Berapa banyak kita melakukan sholat tapi selalu beriringan dengan jalannya maksiat. Sudah banyak kita mendengar para penceramah mengatakan “Sesungguhnya sholat itu dapat mencegah perbuatan keji dan munkar”.
Nyatanya pada waktu sholat tiba kita sholat dan pada waktu maksiat tiba kita pun bermaksiat. Hal-hal seperti ini sangat sering terjadi pada kita baik sengaja ataupun tidak disengaja.
Dalam sholat saja misal, apa sudah benar dan sesuai aturan sholat kita. Atau sudah beradabkah sholat kita. Tidak sedikit sholat kita yang hanya sekedar menutup aurat.
Mengutip pusi K.H A. Musthofa Bisri yang berjudul Selamat Tahun Baru Kawan, “Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam ibu-ibu. Lebih cepat dari pada menghirup kopi panas dan lebih ramai daripada lamunan 1000 anak pemuda”. Padahal sholat merupakan ibadah yang seorang hamba berkomunikasi langsung dengan-Nya.
Pertanyaannya, mengapa bisa demikian? Hal ini terjadi karena shalat masih dipahami hanya sebatas formalitas yang tidak memiliki konsekuensi apa-apa terhadap kehidupannya. Sepanjang kita masih berkutat pada pemahaman seperti ini maka shalat kita jelas tidak memiliki makna apa-apa, tidak bisa mencegah perbuatan yang keji dan mungkar.
Dalam kitab Fihi Ma Fihi salah satu karya fenomenal penyair sufi Jalaluddin Ar-Rumi diceritakan salah seorang murid bertanya kepada gurunya: Apakah ada jalan yang lebih mendekatkan (diri) kepada Allah dari sholat?
Guru menjawab: Sholat (lagi). Sholat akan mendekatkan diri kita kepada Allah. Akan tetapi bukan sekedar engkau sholat sebagaimana bentuk gerakan orang-orang sholat. Sholat adalah perintah yang harus dilakukan dengan wujudnya sholat. Sebagaimana engkau lapar, rasa laparmu tidak akan hilang kecuali dengan makan. Sholat lebih dari sekedar engkau takbir, ruku’, dan sujud.
Ucapan takbir pernyataan atas keagungan Tuhan, adalah permulaan shalat dan ucapan salam adalah akhirnya. Begitupula ada sesuatu yang lebih dari sekedar ucapan iman yang diucapkan lidah, karena ucapan itu pun memiliki awal dan akhir.
Apapun yang dapat diucapkan, memiliki awal dan akhir adalah bentuk dan bungkus. Sedangkan jiwanya (sholat) tidak dibatasi oleh isyarat-isyarat fisik dan tidak terbatas, tanpa awal dan akhir.
Pada hakikatnya jiwa atau ruh sholat bukan hanya sekedar “bungkus” sholat, jauh dari itu ruh sholat merupakan saat engkau sholat pada-Nya engkau tenggelam bukan pada suatu tempat melainkan terbawa akan kenikmatan sholat yang tidak terbentang oleh ruang dan waktu.
Saat engkau sholat itu sama halnya dengan engkau menghadapkan wajahmu ke cahaya agung. Keagungan-Nya tidak terlintas namun tidak lepas dari pandanganmu. Nur-Nya tidak pernah sirna bahkan setiap makhluk yang melihatnya terpana dengan kelemahan dan ketundukan pada Tuhan-Nya.
فأي وضع لهذا الإنسان الضعيف وهو يري الأسود والنمور والتماسيح جميعا عاجزة ومرتجفة أمامه؟ والسماوات والأرضون كلها عاجزة ومسخرة لحكمه. إنه ملك عظيم. وليس نوره كنور القمر والشمس, الذى في حضرته يبقي الشيء في مكانه. عندما يستطيع نوره دون حجاب لاتبقى سماء ولاأرض, ولاشمس ولاقمر, لايبقى إلا ذلك الملك
Jika binatang-binatang seperti burung kecil, macan tutul, dan buaya saja tidak berdaya dan gemetar di depan-Nya, bagaimana dengan manusia yang lemah? Surga, bumi dan segala isinya tidak berdaya dan dikuasai hukum-Nya. Dia adalah raja Yang Maha Kuat. Cahaya-Nya tidaklah seperti cahaya matahari dan bulan, meskipun keberadaan benda itu tetaplah sebagaimana adanya. Cahaya-Nya bersinar tanpa disaring, surga atau pun bumi tak akan dapat bertahan, tidak pula matahari atau bulan, tidak seorang pun akan tersisa tanpa keberadan-Nya (Jalaluddin Ar-Rumi, Fihi Maa Fihi, terjemah dari Persia I’sa Ali Al-A’kub, Daar Al-Fikri, h. 43).
Wujud sholat dalam Jalaludiin Ar-Rumi merupakan bentuk keluh kesah manusia kepada-Nya. Merupakan bentuk manusia tidaklah mempunyai apa-apa. Dan bentuk pengabdian manusia kepada-Nya. Jika sudah timbul Nur-Nya saat kita menghadap-Nya (sholat).
Maka tiada kenikmatan yang paling nikmat selain ingin selalu bertemu dengan-Nya. Wallahu a’lam.