Pada tanggal 17 Agustus 2017, genaplah 72 tahun Indonesia Merdeka! angka 72 tahun, menandakan bahwa Indonesia sudah termasuk tua bila dianalogikan kepada usia manusia. Akan tetapi, apakah usia ini usia dalam hidup atau dalam mimpi? Semoga kita semua tetap tersenyum dalam penyebutan 72 tahun kemerdekaan Indonesia.
Mari kita melihat kembali kata kemerdekaan yang termuat pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pembukaan UUD 45). Bahwa “….supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya“.
Sejak 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia bebas dari segala bentuk penjajahan dan menolak penjajahan diatas dunia. Akan tetapi, bangsa yang bebas ini tidak serta merta bebas total. Karena dalam pandangan kebabasan, selalu ada kebabasan lain yang membatas kebebasan awal. Sehingga bebas yang merdeka adalah bebas tanpa penjajahan (dalam bentuk apapun) yang dibatas oleh aturan yang dibuat oleh Pemerintah demi menjaga kebebasan tersebut.
Mimpi Pembentukan Negara
Disini muncul peran Pemerintah Indonesia dalam menjaga dan mengisi kemerdekaan semenjak kata merdeka membebaskan bangsa Indonesia. Kemudian muncul pertanyaan, apakah kesepakatan bersama “atas nama rakyat” dalam membentuk Pemerintahan Indonesia?
Sejauh yang kita ketahui bersama, bahwa Pembukaan UUD 45 memuat mimpi dan tugas Pemerintah Indonesia yaitu “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia..“.
Mimpi kemerdekaan pertama adalah bagaimana Pemerintah Indonesia “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia“. Dalam pandangan saya, Pemerintah masih memberikan mimpi dan menidurkan kita dalam mimpi tersebut. Menjaga seluruh tumpah darah Indonesia bukan sebatas cerita sebelum tidur.
Mimpi ini muncul karena perlindungan terhadap tumpah darah (manusia) Indonesia menjadi penting paskapenjajahan. Tidak terhitung berapa korban tumpah darah Indonesia dibawah pemerintahan para Penjajah. Apabila Pemerintah Indonesia beserta organ negara (dalam hal ini TNI dan Polri) masih sulit menjaga tumpah darah Indonesia. Bararti kita masih bermimpi bahwa Pemerintah Indonesia menjaga tumpah darah Indonesia selama 72 tahun.
Mimpi kedua terkait “memajukan kesejahteraan umum” termasuk mimpi ekonomi. Saya maksud mimpi ekonomi karena sejahtera selalu dihubungan dengan ketahan ekonomi. Apabila Pemerintah masih saja berhutang dan terus berhutang. Maka kesejahteraan yang kita dengar adalah kesejahteraan dalam angka-angka perbandingan tingkat kemiskinan, pendapatan negara dan lain-lain.
Sejahtera, menurut saya bahwa tumpah darah Indonesia bisa hidup dengan cukup dan mencukupi. Sehingga, kecukupan dalam kehidupan tidak membutuhkan uluran tangan negara luar demi memberikan kita makan yang masuk ke saldo hutang Negara. Karena rakyat Indonesia sebenarnya tidak perlu berhutang kalau Pemerintah Indonesia bisa memaksakan diri dalam hal peningkatan kesejahteraan tanpa hutang.
Mimpi ketiga adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa” dibawah program pendidikan yang mendidik dan melatih juga membimbing sedari usia dini sampai tingkat sarjana. Akan tetapi, mimpi mencerdaskan ini kalah dengan kenyataan pahit bahwa pendidikan belum gratis sampai ketingkat Strata Satu (S1). Anda bisa melihat betapa besarnya biaya “mencerdaskan kehidupan bangsa” ini dari biaya kuliah yang semakin hari semakin meninggi.
Lalu bagaimana mencerdaskan kehidupan bangsa apabila Pemerintah Indonesia masih saja berhalusinasi atas nilani-nilai (angka) daripada subtansi pendidikan tersebut. Tumpah darah Indonesia saat ini hanyalah peserta didik yang di didik sedari kecil sampai sarjana dengan penekanan nilai rapor tinggi. Belum lagi ada beberapa tempat belajar yang menekan aktifitas sosial peserta didik dengan dalih wajib menyelesaikan pendidikan tepat waktu. Perih, sosial tumpah darah Indonesia tergerus oleh angka-angka.
