Sabtu, April 20, 2024

Yerusalem dan Ilusi Ibu Kota Suatu Negara

Rachmadiar Perdana
Rachmadiar Perdana
Pustakawan. Alumni Program Sarjana Psikologi Universitas Lambung Mangkurat.

Dunia sedang dilanda kepanikan saat ini. Tindakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel menuai kecaman banyak pihak. Tindakan itu dipandang mengganggu kestabilan Timur Tengah. Namun perlu dicatat bahwa secara hukum apa yang dilakukan Trump tersebut adalah sah sebagai perwujudan Jerusalem Embassy Act of 1995 yang telah lama disahkan Kongres Amerika Serikat.

Pengakuan atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel seperti yang telah digaungkan oleh negara Yahudi satu-satunya di dunia sejak lama itu tentulah memperkokoh hubungan Israel-Amerika. Hal itu murni sebagai hasil dari permainan politik baik di luar dan dalam negeri yang dilakukan Trump. Tentu itu tidaklah karena Trump percaya bahwa Yerusalem adalah kota pilihan di mana sang Juru Selamat akan turun suatu hari nanti. Agama bukan alasan dalam hal ini.

Alasan historis adalah salah satu mengapa Israel menganggap Yerusalem sebagai simbol nasionalismenya. Sebagai tempat suci tidak hanya bagi satu, melainkan tiga agama, Yerusalem di dalam Israel menunjukkan kelanjutan sejarah antara Kerajaan Israel Bersatu dan Negara Israel yang hilang akibat diaspora Yahudi ribuan tahun lamanya. Selain itu, memiliki Yerusalem juga akan meningkatkan kedudukan Israel di antara negara-negara Timur Tengah terutama.

Israel, seperti halnya bangsa lain di dunia, memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Bahkan Indonesia sendiri dalam Pembukaan UUD 1945 juga menekankan bahwa “kemerdekaan ialah hak segala bangsa”. Sehingga, kita juga harus bersikap realistis bahwa kita sebagai bangsa yang setia kawan dengan rakyat Palestina, kita juga harus menyadari bahwa Israel juga menghendaki kemerdekaannya sendiri.

Lalu, apakah berarti kita harus mengakui tindakan Trump atas Yerusalem?

Tidak semudah itu. Di sinilah kita harus melihat jika Israel, terutama pemerintahnya, memainkan sentimen agama untuk mendorong kepentingan geopolitiknya. Posisi Yerusalem dalam skenario ini tidak hanya sekadar “kota suci”, melainkan pusat suatu negara .

Di sinilah Zionisme dan agama Yahudi berusaha disatukan dan dileburkan. Ini sangatlah berbahaya mengingat terdapat juga beberapa elemen Yahudi yang tidak sejalan dengan politik Zionis. Apa yang terjadi di sini sama halnya dengan melebur Islam dengan ide politik Kekhalifahan atau mengembalikan Kepausan sebagai otoritas tertinggi di Italia. Esensi teologis dan politik tidak bisa serta merta digabungkan begitu saja.

Maka satu-satunya solusi untuk mengakhiri kericuhan internasional kini bukanlah pada menentukan Yerusalem menjadikan ibu kota negara mana, Israel atau Palestina. Solusi yang paling realistis adalah mendorong masyarakat antar bangsa untuk tidak mengakui Yerusalem menjadi ibu kota negara apa pun.

Yerusalem tidak boleh menjadi ibu kota negara Israel, namun juga tidak boleh menjadi ibu kota negara Palestina. Yerusalem haruslah menjadi kota di mana aktivitas keagamaan tidak boleh tersentuh oleh kepentingan politik apa pun.

Seperti halnya arti dari nama kota Yerusalem dalam bahasa Arab, Al-Quds, yakni “suci” dan dalam bahasa Ibrani, Yerushalayim, yakni “kota kedamaian”, Yerusalem haruslah kota yang suci dan damai dari pertumpahan dan perjuangan politik. Seperti halnya Mekkah bagi agama Islam, Nazareth bagi agama Kristen, Ise bagi agama Shinto atau Lumbini bagi agama Buddha, Yerusalem sebagai suatu kota suci tidak boleh menjadi ibu kota suatu negara baik Israel atau Palestina.

Jika kita bersimpati dan bersetiakawan dengan perjuangan rakyat Palestina, maka poin kita adalah menginginkan Yerusalem menjadi bagian dari negara Palestina atau membagi dua kota tersebut dalam otoritas Israel-Palestina. Mendukung Yerusalem sebagai ibu kota Palestina sama salahnya dengan tindakan Trump mengakuinya sebagai ibu kota Israel. Isu mendukung Yerusalem sebagai ibu kota ditakutkan dapat menjadi tunggangan kaum fundamentalis baik pada agama Islam, Yahudi atau Kristen.

Biarkan Yerusalem menjadi suatu Baitul Maqdis, kota penuh kesucian dan kedamaian, lepas dari omong kosong kepentingan dan permainan politik apa pun. Silahkan saja yang ingin mendukung perjuangan rakyat Palestina melawan kelaliman pemerintah Israel atas pendudukan sepihak di kota suci ini. Bangsa Palestina yang telah kehilangan hak menentukan nasibnya sendiri dan ditindas hayat hidupnya tentu harus dibela. Itu adalah panggilan kemanusiaan yang luhur.

Tapi, masalah tidak akan pernah selesai jika Yerusalem terus dalam pusaran kepentingan politik baik di Israel, Palestina dan negara-negara lain di dunia. Membela Yerusalem dari cengkeraman politik apa pun dan dari manapun adalah intisari sebenarnya dari perjuangan kemanusiaan yang sedang kita semua lakukan kini.

Rachmadiar Perdana
Rachmadiar Perdana
Pustakawan. Alumni Program Sarjana Psikologi Universitas Lambung Mangkurat.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.