Sabtu, Oktober 5, 2024

HUTRI72 – Kemerdekaan dan Penguatan Kearifan Lokal

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

(Alinea ke-4 pembukaan UUD 1945)

            Tujuh puluh dua tahun telah berlalu sejak kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan oleh sang Dwi Tunggal, Soekarno-Hatta. Kendati demikian, masih banyak yang mempertanyakan kemerdekaan yang telah diraih oleh bangsa ini. “Apakah Indonesia benar-benar telah merdeka?”. Pertanyaan tersebut hanyalah satu contoh pertanyaan dari sekian banyaknya pertanyaan yang bernada pesimis dan skeptis. Masih banyak yang beranggapan bahwa bangsa ini masih terjajah, hanya saja bentuk penjajahannya dalam wajah baru.

Alinea ke-4 pembukaan UUD 1945 telah menggambarkan bahwa ada empat poin yang menjadi tujuan dari negara yaitu; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indoensia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Empat tujuan tersebut merupakan indikator dalam menilai bangsa ini apakah benar-benar telah merdeka atau belum.

***

            Beda masa, beda pula cara masyarakat dalam mengisi kemerdekaan. Ungkapan tersebut adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan bagaimana masyarakat Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dari masa ke masa. Ada masa dimana kemerdekaan diisi dengan pembangunan ekonomi, pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan, pembangunan ketahanan pangan, pembangunan infrastruktur hingga penguatan kembali terhadap nilai-nilai Pancasila. Hal tersebut adalah hal yang wajar, mengingat bahwa beda masa beda pula kondisi yang dihadapi sehingga memungkinkan metode yang digunakan juga akan berbeda.

Pada tahun 1950 hingga tahun 1960-an, kebudayaan pernah menjadi arus utama dalam pembangunan[1]. Hal ini beranjak dari pandangan bahwa kebudayaan merupakan salah satu hal yang penting dalam penentuan pembangunan. Karena beberapa ilmuwan beranggapan bahwa kebudayaan merupakan faktor yang dapat mendorong modernisasi yang pada akhirnya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu negara sehingga akan mendekatkan masyarakat pada kesejahteraan.

Samuel P. Huntington mengatakan bahwa budaya memainkan peran yang sangat besar[2]. Sebagai contoh Korea Selatan dan Ghana adalah dua negara yang pernah mengalami kondisi mirip di tahun 1960-an. Namun 30 tahun kemudian kondisi kedua negara tersebut sangat jauh berbeda. Korea Selatan berhasil menjadi negara industri terbesar ke-14 di dunia, sementara pertumbuhan Ghana hanya mengalami peningkatan seperlima dari peningkatan PDB Korea Selatan. Hal ini dikarenakan Korea Selatan memberikan ruang kepada budaya dalam proses pembangunannya seperti budaya berani berinvestasi, hemat, kerja keras dan disiplin [3].

Pasca kemerdekaan Republik Indoenesia di tahun 1945, setiap rezim yang berkuasa begitu getol dalam melaksanakan pembangunan. Berbagai upaya pembangunan yang dilakukan memberikan dampak positif, namun tak bisa juga dipungkiri bahwa pembangunan yang dilakukan telah membawa negeri ini ke dalam krisis multidimensional. Mulai dari kesenjangan ekonomi, krisis pendidikan, persoalan lingkungan dan eksploitasi, krisis moral, masalah kesehatan hingga yang baru-baru ini terjadi adalah maraknya pemahaman radikalisme yang mencoba untuk merusak dan merongrong keutuhan NKRI. Di lain sisi, modernisme yang dianggap sebagai salah satu tuas untuk mendongkrak pembangunan dan kemajuan, justru membawa masyarakat pada krisis identitas yang berujung pada memudarnya nilai-nilai kearifan lokal.

Berdasarkan hal di atas, sudah sepantasnya kita kembali melihat ke belakang dan merefleksikan nilai-nilai kearifan yang ada dan mengakar di dalam masyarakat. Karena kepatuhan terhadap nilai menjadi ukuran kebudayaan dan peradaban sebuah bangsa, dan nilai terkait erat dengan sejauh mana kualitas sprititual-mental suatu bangsa yang menjadi pijakan dalam mengelola aspek material kehidupannya [4].

Sebagai contoh, penguatan kembali budaya siri’ na pesse (Bugis-Makassar), akan membantu meminimalisir kesenjangan yang terjadi di negeri ini karena siri’ na pesse adalah nilai universal dan menjadi bagian dari aktualisasi kemanusiaan.  Siri’ secara sederhana dapat diartikan sebagai malu, harkat dan martabat manusia. Ia berkaitan erat dengan kehormatan dan harga diri sebagai seorang manusia. Sementara pesse dapat diartikan sebagai rasa belas kasihan dimana seseorang turut merasakan penderitaan yang dialami oleh orang lain.

