Satu persatu sasana tinju ternama di Jakarta roboh, hal ini terjadi seiring dengan redupnya dunia olah raga bela diri di Tanah Air. Seperti olah raga tinju, petinju yang semula hidup dari kejuaraan pindah haluan. Ada yang menjadi tenaga keamanan, instruktur di pusat kebugaran, hingga penagih utang, maupun berusaha membuka warung tepi jalan.
Sore itu, di Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan. Dua petinju berlatih keras, mereka diawasi pelatih Pak Hom atau Misyanto, petinju era 1980-an yang dijuluki “Little Home”
“Siaaaap.. Bos,” teriak Misyanto yang biasa dipanggil Pak Hom sambil mengamati jam di telepon selulernya.
Ferdinand dan Aji beraksi. Mereka memukul angin “samsak” (alat berlatih tinju seperti guling yang digantung) ratusan kali hingga Pak Hom berteriak, “Speed..” berselang lima detik “Stop!” Kedua petinju berhenti, mengambil napas, dan mengelap keringat yang bercucuran di tubuh mereka. Beberapa menit kemudian, latihan serupa diulang hingga delapan ronde kali.
“Ferdinand akan diterjunkan di pertandingan tambahan melawan Martin Kisamlu kelas 55,5 kg pada pertandingan Daud Jordan menantang Maxwel Awuku di DBL Arena Surabaya, Jawa Timur,” kak Pak Hom sambil memantau anak didiknya latihan.
Pak Hom melirik jam di telepon genggamnya, latihan kala itu tidak terlalu berat berhubung sudah mendekati waktu tanding. Setelah berlari sekitar 30 menit, skipping setangah jam tanpa henti, kemudian Ferdinand berlatih tinju diatas ring bersama Pak Hom.
“Pukul lebih keras!” teriak Pak Hom. Sambil melenguh, Ferdinand memukul pad di tangan Pak Hom dengan kombinasi jab, upper cut, dan hook sekeras mungkin.
Pemandangan seperti itu hampir setiap sore terlihat di Sasana Tinju Bulungan. “Anak jalanan yang mau menjadi petinju profesional silahkan datang dan berlatih dengan serius,” kata Pak Hom.
Sasana tinju Komunitas Penyanyi Jalanan Bulungan berdiri sejak tahun 2001, Sekitar 14 tahun silam, tepatnya pertengahan 2001 lalu, Pak Hom dibantu seorang musisi kawakan di Bulungan, Anto Baret, mulai membangun sasana tinju. Tujuannya sederhana, ingin membina serta mencari bibit unggul petinju Indonesia dari jalanan sekitar Bulungan.
Sasana tak pernah memungut iuran dari “petinju jalanan” yang berlatih di sasana Bulungan. Malahan Pak Hom rela menggunakan uang pribadinya untuk memberangkatkan para petinju didikannya naik ring di berbagai kejuaraan.
Di sasana sederhana itu, kini Pak Hom membina petinju profesional dan enam petinju amatir. Ada juga sejumlah karyawan, mahasiswa, dan pelajar yang berlatih tinju atas nama hobi dan kesehatan dengan ketentuan member.
Pak Hom telah sukses pula mengantarkan anak latihnya mengikuti berbagai ajang internasional di Thailand, Australia, China dan Filipina.
Bahkan petinju polesan Pak Hom juga sukses meraih sabuk juara Organisasi Tinju Dunia (WBO), juara Asia Pasifik (PABA), serta berbagai kejuaraan di Asia. Pak Hom masih memimpikan petinjunya bisa bertarung di Amerika.
Beberapa atlet binaan Pak Hom, seperti Untung Ortega, Tubagus Setia Sakti, Jack Macan, Jimmy Gobel, Jason Butar Butar. Ia berharap sasana tinju sederhananya langgeng sehingga mampu mencetak para petinju andal yang mampu mengharumkan Indonesia.
Bulungan adalah satu dari segelintir sasana tua di Jakarta yang masih bertahan. Pak Hom juga mewarisis bakatnya di dunia tinju kepada anak-anaknya.
Seperti ungkapan buah tidak jauh jatuh dari pohonnya, memang cocok melekat pada seorang petinju cilik berusia 11 tahun bernama Aji Satrio Febrianto.
Menginjak usia 11 tahun, Aji panggilan akrabnya sudah beberapa kali menjadi sorotan beberapa media cetak dan televisi bakat bertinju yang dianggap melebihi kemampuan anak-anak seusianya.
Kemampuannya mewarisi darah biru petinju dari sang ayah yang juga mantan petinju era 80-an. Ayahnya Pak Hom atau Little Home pernah menyabet gelar juara nasional pada tahun 1986. Pada tahun 1989, dirinya memutuskan untuk tidak bertinju lagi.
“Mulai bertinju di ajang nasional tahun 1984. Juara Nasional tahun 1986,” ujar mantan petinju yang memiliki nama di atas ring tinju Little Home ini.
Aji, anak kelimanya dari enam bersaudara, menurutnya, sudah tertarik dengan olah raga tinju sejak masih duduk di sekolah taman kanak-kanak.
“Aji sudah suka sama tinju dari TK, waktu itu umurnya 5 tahun. Dia sering lihat saya melatih di sasana,” ucapnya.
Sasananya bernama KPJ Boxing Camp. Tempat pak Hom berlatih dan sampai sekarang melatih anak didiknya menjadi petinju profesional. Diakuinya melatih belasan anak-anak remaja dan dewasa di sasana tersebut.
Melihat sosok Aji memang sama saja dengan sosok anak-anak seusia dia pada umumnya. Tetapi agak mengherankan juga, anak kelas empat sekolah dasar yang mengidolakan petinju nasional, Chris John ini, sudah pernah mendapatkan Gelar Kehormatan pada sebuah Acara pertandingan tinju di Kota Bogor beberapa waktu lalu. Sejak itu, Aji banyak menjadi sorotan beberapa media cetak dan tv.
