Jumat, April 26, 2024

HUTRI72-Menjadi Religius yang Nasionalis

HUTRI72-Menjadi Religius yang Nasionalis

“Sekarang, Bung. Malam ini. Mari kita kobarkan revolusi hebat malam ini juga,” kata Chairul Saleh, salah satu anggota Gerakan Angkatan Baru. Pada 15 Agustus 1945, pukul 10 malam usai Jepang menyerah kepada sekutu. Sekelompok pemuda mendesak Soekarno memproklamasikan kebebasan bangsa dari penjajahan.[1]

Gerakan Angkatan Baru ini ingin Indonesia merdeka secepatnya atas kekuatan sendiri, bukan bantuan Jepang atau pemberian Belanda. Angkatan Baru terdiri atas beberapa orang yang menjadi pengurus. B.M. Diah sebagai ketua, dan anggotanya adalah Chaerul Saleh, Supeno, Harsono Tjokroaminoto, Wikana, Sukarni, dan Asmara Hadi.

Namun Soekarno menolak. Bagi dia, terlalu riskan memproklamasikan kemerdekaan tanpa persiapan matang. Ia memilih mengundur hari, menghindari pertumpahan darah di pelosok Nusantara. Soekarno menawarkan kepada pemuda pada 17 Agustus.

“Tujuh belas angka suci. Pertama, kita dalam bulan suci Ramadan, waktu kita berpuasa sampai Lebaran. Mengapa Nabi Muhammad memerintahkan 17 rakaat, bukan 10, atau 20? Karena kesucian angka 17 bukan buatan manusia,” kata Soekarno, seperti yang dikutip dari buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karangan Cindy Adams.

Meski diberi penjelasan,  namun kelompok pemuda itu tak puas. Mereka menculik Soekarno dari rumahnya di Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, Kamis subuh. Mereka membawa Soekarno dan Hatta beserta keluarganya ke Rengasdengklok, kecamatan yang letaknya sekitar 20 kilometer ke arah utara Karawang.

Kamis pagi, Ibu Kota gempar lantaran Soekarno-Hatta menghilang. Pukul 10 pagi, seharusnya ada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia membicarakan susunan kata-kata dari naskah proklamasi. Lewat negosiasi yang alot, singkat kata, Soekarno dan Hatta dilepaskan.

Pada Jumat dini hari, 17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta menggelar rapat di rumah Laksamana Muda Tadashi Maeda, yang bersimpati kepada perjuangan Indonesia. Berbekal nasi goreng, roti telur, dan ikan sarden untuk teman sahur, rapat semalam suntuk itu berakhir.

Para pemimpin memutuskan proklamasi dikumandangkan di halaman rumah Soekarno pukul 10.00 pagi. Tentara Peta berjaga-jaga siap melawan jika ada serangan dari serdadu Jepang. Upacara proklamasi itu tanpa protokol. Tidak ada yang ditugaskan, tidak ada persiapan, dan tanpa rencana. Di tengah aktivita menjalankan ibadah puasa,

Sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia yang bersamaan dengan bulan Ramadhan menandakan menjadi nasionalis bukan berarti bertentangan dengan religiusitas yang diyakini. Para bapak bangsa tetap semangat memperjuangkan kemerdekaan di tengah menahan lapar karena berpuasa.    Apalagi setelah melihat penderitaan rakyat di zaman penjajahan, bebas dari penjajahan merupakan harga mati.

*****

Agustus 2012 yang lalu, saya sempat berbincang dengan Alwi Shahab, sejarahwan Betawi. Meski menjelang kemerdekaan Abah Alwi masih berusia sembilan tahun, dia ingat betul suasana Ibu Kota sebelum proklamasi. Agustus 1945, bertepatan dengan bulan puasa Ramadan 1367. Menurut wartawan senior itu, keadaan warga benar-benar susah. Pada periode akhir kependudukan Jepang, kelaparan di mana-mana. Semua bahan pangan diangkut ke Negeri Sakura untuk bekal perang.

