Kamis, April 18, 2024

Yahudi dan Covid-19

Audi Ahmad
Audi Ahmad
Sarjana Psikologi Unair Dapat dihubungi lewat akun instagram: audiahmad_

Pada tahun 2019, terdapat penolakan terhadap vaksinasi Measles-Rubella yang berdampak pada angka cakupan vaksin Measles, Mumps, dan Rubella (MMR) yang kecil di tiga provinsi, yaitu Aceh (11,32%), Riau (41,63%), dan Sumatera Barat (44,49%).

Penolakan tersebut salah satunya disebabkan oleh maraknya keyakinan bahwa vaksin adalah mengandung bahan haram dan hasil konspirasi Yahudi untuk membuat anak-anak muslim menjadi cacat, meskipun pada dasarnya, vaksin adalah mubah atau boleh secara hukum Islam.

Kemudian, pandemi Covid-19 melanda hampir seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Angka kematian yang terus meningkat membuat krisis kesehatan bereskalasi menjadi krisis ekonomi dan sosial.

Seiring dengan kabar terlibatnya Bio Farma pada uji klinis tahap tiga untuk kandidat vaksin yang dikembangkan oleh Sinovac, lagi-lagi, seperti penolakan vaksin di tahun 2019 yang lalu, Yahudi dianggap sebagai aktor intelektual dibalik munculnya wabah COVID-19.

Selain tuduhan mendapatkan keuntungan dengan memproduksi vaksin, orang-orang Yahudi dituduh sengaja merekayasa virus untuk menjauhkan umat Islam dari masjid, seiring dengan banyaknya anjuran tokoh agama untuk melaksanakan ibadah di rumah.

Yang sangat menarik, mengapa Yahudi, yang eksistensinya dapat dikatakan nihil di Indonesia, kerap diyakini telah berkonspirasi untuk melemahkan umat Islam melalui berbagai macam agenda.

Kami menelusuri pertanyaan ini lebih lanjut, dengan melakukan dua penelitian survei dan satu penelitian eksperimen perilaku pada sejumlah responden Muslim Indonesia (Zein, dkk., 2020), yaitu bertujuan untuk; (1) menyelidiki akar relasi antar-kelompok yang memunculkan keyakinan konspiratif atas orang-orang Yahudi; (2) meneliti efek keyakinan konspiratif terhadap Yahudi pada keputusan orang tua menunda dan menolak vaksinasi pada anak-anaknya; dan (3) kondisi yang memungkinkan terjadinya penguatan keterkaitan antara keyakinan konspiratif Yahudi dengan vaksin.

Penelitian kami menyimpulkan bahwa, pertama, kekolotan dalam beragama tidak serta-merta membuat seseorang meyakini teori konspirasi Yahudi, melainkan ketika diperantarai dua hal; (1) persepsi yang kuat bahwa orang-orang Yahudi adalah ancaman bagi nilai-nilai keislaman; dan (2) imaji yang tidak realistis mengenai reputasi kelompoknya (Muslim).

Dengan kata lain, alasan menguatnya keyakinan konspirasi Yahudi lebih disebabkan faktor relasi antarkelompok. Faktor kekolotan beragama memang berkaitan dengan cara seseorang menginternalisasi identitas sosialnya, utamanya membentuk persepsi atau pandangan mengenai kelompok lain.

Bukti lain bahwa agama bukan sebagai faktor langsung yang mendorong keyakinan mengenai konspirasi terhadap Yahudi adalah, orang-orang yang sudah kadung percaya teori konspirasi sulit sekali dikoreksi kekeliruannya, meskipun sudah mendapatkan penjelasan dari tokoh agama.

Kedua, kami menemukan bukti yang cukup meyakinkan untuk menyimpulkan bahwa kepercayaan konspiratif Yahudi berkaitan erat dengan kepercayaan konspiratif mengenai vaksin, dan berdampak tidak langsung pada keputusan orang tua menunda dan menolak vaksinasi bagi putra-putrinya. Artinya, meskipun banyak sejarawan menduga keyakinan konspiratif Yahudi tidak terlalu berbahaya, karena jarang termanifestasi menjadi tindakan diskriminasi dan kekerasan pada orang-orang Yahudi, penelitian kami menunjukkan hal yang sebaliknya.

Ketiga, awalnya kami menduga bahwa partisipan yang percaya teori konspirasi Yahudi, identitas keislamannya diancam, dan terpapar pernyataan tokoh agama yang menentang vaksinasi, akan cenderung mempercayai teori konspirasi mengenai vaksinasi.

Kami juga menduga responden yang cenderung menyalahkan liyan, misalnya orang-orang Yahudi, Cina Indonesia, dan WNA asal China akan cenderung menolak vaksinasi coronavirus. Penelitian kami menunjukkan pengulangan bukti bahwa kepercayaan pada teori konspirasi Yahudi memang berkaitan dengan kepercayaan mengenai teori konspirasi vaksinasi, namun terancamnya identitas kelompok, ataupun penolakan dari tokoh agama tidak terbukti berdampak apapun pada menguat atau melemahnya keyakinan konspiratif mengenai vaksinasi.

Selain itu, kami menemui bukti yang kuat bahwa responden yang menyalahkan Yahudi akibat wabah coronavirus cenderung berniat untuk menolak vaksinasi bagi dirinya dan keluarganya, sedangkan ada bukti yang lemah menunjukkan bahwa orang-orang yang menyalahkan sesama Muslim atas wabah coronavirus memiliki intensi yang lebih kecil untuk menolak vaksinasi.

Menariknya, kami tidak menemui bukti untuk menegaskan keterkaitan antara menyalahkan orang-orang China Indonesia, WNA asal China, dan orang-orang Indonesia sendiri dengan niat menolak vaksinasi. Tentu ini cukup mengkhawatirkan karena meskipun vaksin akhirnya selesai dikembangkan, tidak akan berdampak apa-apa pada penanganan wabah apabila menemui resistensi dari kaum anti-vaksin.

Terakhir, apabila ditinjau dari teori Stereotype Content Model (Fiske, 2018), kami menduga bahwa pandangan negatif pada orang-orang Yahudi sangat mungkin terletak pada persepsi orang-orang Islam bahwa orang-orang Yahudi memiliki kecerdasan dan kompetensi tinggi, namun buruk kualitas moralnya. Oleh karena itu, tidak heran sebagian Muslim cenderung tergesa-gesa menilai produk teknologi maju yang penuh pertentangan moral, seperti vaksin, dengan konspirasi Yahudi.

Selengkapnya baca hasil penelitian kami di: https://psyarxiv.com/53qsk/

Tulisan kolaborasi bersama Maghfira Fahmi Arinda, S. Psi

Audi Ahmad
Audi Ahmad
Sarjana Psikologi Unair Dapat dihubungi lewat akun instagram: audiahmad_
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.