“Pernah di Bogor, Aji dapat piala kehormatan karena melakukan eksebisi pertarungan dengan anak remaja yang jauh di atas umurnya. Kalau tidak salah, waktu itu acara kejuaraan tinju amatir. Sejak itu, Aji banyak dicari wartawan, ada tv, koran, dan majalah,” tuturnya.
Pak Hom meyakinkan bahwa anaknya tersebut disukai oleh banyak penonton pada waktu itu. Gerakannya lincah, gerak tipunya membuat Aji susah untuk dijatuhkan lawan. “Jangankan jatuh oleh lawannya, dipukul saja susah. Gerakannya lincah, kakinya itu tidak pernah diam,” katanya.
Melihat Aji bermain bersama teman-temannya, berlarian, masuk rumah dan berlalu keluar untuk kembali menghampiri teman, menjadi buktinya bahwa Aji memiliki kelincahan bergerak.
Pak Hom bilang, dulu dirinya menubur ari-ari (plasenta pada bayi yang baru lahir) Aji dengan sebuah medali emas seorang anak didiknya yang menang KO (knock out) dengan seorang petinju asal Thailand pada tahun 2004, bertepatan dengan Aji lahir.
Aji lahir tahun 2004. Waktu itu saya tidak dampingi istri di klinik bersalin di daerah Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Saat itu berada di Thailand mendampingi anak didik bertanding dapat kabar anak lahir, selesai pertandingan langsung pulang.
“Saat sampai di rumah, ternyata anak laki-laki, wes sueneng buanget, alhamdulillah,” katanya sambil menoleh ke Aji yang berlatih.
Saya kok tiba-tiba kepikiran sesuatu, terus saya kubur ari-ari Aji sama medali anak didikku yang menang KO,” tuturnya sambil menyeduh kopi di pelataran sasana Boxing Camp KPJ Bulungan.
Cerita Pak Hom, Ia teringat sebuah film Samson Betawi yang dibintangi aktor kawakan Benyamin Sueb. Dalam film itu Samson berlaku aneh sejak kecil. Saat dewasa, ia tidak terkalahkan bila bulu ketiaknya tidak dicukur habis.
Ah, saya buru-buru menepis khayalan itu, melihat Aji bermain di sekitar rumah petak kontrakan yang disewa ayahnya di daerah Blok A, Jakarta Selatan, anak itu normal tidak seperti sosok Samson dalam film.
Kisah raja KO yang pernah KO dalam pertarungan hidup juga dialami sejumlah petinju nasional digenerasi setelah Ely Piscal. Salah satunya Pak Hom adalah jawara kelas bulu tunior WBC interkontinental (Asia) 1988 setelah mengalahkan jagoan Filipina, Allan Makitoki.
Prestasi itu membuat hati Pak Hom membuncah. Petinju asal Malang, Jawa Timur berpikir bahwa jalan untuk merebut sabut WBC terbuka. Namun, setahun kemudian ia gagal mempertahankan sabuk WBC Interkontinental saat melawan petinju Australia. Kekalahan itu membuat Pak Hom frustasi, kesempatan untuk bertanding tak kunjung ada.
Pak Hom putuskan lari keterminal Malang dan terhanyut dalam kehidupan jalanan. “Saat itu saya hidup sesuka hati,” katanya.
Sekitar tahun 2000-an, Pak Hom meninggalkan Malang dan berlabuh di Jakarta. Sesampai di Jakarta ia bergabung di sasana tinju Extra Joss, disana ia memulai berlatih dan mengumpulkan uang untuk menyampung hidup dari bertinju.
“Aku langsung hantam semua lawan dengan KO, trakhir kalah-plek gak sadar,” katanya.
Saat melawan Weerachi Chuwatana, jagoan tinju Thailand. “Saya yakin saat itu menang angka, namun ronde kedelapan lengah, pukulan KO itu mendarat di kepala dan tak sadarkan diri, sampai tidak ingat apa-apa lagi,” ceritanya.
Pak Hom dibawa kerumah sakit Universitas Kristen Indonesia tidak sadarkan diri. ia dirawat sekitar dua minggu, sejak kekalahan itu tidak bertinju lagi. saat itu ia bertemu dengan Pak Anto Baret. pertemuan dengan Anto Baret melahirkan sasana tinju yang diberi nama KPJ Boxing Camp Bulungan.
Tahun 2001 Pak Hom mulai melatih, banyak sudah atlit tinju matir profesional yang lahir dari didikannya, ia pun mengungkapkan kalau olah raga tinju nasional sangta jauh ketinggalan dari negara tetangga terdekat kita contohnya saja Filipina bisa melahirkan Manny Pacquiao kata Pak Hom.
Indonesia saat ini kekurangan promotor untuk menggelar pertandingan amatir maupun profesional untuk menjaring bibit atlit tinju. Dulu saat era saya sangat banyak dan pemerintah pun memperhatikan kita. ya berharapnya kedepan membaiklah.
Walaupun nasib atlit yang sudah membela indonesia baik di kejuaraan nasional maupun internasional, Pak Hom tidak mau berpangku tangan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama sang istri Ni’aya, membuka warung nasi kaki lima dan lalapan di depan GOR Bulungan, Jakarta,
Banyak petinju dimasa tua hidup susah, sampai meminta minta kepeda pemerintah. saya tidak ingin begitu ungkapnya.
Kata Pak Hom, pertarungan tidak pernah mengenal kata usia, setelah bertarung di atas ring. Pertarungan menjalani hidup adalah ring terakhir.[*]