Selasa, April 30, 2024

HUTRI72-Mencari Kemerdekaan yang Hakiki

bustan
bustan
Nama: Bustanul Iman Tempat/Tanggal Lahir: Pemalang, 02 Juli 1985 Alamat: Perum D' Palm Residence. jl. Ujung Aspal, Kampung Rawa Geni. Kecamatan Cipayung, Kota Depok aktivitas: Peneliti di Lembaga Nusantara Centre

HUTRI72 – Mencari Kemerdekaan yang Hakiki

 

Kemerdekaan hadir sepenuhnya ketika ketakutan tak lagi ada. Di lain sisi, kecemasan juga membuntuti jika ketiadaanya turut serta sebagai bagian dari “kemerdekaan”.  Kecemasan, bahkan ketakutan  itu  hadir bisa jadi karena sebab yang tak sejalan dengan kemerdekaan yang telah dicita-citakan.

“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

Pembukaan UUD 1945 sangat memukau. Ia menjadi spirit harapan untuk mengarungi kehidupan pada masa-masa yang akan datang. Sebab, masa dimana kolonialisme beroprasi secara langsung (melakukan ekspansi dan pendudukan), kecemasan dan ketakutan menghantui seiring nafas.

Itu sebabnya, ketakutan dan kecemasan memasukan sukma; jiwa dan pikiran ke dalam tempurung. Penjara gelap kolonial.  Sehingga, untuk memandang jauh ke depan sulit untuk ditempuh. Pada gilirannya, untuk menemukan jati diri sebagai bangsa yang mandiri, tanpa penundukan terhalang oleh terbatasnya ruang. Gelap, kesadaran tak kunjung muncul. Tertidur lelap, siuman menjadi sesuatu yang sulit.

 Kedaulatan dalam Tafsir

Pada saat yang sama, refleksi tentang “terminologi” merdeka pernah dilakukan oleh seorang Tan Malaka. Sosok pahlawan yang dalam sebagian perjalanan hidupnya menanggung sepi. Di ujung kisah hidupnya, berakhir di ujung desing peluru. Jazadnya masih kontroversi. Jika saja tak ada peneliti Belanda, Harry Poeze yang menelusuri hidupnya. Mungkin tabir gelap tak tersingkap bagaimana kisah hidupnya berakhir.

Barangkali itu tak hanya sebatas refleksi, namun kritik fundamental atas bagaimana merawat kemerdekaan, itu ditujukan pada pola kepemimpinan Soekarno-Hatta. Yang pada waktu itu memimpin.  Walaupun mereka saling kenal, bahkan berteman baik.

Perjanjian Linggarjati pada tahun 1946 dilakukan untuk berdiplomasi dengan Belanda. Sebab, ia tak mengakui “kemerdekaan” yang  telah dideklarasikan. Tentu saja, karena saat itu Jepang-lah yang memberi isyarat kemerdekaan atas Indonesia. Dari hasil kesepakatan, wilayah Indonesia terdiri dari Jawa, Sumatera dan Madura. Yang membuat murung sebagian anak bangsa adalah menjadi persemakmuran dengan Belanda.

Kendati demikian, hasil perjanjian yang telah disepakati, dihiraukan oleh Belanda. Sehingga perselisihan tak dapat dihindarkan.  Meletuslah agresi militer Belanda I. Singkatnya, perjanjian kedua pun dilakukan. Tepatnya di atas geladak kapal, dan peristiwa itu dikenal dengan perjanjian  Renville. Isi perjanjian itu cukup mencengangkan. Hanya wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera yang diakui secara de facto oleh Belanda.

Lagi-lagi, Belanda mengingkari isi perjanjian yang telah disepakati. Sehingga, dengan jalan agresi militer Belanda II serangan dilakukan ke arah Yogyakarta. Ibu kota Negara saat itu.

Atas dasar itulah, melalui Gerpolek (Gerilya-Politik dan Ekonomi) “buku yang ditulisnya” pada tahun 1948, Tan Malaka mengemukakan pandangannya. Sekaligus kritik atas sikap kompromistis Soekarno-Hatta terhadap kolonial.

Dengan gigantik, ia menyampaikan premis-premisnya. Membagi menjadi dua musim revolusi. Pertama, adalah musim jaya berjuang. Kedua, adalah musim runtuh berdiplomasi. Baginya, musim jaya berjuang terletak pada momentum Proklamasi. Sebagai manifesto awal menatap hari-hari depan. Musim runtuh berdiplomasi, terletak pada musim berunding. Sebab, sebagai akibat perundingan sebagian wilayah menciut. Terbelah dan terbagi-bagi.

Tan Malaka menawarkan bagaimana strategi merawat kemerdekaan. Tentu saja, hal itu sebagai jalan musim jaya berjuang. Tawaran itu berlabuh pada konsep “merdeka 100%”. Baginya, jalan itu sebagai pilihan alternatif. Ide yang patriotik. Gerilya dan tak bergeming dengan perundingan. “Sang Gerilya adalah ia yang taat-setia kepada Proklamasi dan kemerdekaan 100%” tegas Tan malaka dalam Gerpolek yang ditulisnya.

