Kamis, Maret 28, 2024

Park Chung-hee: Pemuda Idola Korea Sepanjang Zaman

Sabda Armandio
Sabda Armandio
Penulis novel "24 Jam Bersama Gaspar"

Wawancara ini ditranskrip setelah saya berhasil melarikan diri dari ruangan gelap, di mana saya dipaksa makan samyang enam kali sehari, dan harus mendengarkan Park Chung-hee membaca puisi buatannya sendiri sebanyak dua ratus kali, dan dalam bahasa Korea. Saya dibebaskan karena saya bilang kalau saya disekap, wawancara kami tidak bisa dibaca banyak orang dan orang-orang akan lupa betapa mulia dan besar pencapaian Park Chung-hee. Dia membebaskan saya, dengan syarat, saya harus membuat dirinya menjadi idola, setelah itu tahun depan saya harus jadi menjadi tentara. Saya bilang di negara saya, banyak tentara justru ingin menjadi penyanyi. Dia kurang percaya, jadi saya memutuskan untuk membuka YouTube dan menunjukkan video Wiranto dan SBY dan tentara-tentara lain menyanyi. Di luar dugaan, dia merasa senang dan saking senangnya jadi membolehkan saya pulang.

Kapan terakhir kali angkat senjata?
Tahun 2005 itu saya sudah siap-siap angkat bedil lagi.

Wah, sebentar. Saya rupanya kurang riset. Ada kejadian besar apa saat itu?
K-Pop semakin besar.

Lalu, ada apa dengan K-Pop?
Tidak, tidak ada apa-apa. Hanya saja saya kira K-Pop kepanjangan dari Komunis Pop.

Rupanya Bapak yang kurang update.
Ya, setelah meninggal dunia saya merasa selalu terlambat mendapat informasi. Omong-omong, jangan panggil Bapak, panggil saja Park.

Seperti Park dalam Jurassic Park atau seperti menyebut ‘paku’ dalam bahasa Indonesia?
Saya suka anak muda yang punya selera humor.

Ah, bisa saja. Saya juga suka bapak-bapak yang pura-pura jadi anak muda.
Selain itu saya juga suka bedil. Menurut saya bedil penemuan manusia paling penting nomor tiga setelah penemuan kapitalisme dan militerisme.

Oke, sebentar. Saya hapus pertanyaan yang kira-kira membuat Bapak harus menggunakan penemuan penting nomor tiga.
Ya, ya. Silakan. Saya juga suka anak muda yang antisipatif.

Wah, belum apa-apa saya sudah dipuji dua kali.
Iya, ini memang belum apa-apa. Eh, Anda masih muda kenapa malah jadi wartawan? Apa tidak tertarik jadi pebisnis saja? Semua orang berbakat jadi pebisnis. Jadi bukan soal bakat, tapi kemauan.

…dan modal?
Modal bisa dicari, selama anda memilih teman yang tepat.

Nah, soal pertemanan ini sepertinya bidang Anda, ya?
Ya, ya. Saya suka pilih-pilih teman, itu yang membuat saya menjadi saya yang anda kenal.

Sejujurnya, saya kurang mengenal Bapak. Kalau Bapak berkenan memperkenalkan diri tanpa harus saya tanya, saya dengan senang hati mendengarkan.
Oh, saya suka sekali memperkenalkan diri. Dan saya kira apa yang sudah saya lewati bisa menjadi pelajaran yang baik buat anak muda seperti anda, supaya hidup Anda jauh lebih makmur seperti Korea Selatan.
Ayah saya, Park Song Bin, itu bangsawan tetapi ia memilih hidup miskin demi cita-citanya menjadi tentara. Kalau dipikir-pikir itu aneh, kan? Meski begitu, ada hikmahnya juga. Gara-gara miskin saya jadi anak yang kecil dan kurus sehingga setiap kali melihat tentara lewat, dengan badan mereka yang besar dan tegap, dada saya langsung berdegup. Dada mereka yang bidang seolah meniupkan desir angin ke tengkuk saya. Setelah itu saya tahu siapa teman sejati saya: militer.
Suka duka saya bersama militer ini banyak sekali. Mulai dari pelatihan di Divisi Tentara Kekaisaran Manchukuo di Mancuria, menjadi petugas di Divisi Kantogun, menjadi letnan di divisi infantri, hingga ikut membantu Jepang dalam Perang Dunia II. Sampai akhirnya Jepang kalah, dan saya harus memilih teman baru.
Kakak saya memperkenalkan saya pada teman ini, menarik sekali teman ini, namanya Komunisme. Teman baru ini membuat saya ingin bergabung dengan Partai Buruh Korea Selatan, dan ikut pemberontakan di Jeollanamdo. Walaupun akhirnya harus ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, saya rela melakukannya demi teman.