Jika nilai di atas kembali diperkuat, akan membantu meminimalisir praktek kotor seperti korupsi, karena setiap orang yang memegang teguh nilai ini, sebelum bertindak akan memikirkan efek dari perbuatannya yang korup, berapa banyak orang yang disengsarakan, dan yang paling penting adalah adanya rasa malu mengambil hak orang lain. Budaya siri’ na pesse akan meniscayakan hukum hidup makkareso (bekerja keras) sehingga pappaseng (amanat) akan dijunjung tinggi. Janji akan ditepati (taro ada taro gau), membela kehormatan dari wari dan bori yaitu kehormatan keluarga dan tanah air, dan berani mempertahankan kebenaran dan keadilan [5].

Contoh yang lain adalah regulasi yang dibuat terkadang tidak berpihak kepada seluruh elemen, dalam artian hanya memihak pada golongan tertentu saja. Untuk mengatasi kasus seperti ini, nilai kearifan lokal memiliki peranan yang sangat penting. Misalnya budaya mamak-kemenakan (Minang):

Kemenakan barajo mamak

(Kemenakan tunduk pada mamak)

Mamak barajo ke penghulu

(Mamak tunduk pada penghulu)

Penghulu barajo ke mupakat

(Penghulu tunduk pada mufakat)

Mupakat barajo ka nan bana

(Mufakat tunduk pada kebenaran)

Bana badiri sendirinyo”

(Kebenaran itu berdiri sendiri) [6].

Budaya di atas memperlihatkan kepada kita bahwa segala keputusan tidak ditentukan oleh person ataupun entitas, melainkan ditentukan oleh nilai. Nilai yang dimaksud adalah kebenaran yang kemudian akan menghasilkan mufakat dan aturan yang pantas. Jika hal ini diaktualisasikan, maka regulasi yang menyengsarakan rakyat dapat diminimalisir.

Regulasi sebagai produk hukum dibuat untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Namun apa daya, supremasi hukum di negeri ini masih dipandang lemah karena penerapan hukumnya masih pandang bulu, tumpul ke atas dan tajam ke bawahNene Mallomo seorang filsuf bugis (Sidrap) telah melahirkan produk hukum yang dikenal dengan Ade’ Temmakkiana’-Temmakkieppo yang artinya hukum tidak memandang anak atau cucu. Filosofi ini menjelaskan kepada kita bahwa hukum seharusnya dijalankan atas dasar kebenaran yang tidak memandang pertalian darah sehingga kebenaran dan keadilan akan benar-benar tegak. Jika nilai ini kembali ditegakkan, maka akan membantu melahirkan keteraturan dan akan mengurangi kedzaliman sehingga mendekatkan masyarakat pada kesejahteraan.

Di lain sisi, pendidikan dianggap sebagai salah satu upaya dalam meretas lingkaran setan yang terjadi. The founding father bangsa ini, Bung Hatta dalam pidatonya di Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1957 menagatakan:

“Pangkal segala pendidikan karakter adalah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar. Ilmu wujudnya mencari kebenaran dan membela kebenaran” [7].

Namun realitanya, pendidikan yang seharusnya menjadi proses memanusiakan manusia dan mencerdaskan kehidupan bangsa, justru lebih berorientasi ke pasar yang akan menghasilkan robot-robot kapitalis. Jika pemangku keputusan menyadari pentingnya dari pendidikan, maka metode pendidikan yang disusun akan mengarah pada pendekatan manusia kepada realitas sosialnya sehingga akan memicu kesadaran transformatif masyarakat. Ketika kesadaran transformatif telah terbangun, maka setiap gerakan yang dilakukan akan mengarah pada upaya perbaikan demi kebaikan dan kemaslahatan.

Di usia Indonesia yang ke-72, seharusnya setiap elemen memanfaatkan kebijakan otonomi daerah yang telah diterapkan. Karena kebijakan otonomi daerah akan memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan nilai-nilai kearifan lokal yang ada, tanpa melanggar kesepakatan-kesepakatan budaya yang bercorak nusantara [8]. Hal ini perlu dilakukan agar tidak terjadi tumpang tindih atau kontradiksi budaya sehingga pembangunan yang dilakukan akan tetap mencerminkan identitas kebangsaan.

Referensi :

Marijan, Kacung (2013) : Penguatan Budaya Nusantara Berbasis Kearifan Lokal : Universitas Sebelas Maret : Kementrian Pendidikan & Kebudayaan RI. [1],[3],[6],[8]

Alfian, Magdalia (2013) : Potensi Kearifan Lokal Dalam Pembentukan Jati Diri dan Karakter Bangsa : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.[2]

Lontar.id/read/2017/06/01/407/aktualisasi-pancasila-pendidikan-berbasis-kebudayaan [4]

Koro,Nazaruddin (2005) : Ayam Jantan Tanah Daeng : Ajuara. [5]

Supriyoko, Ki : Butir-Butir Pemikiran Bapak Pendiri Bangsa Untuk Kemerdekaan dan Pembangunan : Taman Siswa : Yogyakarta [7].

Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.