Jumat, April 19, 2024

Wisata Halal yang Kabur

Syariefnoerdin
Syariefnoerdin
Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Islam UII Yogyakarta dan Pegiat di Kelas Merapi Menulis

Tren industri halal dalam beberapa tahun ini telah menjelma menjadi komoditas baru dalam dunia industri. Baik yang bergerak pada industri makanan dan minuman, fashion, kosmetik, perhotelan, maupun pada bidang pariwisata, telah dikemas menjadi bentuk gaya hidup.

Pariwisata halal merupakan salah satu sektor potensial yang diperkirakan akan mendulang pangsa pasar yang besar. Berdasarkan data yang dirilis oleh Global Muslim Travel Index pada tahun 2018 bahwa pangsa pasar wisatawan Muslim tumbuh cepat dan diprediksi meningkat dengan nilai sebesar USD 220 milyar pada tahun 2020 dan diekspektasikan meningkat menjadi USD 300 milyar pada tahun 2026.

Perkembangan ini oleh pemerintah Indonesia dinilai menjanjikan untuk turut serta berkontribusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu modal besar Indonesia dalam mengembangkan sektor ini ialah populasi Muslim yang tinggi. Dimana jumlah penduduk muslim berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 mencapai 87,18% dari total jumlah penduduk Indonesia.

Namun hal tersebut bukan berarti memajukan industri ini tanpa pro kontra. Baru-baru ini kita dihangatkan pada wacana pembentukan dan pengembangan kawasan industri halal pada wilayah-wilayah tertentu yang dianggap potensial memiliki nilai ekonomi yang tinggi.

Penolakan masyarakat sekililing Danau Toba terhadap kawasan pariwisata halal misalnya, merupakan fakta dilematis dalam mengembangkan industri ini. Setidaknya ada dua masalah yang dihadapi dalam mendorong  pengembangan industri halal di tanah nusantara ini, yakni pemaknaan masyarakat terhadap wisata halal yang dianggap masih kabur. Selain itu, isu keragaman juga menjadi faktor dilematis terhadap pengembangan wisata halal.

Dilema Wisata Halal Indonesia

Masalah pemaknaan wisata halal merupakan bagian penting dan seringkali diperdebatkan oleh publik. Selama ini tidak ada batasan yang jelas dalam menerjemahkan wisata halal. Untuk itu, kiranya menjadi penting meletakkan definisi wisata halal sehingga perbedaan wisata halal dan non halal menjadi jelas.

Selama ini juga, mispersepsi terjadi pada masyarakat dalam penggunaan istilah wisata berbasis agama. Seperti yang dikatakan Sari Lenggogeni pakar pariwisata Universitas Andalas yang dilangsir Republika bahwa selama ini terjadi bias dalam memahami pariwisata halal. Sehingga menurutnya seringkali wisata halal, wisata ibadah dan wisata Islami dibaurkan pada tempat yang tidak semestinya.

Wisata halal dalam pandangan Sari Lenggoni dipahami sebagai pemenuhan fasilitas ibadah muslim saat berwisata seperti tempat ibadah dan restoran halal. Sedangkan wisata ibadah diartikan sebagai wisata dengan tujuan beribadah seperti haji dan umrah.

Sementara wisata Islami dimaknai sebagai tempat berkunjung ke tempat yang memiliki sejarah kebudayaan Islam. Dari definisi-definisi tersebut maka pemakanaan wisata halal dalam konteks Indonesia dapat dibagi atas pemenuhan fasilitas ibadah bagi turis muslim dan wisata Islami ke situs-situs sejarah Islam.

Masyarakat yang Beragam

Tidak dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat beragam. Keragaman itu dapat dilihat pada sensus penduduk 2010 yang menggambarkan keragaman suku yang terdiri dari lima suku besar yakni suku Jawa sebanyak 40,2% dari total populasi Indonesia. Disusul suku Sunda berkisar 15%, Batak 3,6 %, dan suku asal Sulawesi yang terdiri dari suku Makassar, Bugis, Minahasa, dan Gorontalo. Dan yang terakhir ialah Madura dengan jumlah populasi 3,03%.