Jadi, anda sempat berteman dengan komunisme?
Wah, iya dong. Stalin saat itu, dulu, kurang lebih seperti Jungkook zaman sekarang. Saking komunisnya saya sampai dijuluki Parkov—terdengar sangat Soviet, bikin saya ereksi. Walaupun saya tidak pernah ikut gerakan komunis, tapi saya suka Stalin.

Lho, dengar-dengar, program pembangunan ekonomi yang anda terapkan saat jadi presiden lebih mirip Jepang era Meiji ketimbang Stalin?
Tentu saja, saya menghabiskan banyak waktu bersama Jepang. Apa yang mengherankan?

Yang mengherankan? Sebentar, saya pikir dulu. Orientasi politik Anda?
Betul, betul. Saya setuju. Untungnya, dalam kematian yang membosankan ini, saya punya banyak waktu buat memikirkan orientasi politik saya tanpa diganggu. Rata-rata orang mati tidak memikirkan hal itu, kecuali saya, karena saya spesial.

Kalau mati enak, kenapa malah menghindari hukuman mati?
Pertanyaan bodoh. Jelas-jelas kita belum tahu sampai kita mati. Lagipula saya tidak bilang mati itu enak, saya bilang saya jadi punya waktu lebih luang buat memikirkan hal-hal mengherankan semasa saya hidup. Dan pengalaman lolos dari hukuman mati membuat saya lebih bisa menghargai konsep pertemanan. Saya lolos karena teman. Teman saya, aduh, saya sungguh berhutang nyawa kepadanya. Mengingatnya saja saya sudah mau nangis. Jadi waktu hampir mati, Syngman Rhee datang dan menawarkan jalan keselamatan dengan syarat paling mudah yang pernah saya dengar. Saya cuma perlu menyebutkan nama-nama komunis yang ada di ketentaraan Korea Selatan. Itu, kan gampang.
Kemudian teman lama saya memanggil. Militer memang teman yang baik. Saya dipanggil lagi untuk ikut Perang Korea. Dalam hati, saya menjerit, “Hore!” Teman lama ini membuat saya jadi komandan deputi seluruh Tantara Korea Infantri II dan membuat saya disegani.
Chang Myon kesal dengan Syngman Rhee, ya wajar sih, Rhee memang hobi korupsi. Jadi Chang Myon mengudeta Rhee. Tapi Chang Myon itu bodoh sekali, karena kesal, jadi saya kudeta saja. Kudeta ini berhasil berkat teman lama saya itu. Tanpa militer, siapalah saya ini.
Setelah jadi presiden, saya punya teman baru. Namanya pebisnis.

Tapi di awal pemerintahan, Anda menangkap dan mempersekusi dua puluh empat pebisnis.
Itu karena mereka korup. Ah, masa lalu memang menyenangkan. Saya jadi ingat Lee Byung-chull, anak itu…

Pendiri grup Samsung?
Eh, iya, pertama dan satu-satunya Lee Byung-chull

Ada apa dengan pertama dan satu-satunya Lee Byung-chull ini?
Anak itu kebetulan sedang ada di luar negeri saat aku mempersekusi orang seperti dia. Sayang sekali dia tidak sempat merasakan pengalaman luar biasa itu. Waktu dia pulang, saya sudah berubah pikiran dan menyetujui ajakannya untuk, yuk, sama-sama membangun ekonomi Korea.
Setelah itu, dia bersama pebisnis lain tergerak untuk menawarkan kekayaan mereka untuk Korea Selatan. Mereka membayar sejumlah uang tanpa harus meninggalkan bisnis mereka, itu solusi yang baik, kan? Saya juga mengampanyekan anti-produk luar negeri dan budaya asing seperti tari-tarian dan…

K-pop hari ini kan juga memasukkan unsur tari-tarian budaya asing.
Tapi menghasilkan banyak uang, dan terutama mereka punya agensi berisi pebisnis yang andal sehingga kita bisa ekspor musik kita. Nah, ini dia teman baru saya kemudian: industri dan ekspor. Kalau bisa saya mau ganti slogan dari ‘Perkaya bangsa, perkuat tentara’ menjadi ‘Ekspor, ekspor, ekspor!’ Satu kata, diulang tiga kali, tidak kreatif tapi terkesan punya ruh. Sayangnya saat itu Pak Jokowi belum jadi presiden.

