Rabu, April 24, 2024

Yang Bisa Kita Teladani dari Prof. Sartono Kartodirdjo

Mustaqim Aji Negoro
Mustaqim Aji Negoro
Mahasiswa Sejarah UGM. Tukang tidur yang banyak bermimpi.

Prof. Sartono Kartodirdjo lahir pada tengah malam 15 Februari 1921. Di sebuah puskesmas kecil di daerah Wonogiri.  Ayahnya bernama Tirtosarojo bekerja sebagai seorang Amtenaar pemerintah kolonial. Sedang sang ibu, Sutiya, sehari-hari bekerja sebagai seorang pengrajin batik di rumahnya.

Sejak kecil ia dibesarkan dalam suasana hidup keluarga Jawa dengan trandisi kejawen yang kental. Sebelum memasuki dunia pendidikan formalnya di sekolah dasar, setiap malam menjelang tidur, sang Ibu tak pernah luput menyanyikan tembang-tembang Jawa kesukaan padanya. Mulai dari tembang Aswaradono, cape gunung, hingga pada tembang-tembang yang berasal dari kitab arjunawiwaha. Selain itu, hampir setiap malam ketika ada pertunjukan wayang di kampungnya, ia tak pernah absen untuk menyaksikannya.

Pelajaran dan hal-hal kecil yang didapatkan dari dunia pewayangan dan keluarganya inilah yang nantinya, akan banyak mempengaruhi pemikirannya dan cara pandangnya di masa yang akan datang mengenai konsep messianisme, struktur masyarakat Jawa, hingga pada konsep Ratu Adil.

Selain hidup dalam suasana, dan dalam banyak hal dipengaruhi oleh tradisi besar kebudayaan Jawa (kejawen) yang kental. Sejak kecil ia juga telah dididik untuk berdisiplin tinggi dalam mengerjakan setiap hal.

Hal ini dapat dilihat pada buku biografis yang menceritakan tentang dirinya, Membuka Pintu Masa Depan: Biografi Sartono Kartodirdjo, karya M. Nursyam,yang mengatakan, “Sartono memang sejak kecil telah dididik oleh ayahnya, Tjitrosarojo, untuk menjadi pribadi yang berdisiplin tinggi, pekerja keras dan mandiri. Setiap hari sebelum dan sesudah pulang dari sekolahnya di Hollands Indicshe School (HIS), ia selalu mendapatkan pekerjaan rumah untuk mengepel lantai, mengisi bak mandi, mencuci pakaian, serta memberi burung perkutut ayahnya makanan” (hlm. 25).

Di sekolah, ia juga dikenal sebagai murid yang cemerlang dan sudah “kutu buku” sejak di sekolah dasar. Sejak di HIS itu pula lah, ia mulai gandrung menulis. Hal ini dipengaruhi oleh salah satu gurunya yang bernama Sukoco (yang belakangan diketahui adalah ayah dari Umar Kayam), yang di tiap pelajaran yang diampunya di kelas, selalu mewajibkan setiap siswanya untuk membuat semacam karangan kecil.

Dari karangan-karangan kecil yang telah dibuat oleh para siswa tersebut, nantinya akan dipilih beberapa karangan terbaik yang akan dipajang di buku kelas (semacam majalah dinding), dan tulisan Sartono sendiri sering terpilih untuk masuk dalam buku kelas tersebut. Sejak saat itulah, benih-benih kegandrungan Sartono dalam dunia tulis-menulis mulai tersemai dan tumbuh (Nursyam. Hlm: 32-33).

Sejarah humanis dengan pendekatan multidimensional

Selain berperan besar dalam mengubah arah perspektif dalam penulisan sejarah Indonesia, dari yang sebelumnya bersifat Nerlando-sentris ke Indonesia-sentris. Sumbangsih penting lain dari pemikiran Sartono yang tak boleh dilupakan adalah, mengenai penulisan sejarah humanis dengan pendekatan ilmu-limu sosial yang ditawarkannya.

Dalam pendekatan yang coba ditawarkannya ini, Sartono dengan berani membongkar paradigma penulisan sejarah yang umum sedang berkembang pada waktu itu, yakni mengenai penulisan sejarah yang terkesan sangat politis dan bersifat elitis: hanya mencakup cerita tentang lingkaran hidup para elite politik, cerita-cerita tentang sejarah militer dan perang, atau pun kehidupan tokoh-tokoh elite tertentu.

