mungkin mewajibkan- para petinggi Negara dan tamu undangan mengenakan busana adat dari seluruh Nusantara saat upacara HUT Kemerdekaan RI ke-72 terasa menyejukkan, tetapi sekaligus menyentak.

Bagi saya, menyaksikan para petinggi Negara dan mantan presiden mengenakan pakaian adat, menghadirkan nuansa damai dan sejuk di tengah panasnya silang sengkarut politik yang selama ini terjadi. Ada rasa bangga luar biasa saat menyadari sedemikian kayanya Indonesia, padahal baru dilihat dari satu sisi, pakaian adatnya. Pada saat yang sama, muncul kebanggaan pada diri saya, karena -meski ibarat debu-, merasa menjadi bagian dari bangunan besar yang mempersatukan semua kekayaan itu.

Inilah hebatnya Pancasila yang oleh para pendiri bangsa dijadikan ideologi, dasar negara, atau saka guru Negara bernama Indonesia. Pancasila yang disarikan dari nilai-nilai dasar para leluhur Nusantara terbukti mampu mempersatukan semua kebhinekaan berikut potensi yang dimiliki warga Nusantara. Pancasila membuat Negara kita mampu merangkum semua keragaman dan kekayaan tanpa harus memusnahkan. Pancasila, hingga saat  ini, terbukti mampu membuat Indonesia kuat menghadapi berbagai goyangan.

Dalam beberapa tahun belakangan, saya kerap sedih dengan banyaknya wacana atau gerakan yang mempertanyakan, menggoyang , dan ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Saat Pancasila sebagai dasar Negara dipermasalahkan, hampir bisa dipastikan,  hal-hal fundamental atau  simbol Negara yang lain, seperti UUD, NKRI, filosofi dasar Bhineka Tunggal IKa, lambang Negara, bahkan bendera Negara juga disoal.

Dampak dari semua itu sangat terasa di masyarakat. Bangsa Indonesia yang  dulu hidup dengan damai dalam perbedaan mulai terpengaruh. Nilai-nilai toleransi terkikis. Orang atau sekelompok orang, dengan mudahnya menuding pihak lain salah, lebih rendah, bahkan kafir dan berdosa, karena memilih agama atau hal lain yang berbeda dengan diri dan kelompoknya. Kekerasan demi kekerasan dengan latar belakang perbedaan pandangan politik, agama, dan kelompok meletus. Media, terutama media sosial, tidak hanya berhias pernyataan bernada saling menjelekkan. Tetapi sudah berisi hinaan, fitnah, caci maki, dan saling ancam. Siapapun, mulai dari pengangguran, karyawan rendahan, hingga tokoh agama, malah Presiden sekalipun, bisa jadi sasaran.

Pada bagian terdahulu dari tulisan ini, saya menyatakan selain merasa sejuk melihat para petinggi mengenakan busana adat, juga merasa tersentak. Ya, tersentak karena sadar, jika Pancasila dan potensi dasar yang dimiliki Nusantara, termasuk keragaman budayanya lenyap, maka terancam semakin “keras” dan “keringlah” hidup kita. Dan bakal semakin terpuruklah kita di percaturan dunia.

Saya menempatkan penggunaan pakaian adat di upacara HUT RI ke-72 pada posisi yang tinggi dalam penilaian pribadi, karena hal itu menjadi wujud penerapan nilai-nilai Pancasila di kehidupan sehari-hari. Para petinggi Negara sedang menjalankan perannya sebagai pemberi contoh dan pendidik masyarakat dalam merawat kebhinekaan dan keragaman budaya sebagai potensi dasar Indonesia. Tentu saja, “jabatan” sebagai pendidik dan pemberi contoh ini hanya saya sematkan kepada para petinggi yang tulus dan benar-benar merasa cinta saat mengenakan busana adatnya.  Bukan pada para pembesar bermuka dua yang berbusana adat tetapi dalam hatinya mengutuk busana yang dikenakan, atau malah mengutuk Pancasila. Bukan hal yang aneh jika pembesar tipe seperti ini bisa menipu diri dan orang lain asal tujuannya tercapai. Saya hanya berdoa semoga mereka tidak terkena kutuk dari para leluhur.

Merawat kemerdekaan, pada hakikatnya, adalah merawat potensi yang dimiliki Indonesia. Mulai dari luas wilayah, jumlah penduduk, kekayaan alam, hingga ideologi dan kebhinekaan yang terbukti membuat kita kuat dan besar. Maka, keputusan Pemerintahan Presiden Jokowi menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, diikuti dengan pembentukan lembaga yang bertanggungjawab untuk membumikan nilai-nilai Pancasila patut diapresiasi. Keputusan-keputusan lain, seperti arahan agar masyarakat mengibarkan bendera Merah Putih sebulan penuh selama Agustus, instruksi untuk memeriahkan peringatan HUT Kemerdekaan di semua kelompok masyarakat, dan penggunaan pakaian adat dalam upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-72 di Istana Negara adalah langkah-langkah ikutan yang juga patut diacungi jempol.

Hanya pemerintahkah yang hebat? Tentu saja tidak, yang jauh lebih hebat adalah masyarakat Indonesia. Pemerintah boleh saja membuat keputusan macam-macam atau memberikan instruksi agar masyarakat melaksanakan kegiatan untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan RI. Tetapi kalau masyarakatnya acuh, tentu saja gregetnya tidak akan semeriah saat ini. Saya kok yakin, selama Republik Indonesia ada, tanpa harus diinstruksikan atau diminta, masyarakat bakal dengan sukarela menggelar perayaan HUT Kemerdekaan RI.

Dalam kondisi seperti itu, fungsi pemerintah sebenarnya sekadar memberikan arahan, lebih bagus lagi, contoh agar rangkaian perayaan di semua wilayah Indonesia itu memberi manfaat nyata. Baik dalam hal merawat potensi dasar yang dimiliki negeri ini, maupun dalam hal membangun rasa bangga masyarakat terhadap Negara dan pemimpinnya. Dampak lanjutannya terbangun sinergi yang semakin kuat untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yakni membentuk masyarakat yang adil, makmur, aman, dan damai dalam naungan kebhinekaan . Itulah nilai-nilai kemerdekaan yang sejati. Sehingga merawat kemerdekaan, pada hakikatnya hanya akan menjadi bualan atau omong kosong, jika tidak menempatkan cita-cita kemerdekaan pada posisi yang tertinggi.

Republik Indonesia lahir sebagai bentuk persatuan dari ribuan pulau yang di dalamnya hidup manusia berbeda suku, agama, budaya, keyakinan, golongan, dan warna kulit. Mereka menyepakati Pancasila, UUD 45, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, sebagai perekat dan penjamin agar kehidupan dalam keberagaman bisa terselenggara dengan baik.  Pulau dan laut yang menyatukan ribuan pulau itu,  menyimpan potensi kekayaan alam luar biasa. Semestinya, kekayaan itu diolah dan digunakan secara terukur, bertanggungjawab, dan adil untuk kesejahteraan dan menjamin kehidupan warga negara Indonesia selama-lamanya.  Tanpa hal itu, merawat kemerdekaan pada satu saat hanya akan dianggap slogan omong kosong dan kehilangan kesaktiannya untuk menjamin Republik ini tetap ada.

Wiwied Widya
Wiwied Widya
Blogger. Ex-journalist
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.