Dalam pidato kenegaraan Presiden RI Joko Widodo di depan Sidang Tahunan MPR RI pada 16 Agustus lalu sarat dengan kata-kata pandemi, kesehatan, dan ekonomi. Yang justru hilang adalah kata-kata seperti hak asasi, korupsi, ketimpangan, kemiskinan, dan kematian.
Hilangnya kata-kata itu mencerminkan bahwa tidak ada kepentingan, apalagi suara, yang patut untuk disambungkan mengingat pandemi masih begitu mendominasi. Itu artinya, kata-kata selain pandemi dapat dengan mudah dihilangkan, bahkan jika perlu dibuang dari pikiran. Jadi, meski selalu bersedia mengemban amanat rakyat, namun tidak setiap orang Indonesia mampu menjadi “Penyambung Lidah Rakyat” (Pelira) sebagaimana diamanatkan oleh Bung Karno.
Amanat yang dikumandangkan dalam pidato 17 Agustus 1963 di Stadion Utama Gelora Bung Karno itu menjadi penanda yang bersejarah terhadap status dari para pemimpin Indonesia. Sebab dengan status itu, para pemimpin telah menyatakan kisah hidupnya untuk selalu menyuarakan apa yang menjadi kepentingan rakyat. Dengan demikian, rakyat memang benar-benar merasa bahwa suara dan kepentingannya didengarkan. Hanya sayangnya, dewasa ini hal itu tidak mudah untuk ditemukan lagi, termasuk dalam pidato kenegaraan di atas.
Memang sulit untuk dibantah bahwa saat ini kita sedang berada di tengah pandemi. Tapi apakah suara dan kepentingan rakyat hanya berhenti pada masalah ekonomi dan kesehatan belaka? Bukankah keduanya adalah hal yang menjadi tanggungjawab dari negara untuk mencukupinya? Maka, tidak perlu lagi untuk dikatakan di manapun dan kapanpun, lantaran tanggungjawab negara adalah mewujudkan kesejahteraan, keadilan dan perdamaian. Namun mengapa perwujudan dari ketiga cita-cita kebangsaan itu hanya menjadi slogan belaka? Dengan kata lain, kata-kata tampak lebih berkuasa daripada perbuatan. Akibatnya, terjadi beragam pelonggaran yang membuat janji-janji di masa lalu hanya tinggal sebagai kenangan belaka.
Contohnya, janji untuk menuntaskan berbagai pelanggaran HAM di masa lalu justru semakin jauh dari kenyataan karena salah seorang dari pelanggarnya justru dianugerahi bintang jasa kenegaraan. Eurico Guterres adalah salah satu penerima bintang jasa itu, padahal cukup jelas bahwa pelanggaran yang dilakukannya seusai jajak pendapat di Timor-Timur pada tahun 1999 termasuk dalam kategori pelanggar HAM berat. Inilah tragedi kemanusiaan yang lambat laun dilupakan, bahkan telah dibuang, dari pikiran.
Tentu, Timor-Timur sudah merdeka dan menjadi negara Timor Leste. Namun, jejak langkah pelanggaran HAM yang terjadi di pulau kecil itu sejak dianeksasi oleh rezim militer Orde Baru tidak dapat diabaikan begitu saja. Sudah sepertiga dari penduduk di sana kehilangan nyawa akibat pendudukan sepihak dari penguasa di era Orde Baru. Lantas, tanpa rasa bersalah sedikitpun, penghargaan bintang jasa dianugerahkan kepada sosok yang terbukti mengarahkan dan melakukan pelanggaran HAM hanya karena “pro integrasi” pada RI atau “anti kemerdekaan” dari Timor-Timur. Adilkah?
Hal inilah yang sesungguhnya telah hilang dari pidato kenegaraan di atas. Bukan saja karena tidak dikatakan, tapi juga luput dari perhatian. Bahkan tanpa rasa malu sedikitpun, justru menopenginya dengan penampilan yang seolah-olah masih dekat dengan rakyat melalui pakaian ala Baduy. Pakaian yang berdasar kajian sejarawan Rudolf Mrazek (2006) hanyalah bagian dari rekayasa kemolekan masa lalu. Dengan pakaian itulah, penguasa kolonial di Hindia Belanda mendandani koloninya agar tampak indah di depan mata, meski tak sedikit yang justru mengalami penderitaan. Maka, di balik pidato yang menghilangkan kuasa dari kata dan perbuatan tentang HAM misalnya, masih adakah yang mampu untuk bersuara untuk menyambung lidah dari kepentingan rakyat?