Publik geger dengan temuan William soal anggaran fantastis di dinas pendidikan DKI Jakarta, diantaranya Lem Aibon senilai 84 Milyar dan Pulpen senilai 123,8 Milyar.
Meski apa yang disampaikan legislator muda berusia 23 tahun ini ternyata merupakan KUA-PPAS (Kebijakan Umum Anggaran-Prioritas Plafon Anggaran Sementara) yang belum selesai difinalisasi baik di tingkat Pemda maupun di DPRD, tetapi apa yang telah dilakukannya patut diapresiasi, pasalnya tidak banyak legislator yang mau mencermati detail anggaran.
Melawan elite anggaran
Akses masyarakat terhadap dokumen anggaran memang sangat sulit, pemerintah daerah seringkali hanya memberikan dokumen ringkasan postur anggaran ke publik, pun tidak banyak yang melakukannya secara tepat waktu. Banyak website pemerintah daerah terlambat mengupload anggaran 1-2 tahun.
Maka wajar, soal anggaran menjadi sangat elitis hanya diketahui segelintir orang saja, padahal sudah menjadi hak publik untuk mengetahui pengelolaan anggaran pemerintah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak 2015, di bawah pimpinan Basuki Tjahja Purnama (Ahok) telah menetapkan E-Budgeting sebagai sistem perencanaan, implementasi, pelaporan dan pengawasan APBD-nya.
Untuk pemerintah level provinsi dengan keberadaan sistem ini menjadikan DKI Jakarta yang terbaik dalam pengelolaan dan transparansi anggaran karena publik dapat langsung terlibat mengawasi. Bahkan, melalui sistem ini rincian anggaran diunggah.
Meski sebenarnya, dari sisi inovasi yang pertama menerapkannya adalah Pemerintah Kota Surabaya, awal mulanya Pemkot Surabaya menerapkan E-Procurement untuk pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, saat itu ibu Tri Rismaharini masih menjabat sebagai Kepala Bagian Bina Pembangunan.
Sistem ini bahkan menjadi pioner sebelum pemerintah pusat mewajibkan LPSE sebagai skema pengadaan barang dan jasa. Di tahun 2003, dikembangkan Government Resource Management System sebagai cikal bakal E-Budgeting pertama di Indonesia.
Bahkan, kini Pemkot Surabaya di bawah kepemimpinan Bu Risma telah memiliki banyak sistem e-Government, mulai dari e-Planning yang terdiri dari “e-Musrembang, e-DevPlan, dan e-Deployment”. Lalu, e-Planning, e-Budgeting, e-DPA, e-Project, e-Procurement, e-Delivery, e-Payment, e-Accounting, e-inventory, e-SIMBADA, e-Controlling, e-Peformance, e-Tax, e-Audit.
Apa yang diributkan William?
Soal kejanggalan dalam inputan KUA-PPAS di APBD DKI Jakarta 2020 sebagaimana ramai diberitakan apa sebenarnya yang terjadi? Apa yang diungkap bro William, merupakan rencana anggaran hasil inputan SKPD yang masih dalam proses penajaman di TPAD bersama Gubernur. Proses ini sebenarnya sudah diselesaikan sebelum bulan november.
Untuk selanjutnya dinaikan ke DPRD untuk dibahas bersama. Dalam penyusunan KUA-PPAS, biasanya memang terjadi banyak perubahan secara bertahap. Hal ini dikarenakan kebutuhan untuk menunggu proses input detail dari tiap unit kerja di masing-masing dinas terkait.
Namun, unggahan sementara harus tetap dilakukan untuk memberikan estimasi postur anggaran. Caranya yang lazim dilakukan sederhana, dana tahun lalu dinaikan berdasar presentasi tertentu ditambah prioritas tahun ini sesuai realokasi penambahan anggaran dari total belanja pemda.
Maka saat inputan awal biasanya hanya asal input 1-2 item utk mengamankan alokasi anggaran saja. Proses “detailing”-nya harus tetap menunggu rincian dari masing-masing unit kerja.