Anda memerhatikan Indonesia?
Ya, tentu saja. Setelah mati saya memerhatikan banyak hal. Pak Jokowi ini mengingatkan saya pada saya sendiri waktu membangun tol dari Seoul ke Pusan. Waktu itu saya melakukannya iseng saja, semacam simbol begitu. Selain itu saya juga merangkul area bisnis privat, chaebol ini menakjubkan.

Apa yang menakjubkan dari chaebol ini?
Bukan, bukan chaebol. Tapi Chaebol.

Terima kasih. Apa yang menakjubkan dari Chaebol ini?
Mereka anak emas dan tumbuh sehat.

Sehat? Kalau dilihat lebih teliti, beberapa Chaebol tumbuh bukan karena keuntungannya, tetapi karena mereka bisa meminjam dana yang besar dari subsidi bank yang anda nasionalisasi. Kalau tak salah, dua puluh tahun setelah Anda meninggal, saat ekonomi dunia mengalami penurunan, Chaebol ini tak bisa bayar hutang.
Ya, ya. Kalau dilihat dari sisi buruk, semua punya sisi buruk. Begini, mereka kami kasih subsidi dan segala keluwesan agar mereka berani mengambil risiko investasi yang tinggi sehingga minimal mereka berhasil membuat kesan bahwa ekonomi kami mengagumkan. Mereka terlihat sehat, keturunan mereka makmur, dan itu cukup.

Tapi harga yang harus dibayar untuk model anak emas dan bisnis keluarga itu sepertinya cukup mahal? Kekuasaan yang disalahgunakan dan korupsi yang dilembagakan memicu kerusakan, ketidakpercayaan, dan ketidakadilan dalam masyarakat.
Wow, wow, tunggu dulu Pak Karl Marx. Saya mau ambil lap.

Saya punya tisu. Buat lap apa?
Moncong bedil.
Bercanda. Buat lap air mata. Di dunia orang mati tidak ada yang mengucapkan kata ‘ketidakadilan’. Ah, nostalgia… Omong-omong soal omonganmu tadi, ya, kalau dilihat sisi buruknya selalu ada sisi buruk. Tapi kami ini orang Korea. Kami suka yang serba cepat. Ppalli-ppalli. Pembangunan yang cepat, pengantar makanan yang cepat, internet yang cepat. Saat saya baru jadi presiden, lebih dari 70 persen orang tinggal di pedesaan. Sekarang? Pokoknya ‘cepat, cepat, cepat’. Wah, ngobrol dengan anda saya sudah menemukan dua slogan.

Ini tisunya.
Terima kasih. Setelah lap air mata, saya bisa menyemprotkan obat bius, lalu menculik kamu. Kita tidak boleh buang-buang kertas dan menculik itu sepertinya menyenangkan. Saya pernah meminta orang buat menculik Kim Dae-jung karena dia menyebalkan, lalu saya ubah konstitusi supaya saya bisa jadi presiden lagi. Tapi sampai saya dibunuh, saya belum pernah menculik orang. Orang di sekitar saya saat itu baik dan penurut, mereka mau membantu saya dalam banyak hal. Ah, nostalgia lagi…
Intinya begini, Anda boleh melihat hal-hal yang Anda pikir adalah dampak dari kesalahan yang saya buat. Tapi, tanpa saya barangkali K-Pop tidak akan seperti saat ini. Dengan kerendahan hati saya merasa bangga sekali.

Menarik, dari wawancara singkat ini saya jadi mengerti mengapa Anda jadi target pembunuhan.
Dua kali. Pertama meleset, kena istri saya. Saat istri saya kritis, saya lagi asyik pidato. Dan yang terakhir, sialnya, saya kena juga. Yah, nasib baik tidak selalu datang. Kapan terakhir kali kamu merasa bernasib baik?

Seminggu yang lalu, kira-kira…
Kalau begitu mungkin saat ini nasib Anda kurang baik.

Sabda Armandio
Sabda Armandio
Penulis novel "24 Jam Bersama Gaspar"
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.