Selasa, April 30, 2024

Yang Bertikai Itu (bukan) Manusia?

M. Faruq Ubaidillah
M. Faruq Ubaidillah
Kolumnis, suka bincang politik, pendidikan, filsafat, budaya dan agama. Menjunjung tinggi kebebasan berpikir.

Manusia menurut Alquran berasal dari bahasa Arab yaitu insan yang berarti harmoni, intim, akrab, saling rindu, dan sebagainya. Dari pengertian ini dapat ditarik benang merah bahwa sebelum lahir ke dunia manusia telah membawa amanah yang besar yaitu amanah insaniyah, kemanusiaan.

Amanah tersebut diberikan Tuhan sebelum amanah agama, harta, jabatan, dan lain-lain. Amanah kemanusiaan berarti mewajibkan setiap manusia yang lahir ke muka bumi untuk menjaga dan merawat harmoni baik kepada sesama, Tuhan dan juga alam semesta. Ini menjadi tujuan awal diciptakannya manusia sebagai seorang khalifah.

Pertengkaran, konflik, dan saling menegasikan sesama manusia di muka bumi berarti telah mereduksi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Dalam bahasa agama, sikap seperti ini disebabkan oleh hawa nafsu untuk menjadi yang terhebat, terbaik, tertinggi, dan paling benar dengan cara menabrak nilai-nilai kemanusiaan.

Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tidak melarang hambanya untuk meraih keinginan apa saja di dunia, asal tidak mengganggu kemanusiaan. Islam justru memotivasi hambanya untuk berlomba-lomba menjadi umat terbaik di muka bumi yang peduli akan sesama dan alam semesta.

Manusia yang menganut agama Islam adalah mereka yang damai (salam) dan tunduk-pasrah (taslim) kepada Tuhan. Islam secara substantif mengajarkan penganutnya untuk menghargai kemanusiaan dan menempatkan diri pada kedamaian serta keselamatan di dunia dan akhirat.

Dalam prosesnya menjaga kedamaian dan nilai-nilai agung kemanusiaan, Islam telah memberikan prinsip-prinsip yang harus dijalankan oleh kaum Muslimin. Dua di antaranya adalah ialah tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran). Prinsip ini harus betul-betul dijaga dan dilaksanakan oleh yang merasa ‘masih’ manusia.

Sikap tawassuth ini dapat dipahami oleh orang-orang yang cerdas dan yang mengikuti pendapat mereka, yaitu menggabungkan dalil-dalil Alquran-Hadist dan akal dalam menjalankan peribadatan. Memahami Islam hanya dari Alquran dan Hadist akan mengantarkan umatnya pada kejumudan, mudah mengafirkan yang tidak sejalan dalam peribadatan. Makal akal harus digunakan dalam berislam.

Dalam aspek yurisprudensi Islam atau ilmu fiqh, Imam Syafi’i mencontohkan bagaimana pentingnya akal dalam memahami hukum-hukum peribadatan yang secara tegas tidak ada baik di Alquran dan Hadist. Hasil olah pikir atau ijtihad Imam Syafi’i inilah yang kemudian dikenal dengan ilmu Ushul Fiqh.

Imam Abu Hasan Ali Al-Asy’ari juga membuktikan peran akal manusia yang penting dalam merumuskan tauhid kepada Allah. Setelah 40 tahun menjadi penganut ajaran Mu’tazilah (rasionalist), ia berijtihad yang kemudian berhasil melahirkan ilmu kalam. Dalam ilmu ini dijelaskan bahwa Allah memiliki sifat wajib 20, mustahil 20 dan jaiz 1. Seandainya tidak ada usaha dari Imam Abu Hasan Ali Al-Asy’ari untuk menggabungkan dalil naqli dan aqli, umat Islam saat ini mungkin akan sulit beriman dengan benar dan hati yang khusyu’.

Dalam bidang Tasawwuf, Imam Al Ghazali juga bersikap moderat memahami perdebatan sengit kala itu antara para fuqaha (ahli fiqh) dengan para sufi (ahli tasawwuf). Sebelum ada ijtihad dari Imam Al Ghazali banyak ulama yang menjadi korban pembunuhan akibat dianggap sesat dan menjalankan ibadah tidak sesuai syariat, salah satu di antaranya yang terbunuh adalah Al Hallaj.

Yang kedua adalah sikap tasamuh (toleran). Untuk dapat bersikap toleran, umat Islam harus mendahulukan akhlak dalam berdakwah. Contoh nyatanya adalah dakwah para wali songo yang hanya dalam kurun waktu 50 tahun berhasil mengislamkan jutaan umat Hindu saat itu. Dakwah Islam ini dijalankan dengan tidak semena-mena menegasikan kepercayaan lokal yang ada di nusantara saat itu. Adalah Sunan Kalijaga yang berperan aktif dalam mendakwahkan Islam sehingga sesuai dengan kebudayaan masyarakat Jawa kala itu.

Dalam konteks Indonesia, toleransi menjadi hal yang paling urgent saat ini demi menjaga keragaman agama dan budaya dari Sabang sampai Merauke. Di bagian timur Indonesia misalnya, NTT merupakan pulau dengan mayoritas umat Kristiani dan Islam minoritas.

Akan tetapi mereka berhasil menjalin toleransi setelah sebelumnya beberapa tahun silam terjadi konflik horizontal antara dua umat beda agama tersebut. Atas sikap yang ramah dari keduanya, Islam dan kristen, kerukunan di NTT kembali terjalin hingga sekarang. Tak jarang masyarakat beda agama saling membantu dalam membangun tempat ibadah masing-masing

Di Nusa Dua Bali, juga, terdapat satu daerah dengan lima tempat ibadah berjejer. Kerukunan di daerah tersebut berjalan sudah lama semenjak era Orde Baru. Masyarakat sudah mewarisi sikap toleran dari nenek moyang mereka sehingga memungkinkan adanya kehidupan harmoni dalam keseharian mereka

Pemahaman tentang sikap tawassuth dan tasamuh dalam konteks keindonesiaan dirasa penting demi terbangunnya tujuan awal manusia dilahirkan ke dunia. Nilai-nilai kemanusiaan yang direduksi oleh sikap intoleran dan semena-mena tidak hanya merugikan sekelompok umat bergama, tetapi Indonesia sebagai negara.

Repotnya apabila isu-isu sentral semacam toleransi ini dimainkan untuk kepentingan politis-oportunis sekelompok orang. Lahirnya terorisme berjubah, ceramah provokasi menggunakan ayat Alquran, dan jilbab kemunafikan adalah beberapa di antara banyak fenomena yang sebetulnya telah mereduksi nilai-nilai kemanusiaan dalam Islam dan menghantui Kebhinnekaan NKRI. Sikap selalu menyudutkan kelompok beda agama tidak akan selesai jika yang tidak adanya pemahaman mendalam tentang tawassuth dan tasamuh di atas.

Tantangan-tantangan ini terus menghantui keharmonisan Indonesia sebagai negara plural yang demokratis. Namun begitu, inilah tugas manusia yang ditakdirkan hidup di Indonesia. Sekat-sekat perbedaan antar kelompok akan hilang manakala manusia Indonesia mendahulukan nilai agung yang dibawa mereka sejak lahir, yaitu kemanusiaan.

Maka, sekali lagi, dapatkah kita menjawab yang bertikai itu (bukanlah) manusia?

M. Faruq Ubaidillah
M. Faruq Ubaidillah
Kolumnis, suka bincang politik, pendidikan, filsafat, budaya dan agama. Menjunjung tinggi kebebasan berpikir.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.