Rabu, Oktober 16, 2024

HUTRI72 – Kita Merdeka, Kecuali dalam Beragama (?)

Nanang Suryana
Nanang Suryana
Esais, tinggal di Bandung.

 

NEGARA merdeka adalah frasa yang dibangun di atas sebuah klaim politik. Karena, negara merdeka tak lain adalah sebuah jalan panjang pembebasan. Yang seringkali, juga penuh paradoks.

Lepasnya satu bangsa dari rantai kolonialisme, ternyata adalah awal dari dimulainya penciptaan beragam narasi besar. Sebuah proses produksi, atas beragam identitas dan kategori, yang seringkali pula bersembunyi dibalik banyak klaim. Klaim spiritualisme misalnya.

Yang masalah, klaim ini berlaku untuk siapa? Untuk “kita” sebagai warga inklusif? Atau untuk “kami” sebagai subjek eksklusif?

Dalam konteks ini, sukar secara jujur mengatakan merdeka adalah muara kebebasan. Pengalaman sejarah selama tujuh puluh dua tahun, nyatanya belum mampu benar-benar menghadirkan kebebasan pada banyak ruang hidup warga negara.

Tak pelak, merdeka nyatanya hanya menjadi jembatan antara: kolonialisme model lama, dengan marjinalitas sosial model baru.

Sejak reformasi bergulir, pedebatan relasi negara dan agama lebih didominasi oleh diskursus soal islam politik. Fakta sosial ini menjadi episentrum atensi publik. Soal lain, seolah hanya menjadi hidangan pembuka yang berfungsi mengantarkan pada menu utama. Bukan sesuatu yang penting, bahkan terlalu jauh untuk dapat disepadankan dalam ruang-ruang dialog di banyak panggung diskusi.

Soal eksistensi agama lokal, jelas terpinggirkan. Perdebatan tentang ke-Indonesiaan, jarang menyentuh aspek penghayatan spiritualitas masyarakat nusantara jauh berabad-abad kebelakang.

Seolah, lokalitas hanya dipandang dan berjangkar pada entitas kesukuan, etnisitas, dan hal-hal fisik lainnya. Sebagai produk  budaya, agama-agama lokal harus dijadikan referensi primer guna menjadi rujukan membetuk pengetahuan. Bagaimana identitas bangsa yang sekarang kita sepakati sebagai Indonesia, juga dibangun di atas penghayatan spiritualitas manusianya.

Alih-alih mendapat tempat, agama-agama lokal dewasa ini sedang berada di tubir jurang kepunahan. Tentu, orang bisa berkata kondisi ini adalah hukum besi perubahan. Namun, soalnya bukan pada keharusan untuk memeluk agama lokal atau tidak, tapi, pada sejauh mana penghormatan negara, pada eksistesi warga negara yang memilih menganut agama-agama ini.

Memilih agama adalah hak konstitusional warga negara. Masalahnya, limitasi yang diberikan negara hanya pada 6 (enam) agama yang diakui, memperlihatkan paradoksnya yang kelewatan.

Di satu sisi, Indonesia merdeka mendaku sebagai negara demokratis (plus) dengan menjamin hak warga negaranya melalui konstitusi. Namun, disisi lain, negara tidak memberi ruang hidup kepada mereka yang memilih beragama di luar “agama-agama resmi negara”. Demokrasi hanya didalilkan dalam ruang yang hampa. Seraya sengaja disembunyikan dalam kamar gelap kehendak mayoritas.

Fakta tindakan intoleran seolah memperlihatkan munculnya berbagai gejala patologi dalam masyarakat beragama. Kekeran dengan dalih memurnikan ajaran, kita insyafi sebagai sebuah kekeliruan akal sehat. Namun, peminggiran penghayat kepercayaan, kita amini sebagai respon zaman. Seakan tak jauh beda, kita hanya mengakui hak asasi manusia, sejauh hak kita tidak disentuh. Urusan orang lain? Biar saja.

Soal agama, juga berurat akar dengan soal politik. Sudah tabiatnya kekuasaan bersembunyi dibalik selimut dusta. Peminggiran para penganut agama lokal dapat menjadi contoh langgengnya praktik ini. Dalil konstitusi yang menyebutkan setiap warga negara sama kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan, kiranya perlu kita tinjau kembali sebagai sebuah kenyataan yang hidup.

Beragam kisah pilu penetrasi kuasa melalui beragam aturan hukum, mempertontokan kekuasaan secara tak senonoh telah mencabik-cabik kontitusi di depan mata publik. Hanya, dengan dalih taat pada negara, seorang warga negara dipaksa membubuhkan “agama resmi” di kolom intentitas kependuduknya, sekedar untuk dapat bekerja sebagai abdi negara, misalnya.

Politik telah menjadi teror bagi penghayat kepercayaan. Masih mengendap dalam ingatan, semenjak peristiwa ’65, setiap orang diharuskan memilih salah satu “agama resmi negara” untuk tidak dikategorikan sebagai PKI. Termasuk soal agama, sebuah pilihan yang sangat personal, warga dipaksa taat pada fatwa negara yang harusnya impersonal. Luar biasa.

Tujuh puluh dua tahun Indonesia merdeka, masih menyisakan banyak tanda tanya. Termasuk, pada pertanyaan penting: Bisakah kita merdeka, termasuk dalam beragama?

Nanang Suryana
Nanang Suryana
Esais, tinggal di Bandung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.