Selain itu keragaman ini juga dapat dilihat dari beragamnya agama yang dianut oleh bangsa Indonesia. Tercatat bahwa ada enam agama yang diakui oleh negara yakni Islam dengan jumlah populasi 87,18 persen, Kristen 9,87 persen, Hindu 1,69 persen, Budha 0,72 persen, dan yang terakhir ialah Khong Hu Cu dengan jumlah penganut 0,05 persen dari total penduduk Indonesia. Keragaman tersebut tentu masing-masing entitas memiliki keunikan ajarannya masing-masing. Dari data tersebut, bagaimana menempatkan industri halal sebagai bagian dari keanekaragaman nusantara?

Sementara itu pemerintah pada tahun 2018 telah menetapkan 10 destinasi wisata yang diunggulkan. Destinasi tersebut meliputi Danau Toba Sumatera Utara, Pantai Tanjung Kelayang Bangka Belitung, Pantai Tanjung Lesung Banten, Kepulauan Seribu DKI Jakarta, Taman Wisata Candi Borobudur Jawa Tengah, Taman Nasional Bromo Tengger Jawa Timur, Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika Lombok NTB, Labuhan Bajo NTT, Pulau Morota Maluku Utara, dan Taman Nasional Wakatobi Sulteng.

Dari urutan destinasi tersebut, pemenuhan fasilitas ibadah dan tools penunjang halal lainnya merupakan model yang tepat untuk dikembangkan dalam menetapkan kawasan wisata halal dimana muslim sebagai minoritas sebagaimana Danau Toba. Dalam arti yang demikian, maka posisi agama tidak seharusnya membumi hanguskan budaya setempat yang dianggap tidak sejalan dengan ajaran agama tertentu dengan memaksakan syariah complience secara total.

Mengingat yang memenuhi destinasi tersebut tidak hanya wisatawan lokal (Muslim) tapi juga kebanyakan dipenuhi oleh wisatawan lokal dan asing yang tentunya memiliki budaya dan pandangan agama yang berbeda.

Seperti data yang dirilis oleh BPS pada tahun 2018 bahwa jumlah wisatawan asing terbanyak selama periode 2014-2018 diduduki oleh negara-negara yang penduduknya minoritas Islam sperti China dengan jumlah 1.488.168 wisatawan. Disusul Singapura 1.214.232 wusatawan, Australia 849.807 wisatawan, Jepang dan Korsel masing-masing sebanyak 346.525 dan 241.856 jumlah wisatawan. Dengan demikian, memaksakan syariah complience pada destinasi unggulan menjadi tidak ramah pada pengunjung.

Untuk itu, regulasi pemerintah dalam menetapkan kawasan wisata halal harus didasarkan pada kluster definisi yang telah disebutkan diatas. Sebagai contoh wisata halal pada pemenuhan fasilitas ibadah dan penunjang lainnya merupakan suatu keharusan yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa wisata. Selain itu, konsep wisata religi atau Islami juga dapat dikembangkan seperti wisata ke kuburan Wali Songo dan situs sejarah Islam lainnya. Dengan demikian, penempatan kawasan wisata halal dapat diterima oleh semua golongan masyarakat ditengah keragamannya.

Olehnya itu, strategi pertama yang perlu dilakukan untuk mendorong wisata halal di nusantara ialah pemberian pemahaman pada masyarakat mengenai apa yang dimaksud wisata halal. Hal ini dapat berimplikasi pada penerimaan masyarakat terhadap wisata halal.

Selain itu, untuk menjawab isu keragaman, maka pengelompokan kawasan destinasi halal dimana muslim sebagai minoritas dapat dilakukakan dengan penyediaan fasilitas ibadah dan penunjang halal lainnya.  Selain itu wisata Islami untuk situs-situs sejarah Islam menjadi penting untuk dijadikan regulasi.

Syariefnoerdin
Syariefnoerdin
Mahasiswa Pascasarjana Ekonomi Islam UII Yogyakarta dan Pegiat di Kelas Merapi Menulis
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.