Tetangga saya di rumah bilang, jadi petani itu lebih mudah daripada jadi penulis. Selama lebih dari 40 tahun dia menjadi petani, bangun pagi, menggarap sawah, menanam padi, hingga memanen baginya adalah pekerjaan mudah. Maka saat ia meminta saya mengajari cara memakai ponsel, dia bingung luar biasa.
Lebih baik mencangkul seharian daripada menulis WhatsApp. Hurufnya kecil, layarnya terlalu terang, aplikasi terlalu banyak, hingga bingung cara mencari nomor. Kemajuan teknologi baginya adalah hal celaka. Dulu, untuk menelpon saudara, tetangga saya hanya perlu ke Wartel. Tekan nomor, bicara, bayar, selesai. Teknologi membuatnya bingung.
Suatu hari tetangga saya bilang, ia liat Tv di hape, maksudnya YouTube. Dia liat petani di Jepang punya mesin untuk menanam dan memanen padi. Jika selama ini untuk memanen dia butuh banyak orang, dengan mesin itu ia hanya butuh satu orang, dirinya sendiri.
Saya bilang teknologi ini udah ada di Indonesia, sudah ada yang menggunakan. Sederhana sekali, mesin yang serupa mobil, memotong padi, lalu mengolahnya menjadi gabah. Ia bilang ini jenius, ia tak perlu lagi butuh buruh tadi, ia butuh satu mesin maka akan bisa memanen sendiri dan menjual gabah ke pengepul keuntungan lebih banyak.
Berkah buat tetangga saya yang punya tanah, modal, dan alat produksi. Ini tentu bencana bagi mereka yang hanya jadi buruh tani. Tak punya keterampilan lain, pendidikan terbatas, dan hanya mampu menjual tenaga. Pekerjaan mereka terancam mesin, artinya, dalam masa depan teknologi pertanian, buruh tani tak dibutuhkan, mereka akan punah kalau tak beradaptasi.
Masalahnya adalah para buruh tani ini puluhan tahun hanya mengembangkan kemampuan memanen, menanam, dan memilah gabah. Boro-boro mau belajar koding, trading, atau editing video. Buat cari pekerjaan sebagai penjaga toko atau buruh angkut pasar aja susah. Tetangga saya yang bekerja sebagai buruh tani, saat musim kemarau, jadi pembantu dengan bayaran 15 ribu perhari. Mereka jelas tak akan bisa bertahan di zaman start up unicorn.
Jika kamu merasa superior karena bisa beradaptasi, ya bagus. Cuma mungkin perlu memeriksa privilese. Kecemasan kelas buruh karena mesin dan robot nyata. Bertahun-tahun mereka dibuat seperti sekrup untuk korporasi, saat sekrup itu haus, mereka dibuang dan diganti dengan teknologi baru.
Bagus jika anda punya privilese untuk belajar koding, belajar trading, atau editing yang membuat anda bisa mendapat penghasilan tambahan. Mengejek kelas buruh karena tak punya waktu senggang untuk belajar beradaptasi dengan zaman itu keji. Anda sekalian tak punya beban seperti mereka dan kelas buruh tak punya privilese seperti anda.
Perkembangan zaman memudahkan mereka yang punya akses, punya pendidikan, dan yang jelas punya kelebihan daripada yang lain. Jika kamu digital native, punya daya pikir kritis, memiliki modal untuk investasi, dan jaringan untuk diakses maka kamu lebih aman daripada kelompok buruh yang mesti bekerja 12 jam sehari, 6 hari seminggu dengan waktu istirahat terbatas dan tak punya waktu untuk belajar.
Ini mengapa, mengejek buruh dengan sebutan pemalas, tidak mau belajar, dan tak bisa beradaptasi adalah kesombongan atau kebebalan luar biasa. Jika buruh punya akses pendidikan, melek internet, punya jaringan, memiliki akses, dan tabungan modal, tentu mereka tak hendak jadi buruh. Mungkin mereka akan buka tabungan reksadana, jadi trader, atau mungkin bikin start up.
Tentu mudah bagi saya untuk bilang, jangan jadi buruh, mending jadi penulis konten atau jadi selebgram. Dengan Instagram, satu post bisa dapat bayaran 2 juta, kalau udah sukses kaya Awkarin bisa 30 juta per post. Tapi tetangga saya tidak tahu siapa Awkarin, tidak paham Instagram, dan tidak paham semua itu tidak lantas membuat dia kurang jadi manusia.
Saya tidak tahu bagaimana cara menanam padi, memupuk, memanen, dan memilah gabah jadi beras. Tapi saya tahu cara bikin konten menjadi viral, saya tahu bahwa jadi YouTuber dan mendapat penghasilan dari ads jauh lebih tinggi daripada sekadar jadi buruh.
Tapi saat ini ada 30 juta buruh di Indonesia kurang lebih. Mereka tentu tak bisa jadi selebgram semua, atau YouTuber, atau pro game, sebagian besar dari mereka mungkin hanya bisa jadi buruh dan itu tidak membuat mereka jadi lebih inferior daripada jadi karyawan di gedung, konten kreator, atau trader di pasar saham.
Tidak semua orang bisa jadi wiraswasta, tidak semua orang bisa jadi YouTuber, tidak semua orang bisa jadi penulis. Tapi saya kira, setiap manusia bisa punya empati dan sikap rendah hati. Menepuk dada sembari bilang bahwa anda bisa sukses hidup dengan berwiraswasta atau jadi pemain saham tidak berarti semua orang bisa melakukannya. Terutama mereka yang mesti bekerja 6 hari seminggu dengan lembur tanpa ada waktu belajar teknologi dan perkembangan zaman.
Amazon di Amerika telah membuat perangkat lunak yang menilai manusia atau buruh berdasarkan algoritma. Mereka bisa dipecat oleh kecerdasan buatan jika performa mereka turun. Tapi siapa yang bisa mengukur kecerdasan buatan tadi? Kecerdasan buatan tak punya keluarga, tak butuh istirahat, tak bisa sakit, tak bisa lelah, dan mereka jelas tidak punya depresi. Sementara manusia punya.
Kalau bisa, jangan merendahkan ketakutan kelas buruh karena mereka akan diganti robot atau mesin. Suatu saat, jika kemampuan anda dirasa tak diperlukan juga akan diganti. Korporasi akan mengeruk keuntungan lebih banyak dan anda hanya dianggap sebagai remah yang dibuang karena tak mampu beradaptasi.