Selamat datang di era masyarakat digital! Era ketika internet dengan segala fiturnya menunjang hampir segala lini kehidupan yang kita jalani. Seseorang dapat mengetahui jalanan mana yang macet dan tidak untuk sampai ke suatu tempat dengan mengakses internet. Mahasiswa berselancar di atas gelombang informasi yang berdebur dari situs mesin pencari untuk menyelesaikan tugas akademiknya. Kita dan orang lain di seberang sana, saling terkoneksi sebagai sebuah jaringan yang dihubungkan oleh laju perkembangan teknologi dan informasi. Data terakhir yang dihimpun pada tahun 2016 oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) seperti dilansir laman Kompas.com, sebanyak 132,7 juta masyarakat Indonesia telah terhubung jaringan internet. Jumlah tersebut merupakan 50% dari total masyarakat Indonesia yang berjumlah 256,2 juta orang.
Media digital pada satu sisi menjadi medium yang terbuka. Ada batas-batas media konvensional yang dapat dilalui oleh media digital. Ruang dan waktu dalam media konvensional menjadi sesuatu yang dinihilkan. Interaktivitas antara penyedia konten maupun antar pengakses konten menjadi sesuatu yang baru; sesuatu yang tidak mungkin terwujud dengan kakunya media konvensional. Lantas dikotomi antara produsen dan konsumen konten menjadi kabur. Keleluasaan dari internet memang lantas dapat dimanfaatkan utamanya untuk menyokong partisipasi dan aspirasi masyarakat. Bahkan suara yang bergaung di jagat maya bukan tidak mungkin memengaruhi apa yang terjadi di dunia nyata.
Dalam konteks kehidupan bernegara yang dilakoni bangsa Indonesia, era media digital yang sebegitu melesatnya dianggap menjadi momentum baik. Kita perlu mengingat bahwa iklim demokrasi di Indonesia yang saat ini berjalan belum pulih dari bayang-bayang rezim Orde Baru. Selama kurang lebih 32 tahun pemerintahan Soeharto segala mekanisme diterapkan pemerintah untuk menggembosi fungsi sosial media massa. Proses dialektika antara pemerintah dan masyarakat, sesuatu yang menjadi spirit dari demokrasi itu sendiri dan seharusnya dapat dijembatani media massa, justru macet. Kondisi kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat juga mengkhawatirkan. Hal ini seratus delapan puluh derajat berbeda dengan kondisi saat ini. Terjadi desentralisasi informasi dimana siapa saja sekarang dapat menjadi sumber dari informasi itu sendiri. Aktivitas jurnalisme warga (citizen journalism) mulai banyak bermunculan dan dilakukan oleh warga. Tapi benarkah pemanfaatan media digital merupakan satu-satunya cara agar kualitas demokrasi yang lebih baik dapat terwujud?
Sisi Gelap itu Bernama Post-Truth
Kita perlu berefleksi. Keterbukaan dan keleluasaan yang dipancang tinggi-tinggi itu nyatanya menyimpan sisi gelap. Ironisnya, hari ini kita sedang berduyun-duyun memasuki sisi gelap itu. Ada situasi pelik yang merupakan ekses dari keluwesan media digital dan disebut sebagai fenomena post-truth. Nezar Patria, editor-in-chief harian Jakarta Post sekaligus salah satu anggota Dewan Pers menyatakan bahwa post-truth adalah kondisi yang terjadi ketika informasi bohong atau palsu (hoax) dipakai untuk menyalakan bara emosi dan sentimen publik. Memanfaatkan sirkulasi media digital yang begitu kencang dan luas, informasi palsu menunggangi sekaligus mengelaborasi suatu peristiwa yang terjadi sehingga kesan “nyata” dari informasi tersebut begitu kuat.
Alih-alih nyata, justru kondisi yang sebenarnya terjadi ialah apa yang disebut disinformasi dan distorsi dari realita. Informasi palsu diterima serta dipercaya begitu saja oleh publik tanpa melalui proses pemilahanan, verifikasi dan evaluasi. Hal tersebut menjadi wajar ketika informasi-informasi bohong itu menggamit isu-isu yang sensitif seperti agama atau hantu sejarah bernama komunisme.
Tanpa disadari kita sudah terlampau jauh memasuki sisi gelap itu. Kita dibuat terhenyak dengan peristiwa beberapa waktu lalu dimana Kepolisian Republik Indonesia berhasil mengungkap sindikat pembuat berita palsu dan ujaran kebencian bernama Saracen. Sindikat ini memanfaatkan kondisi post-truth dan keleluasaan media digital untuk mengeruk laba dari bisnis haram tersebut. Sindikat ini membuka jasa pembuatan berita palsu dan ujaran kebencian bagi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan menggiring opini publik. Kabar terakhir yang dilansir oleh Tribunnews.com, polisi menyebutkan bahwa ada keterlibatan tokoh-tokoh partai politik yang menggunakan jasa sindikat tersebut.