Baju yang dikenakan banyak tambalan. Sebagian warga memakai karung goni berkutu yang disulap menjadi sarung. Ada juga yang memakai plastik bercap untuk membalut tubuh. Penduduk sulit membeli beras. Untuk sahur dan berbuka puasa, rakyat terpaksa makan singkong hingga kulitnya. Banyak juga yang makan daun-daunan.

Meski hidup berat, kata Abah Alwi, penduduk tetap semangat berjuang merebut kemerdekaan. Tak ada kata malas-malasan. Termasuk beribadah. Salat tarawih dijaga militer sudah lazim. Ada masyarakat sipil yang dilatih militer oleh Pembela Tanah Air (PETA), organisasi bentukan Jepang. Militer sipil ini yang menjaga keamanan kampung sehari-hari, bahkan saat beribadah.

Semua agama bersatu, berjuang bersama menjaga keamanan dan merebut kemerdekaan. Sipil didikan PETA ini mayoritas menggunakan bambu runcing sebagai senjata. Beberapa ada yang menggunakan pistol rampasan dari Jepang, tapi Alwi tidak yakin mereka bisa menggunakan senjata itu. Abah Alwi berkisah komandan PETA yang menjaga kampungnya, bahkan saat ibadah Ramadhan, merupakan orang Nasrani.

Artinya, mengupayakan kemerdekaan Indonesia memerlukan persatuan lintas agama dan etnis.  Tentu saja hal ini juga mesti dilakukan saat ini, untuk merawat kemerdekaan.

Namun sayangnya, masalah agama menjadi pemecah belah bangsa Indonesia saat ini. Orang tak lagi saling menghormati dan nasionalisme dinilai omong kosong hanya karena dianggap tidak sesuai dengan pemahaman agama. Menjadi nasionalis dirasa kurang religius. Konsensus bersama seperti Pancasila dan UUD 45 dianggap tak layak, tak berdalil.

Lantas mereka memaksa pendapatnya untuk diyakini orang lain. Berusaha agar konstitusi diganti. Padahal, menurut saya, Pancasila dan UUD 45 merupakan jalan tengah terbaik di tengah beragam etnis, suku, dan agama di Indonesia. Dalih mereka, para pahlawan yang memerdekakan Indonesia berasal dari kelompok agama tertentu jadi layak mempunyai previlege khusus di negeri ini.

Mereka seolah lupa, pejuang yang mempertaruhkan kemerdekaan Indonesia tak hanya berasal dari satu agama, etnis yang tunggal, atau golongan tertentu. Memang alasan saya klise, bila semua kelompok ingin keyakinanya menjadi dasar hukum utama lantas bagaimana nasib nusantara. Perang saudara meruntuhkan kemerdekaan, dan perjuangan pahlawan jadi percuma.

Sejatinya menjadi religius tak perlu harus menghilangkan kecintaan pada tanah air Indonesia. Agama memiliki peran mewujudkan masyarakat yang beradab. Sementara nasionalisme menjadi payung segenap rakyat dengan agama yang majemuk. Agama dan nasionalisme justru bisa berjalan beriringkan mewujudkan bangsa yang tanpa penindasan, baik dari dominasi mayoritas maupun tirani minoritas.

Merawat kemerdekaan saat ini dengan cara mengutamakan kepentingan segenap elemen bangsa di atas perbedaan. Bisakah kita menjaga nama besar Indonesia di atas segala perbedaan? Itu yang kita perjuangkan. Perpecahan atas nama keyakinan justru mengembalikan posisi di zaman peperangan. Tak ada golongan yang berniat memusuhi kelompok lain atas dasar agama, kecuali mereka yang ingin Indonesia  tinggal nama. Inilah yang perlu diperangi.

Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri,” kata Soekarno.

#HUTRI72 #Proklamasi #Indonesia #Merdeka

[1] Ahmad Soebardjo (1978). Lahirnya Republik Indonesia. Jakarta: Kinta

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.