Terbelahnya sebagian wilayah Indonesia sebagai bentuk musim runtuh berjuang. Sebab, menurutnya, indikator kedaulatan adalah tapal batas. Jika rapuh dan terkoyak, maka kemerdekaan itu tak menemukan kesempurnaan. Sebagai negara “merdeka”, saat itu,  masih dirundung ketakutan dan kecemasan. Dan nyaris terdesak berada di tepi jurang. Terjatuh dan lenyap dari keberadaanya.

 Spirit dari Tahun ke Tahun   

Kini, sudah 72 tahun lalu Proklamasi menggema. Kita memperingatinya. Kita menyebutnya dengan “revolusi”. Beda ruang waktu, mungkin akan berbeda cara merefleksikannya. Jika masih pada konteks menegasikan kolonialisme, maka pembahasan ini tak akan habis-habis. Sebab, kolonialisme terus-menerus ada. Ia mewariskan karakter. Dan mencipta asosiasi dan agensi sebagai kontrol dan kepanjangan tangan.

Sebagai Negara postkolonial, momen kemerdekaan melalui (proklamasi) mesti dijadikan bahan evaluasi. Sejauh mana kita sebagai bangsa dan negara mereduksi bahkan menghilangkan ketakutan dan kecemasan. Sehingga kemerdekaan selalu hadir menyelimuti. “Never ending colonialism” adalah kewaspadaan yang harus selalu ditanamkan.

Kemerdekaan Kini, Esok dan Masa yang Akan Datang

Sebelum kesana, mari kita buka karya penyair termasyhur  Raden Ngabehi Ronggowarsito.   Serat Kalathida yang ditulis sekitar 1860.  Dalam gubahan yang berbentuk “macapat” (tembang atau puisi tradisional Jawa). Ia  merangkai pesan di sebagian baitnya, ;

Versi Bahasa Jawa:                                                                                          Versi Bahasa Indonesia:

amenangi zaman edan                                                                                  menyaksikan zaman gila

ewuhaya ing pambudi                                                                                   serba susah dalam bertindak

melu ngedan ora tahan                                                                                 ikut gila, tidak akan tahan

yen tan melu nglakoni                                                                                   tapi jika tak mengikuti

boya keduman melik                                                                                      kelaparan pada akhirnya.

kaliren wekasanipun

 

Dalam bait gubahan  diatas, sepertinya tak berlebihan jika kita coba refleksikan. Baru-baru ini, gini ratio direlease oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam kurun waktu 2016/2017, data yang muncul Gini ratio berangsur menurun. Pada semester I bulan maret 2016, gini ratio secara nasional 0,397. Pada semester I bulan merat 2017, gini ratio 0,393. Grafik mengalami penurunan 0,004.  Gini ratio sendiri merupakan indikator tingkat ketimpangan.

Dalam spirit penghyatannya, Pancasila sebagai “Weltanscauung” tak menghendaki ketimpangan, dalam bentuk apapun.  “Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia” yang ia kehendaki. Walaupun ketimpangan itu kian menurun, ketimpangan tak dapat dibenarkan. Sebab, seakan-akan ketimpangan itu sebagai hal yang lumrah.

Di satu sisi, kasus korupsi penyelenggara Negara menambah deretan panjang persoalan dari sekedar  ketimpangan yang dikalkulasi secara statistik. Tercatat sepanjang tahun 2016, KPK melaporkan telah melakukan 96 kegiatan penyelidikan, 99 penyidikan dan 77 kegiatan penuntutan. Ditambah, dengan melakukan eksekusi terhadap 81 putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Minus APBN dari tahun ke tahun turut serta menegasikan prosentasi fluktuatif gini ratio. Ambivalensi atas nilai dan laku tindakan dalam kehidupan bernegara.

Kemerdekaan sebagai cita-cita bersama semestinya memberi jalan terang dan kesejukan di semua ruang anak bangsa. Jalan terang itu menepikan ketakutan dan kesejukan menghalau kecemasan. Sebaliknya, jika kemerdekaan hanya menjadi slogan kosong, tak ber ruh, tak berenergi. Maka, sama saja kemerdekaan itu tak dapat hadir di tengah kita. Kemerdekaan akan digantikan menjadi rasa takut dan kecemasan.

Kecemasan dan ketakutan itu hadir disebabkan oleh, (1). Pengaruh dari luar, dan (2).  Pengaruh dari dalam. Pengaruh dari luar menghampiri karena keterbukaan relasi antar Negara. Dari faktor persaingan bisnis dan perdagangan. Merebaknya produk luar dan sumberdaya manusia (expatriate) yang masuk, seakan gagap untuk bersaing. Ini disebabkan kurang serius mempersiapkan. “Proteksionisme” di berbagai lini agaknya rapuh dimana-mana. Tentunnya, kita akan menuai kekalahan.