Efek dari post-truth ini sendiri pun sudah sangat beragam. Contoh teranyar bagaimana peliknya situasi bernama post-truth ini juga terjadi beberapa waktu lalu ketika kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Jakarta dikepung oleh massa karena dianggap menjadi tempat kumpul-kumpul Partai Komunis Indonesia (PKI), partai politik yang sudah mati puluhan tahun lalu. Laman Tirto.id melansir, penyerbuan dan pengepungan acara tersebut tak lepas dari kabar yang beredar melalui sosial media dan aplikasi chatting di kalangan masyarakat bahwa gedung YLBHI menjadi tempat menyanyikan lagu “Genjer-genjer” pada acara seni “Asik Asik Aksi”. Eksesnya para pengunjung acara malam itu terkepung selama lima jam hingga Minggu bersalin Senin. Meskipun para hadirin bisa keluar dari gedung tersebut, namun pengepungan dan penyerbuan tersebut memakan beberapa korban luka-luka.
Meraba Titik Cerah
Lantas bagaimana kita menghadapi kondisi ketika informasi dimanfaatkan, dipelintir sedemikian rupa dan menderu sebegitu derasnya? Secara normatif, orang akan dengan mudahnya menganjurkan bahwa verifikasi ulang sebuah informasi menjadi cara yang bisa dilakukan untuk menanggulangi kabar bohong. Namun kita perlu melihat lebih luas bahwa kerap kali kita mengalami disorientasi dalam menerima sebuah informasi. Tanpa sadar kita sebegitu mudahnya melahap informasi yang sejatinya tidak kita butuhkan. Tentu ini merupakan ekses ketika banyak media massa, tak terkecuali media daring, terkena wabah mimetisme. Haryatmoko dalam bukunya Etika Komunikasi, memaparkan bahwa mimetisme ialah kondisi ketika media terjangkit gairah yang tiba-tiba mendorongnya untuk membahas sebuah topik sebelum media lain membahasnya. Kecenderungan yang terjadi ialah media massa lantas mengabaikan nilai-nilai serta signifikansi dari informasi itu sendiri. Wabah ini menjangkiti media ketika persaingan antar media massa tak terhindarkan lagi.
Menurut penulis, selain meningkatkan kemampuan literasi media, ada beberapa solusi yang lupa untuk dibicarakan. Perlu ada pertimbangan tentang bagaimana kita dapat mengonsumsi informasi yang memang sesuai dengan kebutuhan kita.. Pertama eksistensi serta peran media komunitas perlu diperkuat kembali. Sebagaimana terminologi media komunitas itu sendiri yang memang hanya melayani kebutuhan suatu komunitas dalam arti kesamaan wilayah atau kesamaan kepentingan dan ketertarikan suatu kelompok masyarakat saja. Kesadaran bahwa kita dapat merebut sirkulasi informasi dan komunikasi yang bergulir agar sesuai dengan apa yang kita butuhkan perlu digalakkan dan dikuatkan.
Negara tidak boleh alpha dalam mengakomodir sektor media komunitas. Ketimbang pemerintah kelimpungan menanggulangi ekses media digital dengan segala peraturan dan perangkat yang justru memberangus semangat demokrasi, pemerintah juga perlu untuk kembali menengok dan menguatkan kembali sektor media komunitas sebagai salah satu solusi kongkret. Hal ini mengingat sejarah kehadiran media komunitas itu sendiri yang diharapkan menjadi “penyeimbang”.
Solusi lain yang dapat dimunculkan adalah perlu adanya eksperimen terhadap apa yang disebut sebagai jurnalisme dan media patungan. Model ini telah berkembang di Eropa dan Amerika Serikat. Tentu hal tersebut merupakan dimensi baru dalam ranah media massa. Mengandalkan dana dari publik, model jurnalistik dan pengelolaan media ini setidaknya membawa harapan baru mengenai bagaimana seharusnya media menjadi ruang publik yang dapat memperkuat partisipasi publik dalam percaturan informasi. Pembiayaan yang melibatkan banyak orang tersebut tentu membutuhkan tanggung jawab yang besar. Sebagai konsekuensi, konten yang disodorkan tentu harus memprioritaskan kepentingan publik.
Penelitian yang dilakukan oleh Tanja Aitamurto dalam tulisannya yang berjudul The Impact of Crowdfunding on Journalism, menunjukkan bahwa para jurnalis penggarap media atau jurnalisme patungan di Amerika Serikat menganggap para donatur dana sebagai publik yang harus dilayani. Sedangkan motivasi para pendonor adalah proyek media dan aktivitas jurnalisme yang dibiyai oleh patungan adalah sebuah usaha untuk kepentingan bersama dan perubahan sosial.
Kedua solusi tersebut perlu ditimbang kembali untuk diimplementasikan. Mengingat derasnya arus informasi yang disediakan oleh media daring perlu diimbangi dengan sesuatu yang lebih segar serta jernih. Sudah saatnya kita merebut kembali kanal-kanal informasi dan komunikasi yang relevan serta sesuai dengan kebutuhan kita. Agar kita tidak terjebak dalam jebakan kepentingan pihak-pihak tertentu yang diam-diam menggerakkan kita sesuai dengan keinginan mereka, melalui informasi yang kita konsumsi sehari-hari.
Aloysius Brama | Universitas Atma Jaya Yogyakarta
**Artikel ini merupakan tulisan yang terpilih dari lomba menulis opini yang diadakan oleh COMNIPHORE – Universitas Multimedia Nusantara.