Ringkasan KUA-PPAS yg berisi postur anggaran biasanya difiksasi dulu oleh TPAD dan Gubernur, DKI Jakarta memang memiliki keistimewaan karena Pemerintah Provinsi langsung mengendalikan tingkat kabupaten/kota. Hal ini menjadikan proses finalisasi lebih panjang daripada yang dibutuhkan oleh provinsi atau kabupaten/kota lainya. Setelah proses finalisasi dilakukan, baru KUA-PPAS diajukan ke DPRD utk dibahas, yang dijadwalkan November-Desember.
Saat itulah dibahas berapa ratio belanja, pendapatan dan pembiayaan per itemnya. Untuk pembahasan belanja ditentukan berdasarkan jenisnya belanja langsung dan tidak langsung; belanja modal, belanja pegawai, belanja barang, hibah, bansos, dll masing-masing berapa? Proporsi di dinas berapa? dst.
Begitu juga soal pendapatan dari pajak daerah berapa? Apa aja per item? Dan dari transfer pusat DAK, DAU dan DBH berapa? Dst. Lalu defisit/surplus berapa? Skenario pembiayaan seperti apa dan berapa? Disanalah DPRD punya hak untuk melakukan koreksi penuh, karena pengesahan APBD harus atas kesepakatan eksekutif dan legislatif, jika sampai tidak selesai atau deadlock, maka konsep APBD yang digunakan adalah APBD tahun sebelumnya.
Maka, apa yang dilakukan bro william dalam memantau KUA-PPAS yang belum dikirim ke pemda menarik untuk dilihat, dari sisi etik sebagai anggota dewan mungkin bisa dipermasalahkan, tapi toh masalahnya tidak lebih dari “ketidaksabaran”, ya wajarlah, anak muda gitu loch. Tapi dari sisi inisiatif untuk terlibat pada proses pengawalan sejak dini ini patut diapresiasi.
Apa yang dilakukan bro William harus dilihat dari sisi positifnya sebagai upaya dini melakukan pemantauan anggaran, meski dengan mudah dibantah oleh pemprov, sebagaimana disebutkan Tata Ujiyati di medsos-nya, bahwa Gubernur juga mengoreksinya pada 23 Oktober 2019 dan apa yang disampaikan william adalah konsep yang sudah banyak direvisi. Begitu juga dengan konferensi pers Plt. Kepala Dinas Pendidikan yang menyebutkan adanya kekeliruan data yang sudah direvisi.
Mas Gub dan Bro William agaknya memiliki perspektif yang sama tentu ini menarik dalam konteks budaya politik anggaran kita. Hal ini dapat membuat SKPD lebih hati-hati dan jeli dalam menyusun rencana anggaran.
Literasi anggaran publik
Terlepas dari sabar apa tidak, perdebatan ini menjadi menarik membawa proses budgeting menjadi wacana publik yang lebih luas. Menjadi kesempatan bagi publik untuk terlibat dalam proses pemantauan anggaran melalui e-budgeting. Waktu yang diberikan untuk DPRD selama sekitar 1-2 bulan untuk mencermati dokumen anggaran yang sangat besar tentu mustahil memuaskan untuk mengawal sampai detail.
Tapi jika waktu diperpanjang juga bukan solusi mengingat siklus anggaran memang sangat panjang, tentu solusinya adalah mengembangkan sistem informasi dan proses anggaran yang lebih komprehensif, termasuk seperti yang disebut Anies Baswedan perlu ada smart checking. Kalau Mas Gub serius soal ini, akses tak perlu dibatasi justru sebaliknya sistem dibenahi dengan adanya kolom aspirasi warga yang dapat langsung mention temuannya dan memberikan masukan atasnya.
Maka sudah saatnya publik untuk bersama-sama memanfaatkan e-Budgeting system ini. Tapi masalahnya, tak banyak yang paham benar tentang bagaimana siklus anggaran dan pola-pola rinci dalam membaca dokumen anggaran.
Inilah PR serius bagi pemerintah yang ingin publik terlibat, perlu ada semacam tutorial bagaimana mencermati anggaran. Percuma e-budgeting diadakan jika teknis pemanfaatannya tidak dipahami banyak orang. Seperti kata Ahok “Sistem akan baik jika tidak ada niat maling”, maka ayo kita kawal bersama. Dan semoga, muncul william-william lain di banyak daerah yang membuat publik semakin melek anggaran