“Enaknya dimana ya kita ngobrol-ngobrol?” tanya Lian. Seketika saya menawarkan Taman Menteng, selain dekat dengan hotel tempat dia menginap, sebenarnya saya tidak memiliki ide lain soal tempat yang nyaman untuk berbincang-bincang. Lian pun menyetujuinya. Sesampainya di Taman Menteng, kami memilih duduk di bawah pohon untuk berteduh tentu saja, karena pagi itu cuaca Jakarta sedang terik-teriknya.
“Tamannya bagus, seandainya Sophia ada di sini dia pasti senang sekali,” ucap Lian, sambil mengedarkan pandangannya. Terlihat jelas dia merasa rindu dengan Sophia, putri semata wayangnya.
Taman Menteng di akhir pekan memang sangat ramai. Terlihat sekelompok anak usia sekolah sedang berlatih musik, main basket dan beberapa pedagang berkeliling menawarkan dagangan.
“Di Poso tidak ada taman?” tanya saya. “Tidak banyak. Saya dan kawan-kawan pernah mengusulkan ke pemerintah daerah untuk membangun taman kota. Sudah ada desainnya, ada panggung untuk pentas kesenian rakyat, pokoknya tinggal bangun saja, tapi ditolak. Malah bangun mall,” kata Lian tertawa getir.
Saya kembali mengingat awal mula pertemuan saya dengan Lian Gogali, seorang tokoh penggerak perempuan dari Poso. Saat masih tinggal di Jogja, saya dan kawan-kawan mengumpulkan buku bacaan untuk membantu Lian dalam membangun perpustakaan keliling yang diberi nama ‘Project Sophia.’
Berbincang dengan Lian memang tidak bisa lepas dari Project Sophia dan Sekolah Perempuan Mosintuwu. Perempuan kelahiran 24 April 1978, ini kemudian bercerita mengenai Project Sophia. Sebuah perpustakaan keliling yang namanya diambil dari nama putri semata wayangnya. Itu langkah awal Lian untuk menyatukan masyarakat di Poso selepas konflik.
“Saat itu saya bingung apa yang harus saya lakukan, media apa yang cocok buat anak-anak? Dan ternyata buku memang paling tepat.” Dia menjelaskan, pasca konflik horizontal di Poso, anak-anak mengalami trauma yang tidak disadari oleh keluarga mereka.
Lian melakukan analisa sederhana melalui media gambar, permainan dan melihat cara interaksi anak-anak satu sama lain. “Mereka masih saja tidak mau berbaur, masih menganggap dia kristen kita Islam. Sehingga mereka masih menjaga jarak.” Lewat buku, anak-anak secara tidak sadar menjalin komunikasi, mulai berbaur.
“Di sana semua pasti sudah dilabeli agama, misalnya sayur Kristen, ikan Islam, hanya buku yang tidak ada identitas agamanya.”
Selain Project Sophia, Lian juga mendirikan sekolah perempuan yang diberi nama Sekolah Monsintuwu. Sekolah ini tidak hanya sebagai perekat hubungan antara Muslim-Kristen di Poso, tapi juga menanamkan kesadaran gender.
Lian menceritakan bahwa banyak perempuan di Poso selain menghadapi perasaan trauma akibat konflik horizontal, tapi juga harus berjuang melawan kekerasan domestik. Lian lalu membuat kurikulum pelajaran untuk sekolah perempuan, yang fokus pada agama, toleransi, dan perdamaian.
Pelajaran tak hanya dipraktekkan di kelas, tapi juga dengan berkunjung ke masjid dan gereja. “Dalam kunjungan ke rumah-rumah ibadah, banyak pertanyaan menarik seperti makanan yang disajikan umat Kristen apakah halal, konsep trinitas, pun sebaliknya, umat Kristen bisa bertanya apa saja kepada umat Islam.”
