Oleh Lukman Ajis Salendra
Seperti merawat sajak. Begitulah sejatinya merawat kemerdekaan.
Kemerdekaan ibarat lirik yang mengandung narasi etik. Setahun sekali rutin kita baca dengan penuh rasa santun dan ajrih. Terlebih pada momen 17 Agustus.
Seorang guru SD dulu mewanti-wanti diksi “kemerdekaan” jangan sampai dibaca cadel jadi “kemeldekaan”, apalagi sampai dilafalkan jadi “ke*e**ehaan.” Gelap kata dari makna.
Membaca-rawat ke-merdeka-an Indonesia harus dibunyikan dengan tegas dan jelas dan lugas dan tangkas. Sebab dalam kemerdekaan tersimpan nilai etis: makna oase di mana kemerdekaan adalah buah yang jatuh dari langit pikiran. Dicecaprasakan oleh sang etos kerja dan perjuangan.
Kita bersyukur kepada Tuhan yang mahakuasa, yang maha merdeka. Adalah upaya kita yang sempurna merawat kemerdekaan. Atas berkat dan rahmatNYA kita dapat merasakan getaran resonansi kemerdekaan. Dan kepada ibu-bapak (nenek moyang) kita mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya atas usaha seks mereka kita jadi hidup dan merdeka berkembang biak.
17 Agustus 1945 itulah hari kemerdekaan kita. Kemerdekaan yang tidak berdiri tunggal. Ia ada bersama semiotik waktu, menjadi utuh bersama imbuhan dan akhiran dan akhirnya berbaris dengan diksi atau rima yang lain di dalam sebuah frasa nasionalisme maupun klausa globalisme.
Kemerdekaan adalah sebuah lirik etik di mana tersirat narasi sanjak yang penuh langgam kegembiraan. Kemerdekaan bagi bangsa ini yang begitu puitis dan sejatinya mengharu-biru: kebebasan terhadap belenggu bentuk-bentuk penjajahan, kemudian membangun kekompakkan bersama di dalam menegosiasikan komitmen ber-Indonesia: antar suju-suku se-nusantara dan ras merasa se-nasib se-perjuangan. Imagine Community, kata Benedict Anderson.
Di usia ke 72 HUT kemerdekaan kita, kita isi dengan keriuhan. Bahkan kemerdekaan dijayakan dalam medan perang semantik. Menajamnya ungkapan kebebasan: untuk saling mengutuk. Perang semantik antara dua kubu pasca pemilu, masih berlangsung. Bahkan dunia maya (jejaring medsos) masih disesaki umpatan hate speech: kemerdekaan yang kebablasan. Seperti bocah-bocah Ndeso perang ketepel. Komitmen berbangsa senasib seperjuangan malah jadi dinistakan.
Kemerdekaan di tengah kenduri kesedihan ini, di tengah terganggunya situasi kebatinan bangsa telah menimbulkan bunyi-bunyi yang tak sedap alias kehilangan harmoni meskipun berdampinggesekkan dengan eufoni ( suara yang tertib rasa) yang sayup nan kian sunyi.
Ya. Kemerdekaan selalu memiliki empati kepada siapa pun. Karena ia semacam kesadaran objektif yang ada pada si aku lirik manusia: kehendak bebas merdeka.
Kemerdekaan bagi mantan pensiunan pejabat koruptor –tapi tak tertangkap KPK– yang sekian lama terkena penyakit diabetes dan asam urat akut tiba-tiba sembuh total lantaran mantra seorang dukun sakti dari Jampang Kidul dengan sekali bentak+meludah: merdeka kau! Cuhhh!
Merawat kemerdekaan?
Merawat kemerdekaan seperti kaum serius merawat sajak. Ditatapnya kembali ia sebagai teks, lalu dimaknailah konteks. Diaturlah larik dan bait yang tak koheren di mana tipografi yang tak kohesif harus disusun kembali. Yang tak menyangga makna harus dibuang, yang aus diistirahatkan, karena kemerdekaan bagi sebuah bangsa dalam fungsi dan struktur kalimat keutuhan harus menjelma kristalisasi yang penuh energi, sebuah entry point untuk memasuki hari depan secara bertanggung jawab dan beretika.
Apakah merawat kemerdekaan itu seperti usahanya para pemuda yang kurang kerjaan menjual bendera di jalanan sambil tangannya berusaha mencegat kendaraan yang lewat? ” Cukup lima ribu rupiah saja, Pak, Bu. Tempel ya benderanya biar gaya!”
Merawat kemerdekaan itu dapat dimulai dari sebuah reminisensi 17 Agustus, hari di mana kita diakui sebagai nation state yang berdaulat. Dengan sekali lagi dan lagi dan lagi mensyukuri karuniaNYA atas nikmat kemerdekaan yang kita peroleh.
Merawat kemerdekaan intensifikasinya ada pada etika naratif berikut: lima anak dalam satu keluarga; 1) si Bintang; 2. si Rantai; 3) si Pohon Beringin; 4. si Kepala Banteng; dan 5 si Padi Kapas; tengah bermain adu layang-layang jauh dari rumah sendiri sampai tak terasa senja pun hampir larut. “Saatnya kita pulang ke rumah ibu pertiwi. Nanti kita kemalaman dan bagaimana kalau tersesat di jalan,” kata si Bintang mengingatkan.
Jadi, bagaimana konkretnya kita merawat kemerdekaan? Ah, semoga kita tidak semakin tua dalam tanda tanya. Begitulah penyair Sapardi Djoko Damono berbisik lirik di telinga bangsa.***
(Lukman Ajis Salendra, penyair dan penulis, kini bekerja di Majalah GPriority Jakarta Cetak)