Mimpi keempat bahwa Pemerintah Indonesia seharusnya “ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial“. Apabila kita tidak sedang bermimpi, maka kita akan melihat Pemerintah Indonesia memperjuangkan penyelamatan ummat di Rohinya, Palestina dan di pelbagai daerah lainnya.
Namun, bagaimana Pemerintah Indonesia turut serta dalam melaksanakan “ketertiban dunia“? Padahal ketertiban di negara sendiri masih jauh dari kata tertib itu sendiri. Konstalasi politik terkadang kita lihat sebagai salah satu penghambat kata tertib itu terpenuhi oleh bangsa Indonesia.
Di lain sisi, “perdamaian abadi dan keadilan sosial” hampir saja masuk kedalam mimpi buruk akibat pengelompokkan pro dan kontra kebhinekaan. Saat ini, salah mengeluarkan pendapat atau sekedar menyampaikan opini bisa langsung dihukum masuk ke salah satu kelompok. Padahal, kebhinekaan tersebutlah tiang penyangga ketertiban, perdamaian dan keadilan sosial.
Melepas Mimpi
Semua mimpi tertimbun oleh mimpi lain, lalu menyusun gambaran “fatamorgana” di kehidupan kita. Bisa saja, orang menilai bahwa kritik termasuk dalam hal memperburuk suasan dalam mimpi yang sudah buruk sendiri. Oleh sebeb itu, tumpah darah Indonesia harus dibangunkan dari mimpi selama 72 tahun tersebut.
Pertama, setiap tumpah darah Indonesia harus saling menjaga. Satu insan manjaga keluarganya, lalu keluarga menjaga lingkungannya, kemudian daerah menjaga daerah tetangga hingga semua saling menjaga tanpa perlu dijaga.
Dengan demikian, setiap tindakan yang berpotensi mengganggu kata “menjaga tumpah darah Indonesia” harus ditindak dengan tegas, meskin itu oknum dari para penjaga yang diamanahi oleh Pemerintah Indonesia untuk menjaga.
Sejauh yang saya impikan, saling menjaga antar tumpah darah Indonesia adalah syarat wajib bagi pemenuhan sila “Persatuan Indonesia“. Hanya dengan bersatulah para pendahulu, pahlawan dan pendiri bangsa maka Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia bisa dicetuskan pada 17 Agustus 1945.
Kedua, setelah pribadi-pribadi saling menjaga, melangkahlah untuk saling membantu dalam kata gotong royong. Masalah kecil diselesaikan seketika secara bersama-sama hingga semua tertawa dalam suka cita. Bayangkan saja, apabila setiap orang membantu orang lain (terutama masalah ekonomi), maka mimpi ekonomi kerakyatan bisa menopang cita-cita kedaulatan Pemerintah Indonesia.
Sebagai contoh, apabila orang kaya membangun konsep kepedulian sosial (Personal of Social Responibility), suatu saat setiap orang akan bisa terhindar dari kata “melarat dan miskin” yang menjadi akar banyak masalah sosial lainnya. Kepedulian Sosial Pengusaha menjadi penunjang bagi pemantapan kehidupan ekonomi tumpah darah Indonesia yang telah bersatu untuk bangun dari mimpi.
Ketiga, paskabangun untuk saling menjaga diantara perbedaan yang menyatukan juga saling membantu dan bergotong royong. Maka, setiap tumpah darah Indonesia saling berpacu untuk menempuh pendidikan sampai jenjang terakhir (doktoral). Hal ini bisa terjadi apabila dua syarat awal terpenuhi.
Nah, Pemerintah Indonesia tinggal menjalankan program pemerintahan demi membangunkan setiap tumpah darah Indonesia dengan tiga syarat tersebut. Sehingga, kemerdekaan Indonesia yang genap berusia 72 tahun menjadi akhir dari mimpi dan mulai membangun kesadaran.
Akhirul, Pemerintah Indonesia patut diapresiasi atas semua jerih payah mempertahankan Kemerdekaan Indonesia selama 72 tahun. Pemerintah adalah pemerintah dan rakyat tetaplah rakyat, kita semua bermimpi untuk merdeka 100 persen, meskipun itu sekedar mimpi. Setidaknya kita percaya nasehat bahwa “menolak mimpi/bermimpi/membuat impian adalah tanda-tanda orang menolak kesuksesan“. Selamat bermimpi diusia 72 tahun.
oleh Andrian Habibi
Pegiat ham dan demokrasi