Setelah 22 tahun menghilang, saya rasa kita patut mengakui bahwa Widji Thukul lebih tahu Indonesia daripada saya, Anda dan kita semua. Sajak-sajaknya masih sangat sesuai dengan keadaan sekarang, bahkan ketika kita coba gaungkan di tahun ini. Widji Thukul nampaknya bahkan bisa memprediksi nasib Indonesia hingga sekarang.
Widji Thukul telah menuliskan namanya sebagai salah satu orang yang sangat susah dicari, bahkan oleh orang terkuat di negeri ini, Presiden.
Dia telah memberikan warisan berharga yaitu memperingati generasi-generasi penerusnya dengan catatan-catatan kecil di tengah pelarian sebagai buron. Ia bahkan punya puisi berjudul ‘Peringatan’.
…………………….
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
…………………….- Peringatan
Widji Thukul telah memperingatkan kita tentang hukum bantah-membantah para penguasa, bukan hanya aktivis HAM dan sastrawan, saya rasa beliau juga cenayang.
Teori Reaktansi dan Kemungkinan Hubungan dengan Wiji Thukul
Ketika suatu gagasan atau kebebasan individu dikurangi, dikekang atau terancam. Maka mereka cenderung secara motivasi terangsang untuk mendapatkan kembali kebebasan itu. Gampangnya, ketika Anda memberitahu saya apa yang harus dilakukan, sebagian dari diri saya merasa harus melakukan yang sebaliknya.
Dan Widji Thukul melakukannya. Karena sekali lagi, ini bukan hanya karena Jack Brehm pada tahun 1966 telah mengemukakan konsep gagasan reaktansi pada pola pikir manusia, tapi karena ayah dua anak itu benar-benar tidak punya jalan lain untuk mendapatkan kebebasan dari pemerintah zalim.
Widji Thukul bagaikan stiker rambu peringatan yang ditempel di pintu masuk menara sutet, supaya saya, Anda atau yang lainnya bisa memahami konsekuensi tersengat ketika memutuskan memanjat. Atau rambu peringatan jalanan yang sedang diperbaiki, supaya saya, Anda atau yang lainnya siap dengan rasa sakit atau patah kaki kalau nekat masuk ke lubang perbaikan.
Di dalam itu, Widji Thukul berhasil mengawinkan sisi kritis dengan reaktansi psikologis dirinya. Untuk menjaga langkahnya dalam kebenaran, Widji mengingat mereka dengan janji pengabdian kepada hak asasi manusia. Dia berhasil memandang tatanan sosial dan tempatnya di dalamnya dengan cara lain. Itulah sebabnya menolak menolak mengikuti aturan, indikasi, atau pola yang dibuat pemerintah. Karena jelas salah dan ia merasa lebih termotivasi untuk menempuh jalan yang berbeda.
Seperti yang ditulis oleh Shan Banot, pendiri dari media Columnist. Dalam banyak contoh, reaktansi adalah kekhasan perilaku manusia yang membuat frustrasi atau mengganggu, dan terkadang bahkan lucu. Saya paham itu, seperti saat kita kecil kemudian ibu kita bilang jangan main keluar karena sedang hujan, namun perasaan yang timbul adalah keinginan pergi keluar rumah yang menggebu-gebu. Reaktansi, tidak sepenuhnya negatif. Seperti yang saya bilang, ketika sang individu berhasil mengikatnya dengan alasan kebenaran.
Tapi bisa jadi, sebenarnya sisi reaktansi Widji membuat frustasi dan mengganggu. Hanya, hanya untuk pemerintah yang ingin membungkam seseorang yang meminta haknya sebagai warga negara dikembalikan.
Pada hari Rabu 26 Agustus 2020, ia menginjak pada usia ke-57 tahun. Bukan saya melawan takdir, tapi hanya bertanya-tanya saja. Jika Widji tidak ‘hilang’ apakah aktivis manusia ini mau datang ke stasiun TV Indonesia, ikut debat-debat settingan tanpa ada output yang jelas.
Atau apakah Widji saat ini tengah ikut berdemo di depan gedung Kejaksaan Agung yang ‘tidak sengaja’ terbakar sambil menatap langit-langit malam Jakarta sambil membuat puisi untuk para pasien Corona. Ataukah, ia mungkin tengah duduk di teras rumahnya, sambil ngetweet dan main instagram dan geleng-geleng kepala melihat buzzer pemerintah yang mengajak masyarakat mendukung Omnibus Law. Entahlah, saya hanya menggunakan kata jika, karena itulah ‘jika’ digunakan.
……………………
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: Lawan!- Peringatan
Sekali lagi, selamat ulang tahun, Widji Thukul. Terimakasih telah memberikan peringatan kepada kami, sayangnya kami terlalu tuli dan buta untuk melihat peringatanmu, kami terdistraksi teknologi. Karena para anak muda lebih suka ejek-ejekan di sosial media daripada membaca prasasti perjuanganmu. Maafkan kami.
Dan saya pikir, belum merdekalah Indonesia kalau apa yang ditulis Widji Thukul di massa pesakitannya, masih sangat sesuai hingga saat ini.