Pemikiran-pemikirannya ini dengan jelas tertuang dalam bukunya yang berjudul Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah (1993). Di dalam buku tersebut, dengan jelas dibahas mengenai step by step apa saja yang harus dilalui/dilakukan oleh para sejarawan agar bisa “mencapai” cerita masa lalu yang ingin “diraihnya” tersebut. Mulai dari persoalan, bagaimana cara pemilihan tema penulisan, pendekatan/approach apa yang harus digunakan, hingga pada implementasi-penggunaan dari teori/pendekatan ilmu-ilmu sosial lain yang ditawarkannya tersebut.

Segala hal yang Sartono rangkum dalam bukunya tersebut, sekali lagi, pada akhirnya merupakan pemikiran final yang ingin dicapai Sartono mengenai penulisan sejarah Indonesia yang lebih humanis. Narasi sejarah yang akan menghadirkan cerita-cerita dari orang-orang kebanyakan yang biasanya terpinggirkan dalam setiap narasi sejarah bangsanya sendiri. Cerita sejarah mengenai orang biasa yang ternyata besar sekali pengaruh serta sumbangsihnya bagi keberlangsungan hidup dan perjuangan bangsa.

Karya serta warisannya dalam khasanah Sejarah Indonesia

 Sartono sejak lama dikenal sebagai seorang cendekiawan yang berdisiplin tinggi dalam setiap kerjanya. Ia juga dikenal sebagai orang yang selalu total, dalam hal berdikasi ke bidang ilmu yang digelutinya.

Sebagai pembuktian dari kata-kata di atas, dapatlah kita lihat cuplikan kalimat yang ditulis oleh istrinya, Sri Kadaryati, dalam sebuah artikel yang berjudul Kebersamaan Selama Hampir 60 Tahun dalam buku peringatan satu tahun kematiannya, Sejarah yang Memihak (2008), “Kesan saya mengenai almarhum; ia adalah orang yang gigih dan tidak mau menyerah walau ia sejak tahun 1957 harus bekerja dengan satu mata. Karena sayangnya kepada pekerjaan ia hampir tidak ada waktu untuk keluarga; tetapi ini kita pahami karena itu semua ia lakukan untuk bangsa, negara dan keluarga.” (hlm. 5).

Hasilnya, segudang karya akademik dalam bidang sejarah berhasil lahir melalui tangan dinginnya. Sebagai contoh, sebut saja dua jilid buku Pengantar Sejarah Indonesia Baru. Jilid pertamanya berjudul Dari Imperium ke Emporium (1500-1900), sedang jilid keduanya tentang Sejarah Pergerakan Nasional (1900-1945), yang dituliskannya sebagai afternatif bacaan mengenai sejarah Indonesia di samping buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang terkesan sangat militer-sentris itu, serta dalam penulisannya banyak didikte oleh rezime militer Orde Baru yang sedang berkuasa pada waktu itu.

Selain itu, yang tak boleh dilupakan juga sudah barang tentu adalah, disertasi doktoralnya yang terkenal yang berjudul Pemberontakan Petani Banten (1888). Karya monumentalnya ini, selain tentu saja merupakan contoh dari apa yang ditawarkan Sartono di atas mengenai penulisan sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, juga merupakan salah satu karya “awalan” yang mengangkat tema tentang orang kebanyakan sebagai lokus utama pembahasannya, yakni mengenai petani.

Dengan hasil karynya ini,jelas ia tak hanya omong-kosong mengenai pemikiran-pemikirannya tentang bidang ilmu sejarah yang sudah dipaparkan di atas, yakni mengenai penulisan sejarah yang lebih humanis. Dan ia memberikan contohnya langsung, itu yang menjadi point terpentingnya.

Akhirnya, sekali lagi, itulah cerita tentang Prof. Sartono Kartodirdjo, dengan segala keuletan dan kejernihan pemikiran serta gagasan-gagasannya mengenai sejarah Indonesia. Tepat kiranya jika sejarawan serba-bisa, JJ. Rizal menjulukinya: Sang Begawan sejarah Indonesia.

Kini, telah lebih dari sewindu sang begawan pergi meninggalkan kita. Sumbangsih ilmu, pemikiran, serta gagasan-gagasannya masih terus digunakan dan diperdebatkan hingga sekarang.

Lalu terseliplah sebuah pertanyaan dalam benak, siapa mampu melanjutkan sumbangsih keuletan, ketekunan, dan dedikasi yang telah dicontohkannya? Dalam bidang ilmu kesejarahan?

Mustaqim Aji Negoro
Mustaqim Aji Negoro
Mahasiswa Sejarah UGM. Tukang tidur yang banyak bermimpi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.