Pengaruh dari dalam saling bersinggungan dengan faktor pengaruh dari luar.  Pengaruh ini disebabkan atas semua pengelolaan yang dilakukan penyelenggara Negara. Dengan absennya “melindungi segenap tumpah darah”. Sehingga kedepannya, memicu deras ketakutan dan kecemasan warga Negara.

Nampaknya, ulah para oknum penyelenggara Negara yang melibatkan diri dalam“abuse of power” meneguhkan posisi pengaruh dari dalam menjadi dominan. Sifat ini sangat jelas merupakan warisan dari karakter kolonial. Keluar bersifat “inferior”, ke dalam bersifat “greedy”. Sifat itu diterapkan dengan korupsi yang sistematis. Sebab, budaya korupsi pertama kali dilakukan oleh VOC, dan menghantarkannya ke jurang kebangkrutan.

Sikap inferior sebagai sifat dasar rasa “takut”. Dan pada gilirannya merubah watak menjadi “inlander”. Hal itu dicerminkan dengan kesepakatan-kesepakatan menghadapi multinational corporation, semacam Freeport. “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak” dalam pengelolaanya, tak kunjung menuai prestasi yang cemerlang. Itu sebabnya, minus APBN ditempuh dengan jalan Utang luar negeri.

Serakah (greedy) dalam roadmapnya, bermula ketika  menggapai tampuk kekuasaan. Jika boleh saya ibaratkan, proses mencapai itu nyaris tak ada bedanya dengan jaring-jaring makanan atau rantai makanan dalam ilmu lingkungan. Energi Pancasila kian pupus bahkan nyaris pada titik kesirnaan. Sebagai sebuah bangsa, pelapukan dari dalam menggerus hebat.

Sebagai sebuah rantai makanan, keberadaan “predator” berada pada posisi puncak kekuatan. Ia memangsa hierarki di bawahnya. Yang lemah akan menjadi akumulasi energi hierarki di atasnya.  Agak sedikit keras, kini politik predatoriat diterapkan. Etika kenegarawanan tereliminasi. Pada interaksinya, kekuatan capital turut meneguhkan. Melalui pengusaha-pengusaha, maaf… “hitam” merubah Negara menjadi korporatokrasi. Ia kuat berjejaring. Menghempaskan seluruh lini kekuatan Negara.

Bagaimana kita semua akan beranjak dari warisan sifat kolonial itu.  Menyongsong kemerdekaan yang sesungguhnya. Asap  hitam membumbung tinggi menjadi tabir yang mesti segera disibak.

Asketisme  mesti dimiliki seorang negarawan. Dalam konteks itu, kita mesti membuka kembali apa yang telah diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram. Filsuf Jawa yang tersohor. Baginya, dalam kehidupan faktor keinginan kerapkali menjadi pangkal dari munculnya masalah-masalah dalam kehidupan. Hal itu ia ajarkan dalam konsep ilmu kebahagiaan. Keinginan menimbulkan ketidakpuasan dalam muara kehidupan. Maka dari itu, sifat serakah akan dinegasikan dalam laku kehidupan.

Tak sebatas itu saja, ia memberi petuah tentang konsep “Kawruh Jiwa Kramadangsa”. Ajaran itu menuntun agar manusia faham akan kediriannya. Untuk apa dirinya ada. Dalam struktur Negara, konstitusi kita menempatkan siapa warga Negara. Dan siapa penyelenggara Negara. Jika sifat itu tertanam ,kecemasan dan ketakutan warga Negara tak menghampiri. Oleh sebab menerapka ajaran itu, kekuasaan tak membuat lupa diri dan gelap mata.

Jika semua selesai pada prinsip negarawan itu, masih ada harapan menyongsong  hari-hari esok. Mengurai semua problematik kebangsaan. Mobilisasi umum memercik semangat dekolonisasi.  Dengan belaian Pancasila dan semangat penghatannya, kita akan menjumpai arti sesungguhnya kemerdekaan. Kemerdekaan yang kini masih menyisakan hal-hal yang belum usai. Kemerdekaan yang masih  sebatas seremonial. Kosong ide dan gagasan revolusioner. Kemerdekaan yang melupa, bahwa kita sebagai bangsa telah mewarisi keagungan Nusantara.

Jadi, tak sebatas merawat kemerdekaan saja,  kedepannya kita akan mengkreasi bahwa dunia adalah bagian dari Indonesia, bukan sebaliknya.

bustan
bustan
Nama: Bustanul Iman Tempat/Tanggal Lahir: Pemalang, 02 Juli 1985 Alamat: Perum D' Palm Residence. jl. Ujung Aspal, Kampung Rawa Geni. Kecamatan Cipayung, Kota Depok aktivitas: Peneliti di Lembaga Nusantara Centre
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.