Menurut Lian, perempuan adalah penjaga kehidupan. Saat laki-laki sibuk dengan urusan politik dan cara-cara elitis dalam menyelesaikan konflik, perempuan justru memikirkan bagaimana caranya ada makanan yang terhidang untuk keluarganya. Tuntutan ini mendorong para perempuan di Poso menembus larangan yang membatasi interaksi mereka demi mendapat lauk pauk untuk keluarganya.
“Ada seorang ibu, dia seorang Muslim, membawa ikan untuk dibawa ke perkampungan orang Kristen. Sesampainya di sana, dia justru disambut, karena warga di kampung itu menantikan ada yang membawa lauk untuk keluarga mereka. Jadi siapa sebenarnya yang berkonflik?” ungkap Lian sambil tertawa mengenang masa-masa saat membangun sekolah perempuan di Poso.
Bagi Lian, sekolah perempuan yang dia dirikan merupakan wadah transformasi untuk para perempuan. Dari korban, kemudian menjadi penyintas, lalu mereka muncul sebagai pembela bagi sesama perempuan.
Perjalanan panjang Lian dalam memperjuangkan perdamaian di Poso bukan tanpa tantangan. Baginya apa yang dia perjuangkan sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan perjuangan perempuan-perempuan di Poso.
Keputusan Lian meninggalkan kota Yogjakarta selepas meraih gelar Master dari Universitas Sanata Dharma, tidak lain adalah untuk mengabdi pada masyarakat Poso, yang juga kampung halamannya. Tidak hanya itu, dia menganggap bahwa ilmu itu seharusnya dipergunakan untuk kebaikan.
“Saya tahu kondisi Poso, selain karena saya berasal dari sana, tesis saya pun membahas mengenai resolusi konflik. Dan Poso menjadi pilihan saya.”
Dalam proses pengerjaan tesisnya, Lian banyak berinteraksi dan melakukan wawancara dengan warga di Poso, terutama perempuan dan anak-anak. “Sampai suatu hari ada seorang ibu bertanya pada saya, hasil penelitian ini untuk apa? Apa manfaatnya buat kami di sini?” Pertanyaan ibu itu dia jawab layaknya seorang akademisi, hasil penelitian ini akan diterbitkan agar orang tahu kondisi Poso sebenarnya seperti apa.
Namun, dalam hati Lian ada perasaan lain yang mengusiknya. Lian merasa menjadi orang yang serakah, hanya mengambil dari banyak hal dari warga Poso – sebagai objek penelitian – namun penelitiannya itu tidak akan memberi dampak apapun pada kehidupan mereka. Lian terus memikirkan pertanyaan tersebut.
“Sampai-sampai saya masuk rumah sakit. Dokter tidak tahu saya sakit apa, kata dokter saya hanya banyak pikiran,” ujarnya tergelak.
Keputusan pulang ke Poso dirasa tepat. Meninggalkan pekerjaan yang mampu menghidupi dia dan putri tunggalnya, memulai kehidupan dari awal di Poso memang berat. Tapi semua itu dirasa setimpal dengan apa yang dia lihat kini. Perempuan-perempuan di Poso sudah lebih maju, mereka sadar bahwa mereka bisa turut bersuara dalam perubahan. Sadar melawan kekerasan yang dialami. Begitu pun anak-anak yang perlahan lepas dari trauma.
“Tidak gampang memang, banyak sekali tantangan yang harus saya hadapi. Teror dari orang-orang yang tidak suka dengan apa yang saya lakukan itu sudah biasa. Tapi tantangan itu justru menguatkan saya,” ujarnya.
Hari beranjak siang, panas matahari mulai menyengat. Berjumpa dengan Lian Gogali tidak sekedar perjumpaan kawan lama, namun perjumpaan ini mengantarkan saya pada sosok Lian yang secara sederhana menegaskan bahwa perempuan memang sejatinya adalah pemberi kehidupan, bagi keluarga dan lingkungannya, lepas dari batas agama dan suku.[*]